Ekonomi Daerah & Pariwisata
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Pariwisata dan Lapangan Kerja—Dua Sisi Mata Uang di Bali
Provinsi Bali, dikenal sebagai jantung pariwisata Indonesia, memiliki keindahan alam, adat budaya, serta keramahan masyarakat yang menjadikannya magnet wisatawan mancanegara. Di balik geliat sektor pariwisata, terdapat dinamika ekonomi yang menarik untuk ditelaah, salah satunya adalah pengaruhnya terhadap tingkat pengangguran.
Dalam skripsi ini, Mega Agung Prasetya (2020) meneliti secara kuantitatif bagaimana jumlah hotel dan restoran, daya tarik wisata, serta agen perjalanan memengaruhi tingkat pengangguran di sembilan kabupaten/kota Bali dalam rentang 2015–2019.
Data dan Metodologi: Kuantifikasi Realitas di Lapangan
Penelitian ini menggunakan data panel—gabungan antara data time-series (tahun 2015–2019) dan cross-section (9 wilayah di Bali). Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan dianalisis dengan metode Random Effect Model (REM) menggunakan software EViews.
Variabel Penelitian
Y (Dependent): Tingkat pengangguran
X1: Jumlah hotel dan restoran
X2: Jumlah daya tarik wisata
X3: Jumlah agen perjalanan wisata
Hasil Utama: Sektor Pariwisata, Tidak Selalu Menyerap Tenaga Kerja
1. Hotel dan Restoran → Menurunkan Pengangguran
Terdapat hubungan negatif signifikan antara jumlah hotel dan restoran terhadap tingkat pengangguran. Artinya, bertambahnya fasilitas akomodasi benar-benar menyerap tenaga kerja. Ini sejalan dengan teori ekonomi bahwa permintaan tenaga kerja meningkat saat investasi di sektor jasa tumbuh.
Contoh nyata:
Tahun 2017, penambahan 2.795 hotel di Bali berkontribusi terhadap penurunan angka pengangguran menjadi 1,48% (BPS Bali, 2020).
2. Daya Tarik Wisata → Justru Meningkatkan Pengangguran
Temuan menarik muncul ketika diketahui bahwa bertambahnya objek wisata ternyata berkorelasi positif dengan meningkatnya pengangguran. Mengapa demikian?
Analisis:
Banyak objek wisata yang dikembangkan tidak disertai dengan dukungan manajemen profesional atau investasi yang menyerap tenaga kerja.
Misalnya, kenaikan jumlah daya tarik wisata dari 245 (2018) menjadi 354 (2019) tidak berbanding lurus dengan penurunan pengangguran—justru angka pengangguran naik ke 1,52%.
3. Agen Perjalanan → Menaikkan Pengangguran
Secara mengejutkan, peningkatan jumlah agen perjalanan juga memiliki korelasi positif terhadap angka pengangguran. Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar agen travel kini berbasis digital, tidak lagi membutuhkan banyak staf seperti era sebelumnya.
Tren industri mendukung hasil ini:
Otomatisasi dan aplikasi wisata seperti Traveloka, Tiket.com, dan Airbnb menggeser kebutuhan tenaga kerja di sektor biro fisik.
Analisis Lanjutan: Ketika Pariwisata Tidak Selalu Solusi
Meskipun pariwisata dipandang sebagai sektor padat karya, temuan skripsi ini menyoroti bahwa tidak semua subsektor menyerap tenaga kerja secara optimal. Hal ini bisa menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa investasi pariwisata harus terfokus pada sektor yang tepat, seperti perhotelan, bukan hanya pengembangan objek wisata tanpa rencana strategis.
Studi Banding: Yogyakarta vs Bali
Penelitian serupa oleh Anandya A. Pertiwi (2018) di DIY menunjukkan hasil berbeda, di mana semua sektor pariwisata (hotel, daya tarik, agen travel) berpengaruh positif signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Ini menunjukkan bahwa manajemen pariwisata yang baik dan adaptif terhadap teknologi menjadi kunci dalam menciptakan peluang kerja.
Implikasi Kebijakan: Apa yang Bisa Dilakukan?
Dari temuan ini, beberapa rekomendasi dapat disusun:
Peningkatan SDM Lokal: Pelatihan tenaga kerja lokal untuk bidang hospitality agar siap diserap oleh hotel/restoran yang baru dibangun.
Evaluasi Objek Wisata: Pemerintah daerah sebaiknya mengevaluasi dampak sosial-ekonomi dari pengembangan objek wisata, tidak hanya berdasarkan jumlahnya.
Digitalisasi Agen Perjalanan: Edukasi dan pelatihan digital bagi pemilik agen perjalanan tradisional agar dapat bertransformasi mengikuti tren digital.
Kesimpulan: Transformasi atau Stagnasi?
Penelitian ini menyuguhkan perspektif kritis bahwa pariwisata bukanlah solusi tunggal untuk menyelesaikan masalah pengangguran. Sektor ini harus dikembangkan dengan strategi yang mempertimbangkan transformasi digital, kualitas tenaga kerja, dan daya serap lapangan kerja yang sesungguhnya.
Dalam konteks Bali, penting untuk mengarahkan pengembangan pariwisata pada sektor-sektor yang terbukti menyerap tenaga kerja, serta menyiapkan SDM agar sesuai dengan tuntutan industri modern.
Sumber
Mega Agung Prasetya. (2020). Pengaruh Sektor Industri Pariwisata terhadap Kondisi Pengangguran di Provinsi Bali Tahun 2015–2019. Skripsi Sarjana Ekonomi, Universitas Brawijaya. Tersedia di repositori resmi Universitas Brawijaya.