Banjir Semarang
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Antara Perluasan Kota dan Ancaman Air
Semarang, sebagai kota pesisir sekaligus ibu kota Provinsi Jawa Tengah, menghadapi tekanan ganda: pesatnya urbanisasi di satu sisi, dan ancaman banjir serta rob di sisi lain. Kawasan seperti Tambakmulyo, Tanjung Mas, dan Bandarharjo tercatat mengalami akumulasi tahunan hingga 40 cm. Tanggapan pemerintah berupa pembangunan sistem polder menjadi salah satu solusi struktural utama.
Namun, sejauh mana efektivitas sistem polder yang kini terdapat empat (Polder Tanah Mas, Banger, Kali Semarang, dan Tawang) dalam mengendalikan banjir dan rob?
Untuk menjawabnya, Nugroho dkk. mencakup kinerja keempat polder dengan pendekatan strategi manajemen populer, Balanced Scorecard (BSC) —sebuah alat ukur komprehensif yang tidak hanya menilai aspek teknis, tetapi juga kepuasan pengguna, kapasitas keuangan, hingga pembelajaran dan pengembangan sistem.
Apa Itu Sistem Polder dan Mengapa Penting?
Sistem polder adalah sistem pengelolaan tata udara terpadu di dataran rendah. Komponennya meliputi:
Sistem ini memungkinkan kawasan di bawah permukaan laut tetap kering melalui manajemen udara aktif. Di kota-kota seperti Rotterdam, Belanda, sistem ini telah terbukti menyelamatkan jutaan meter persegi dari penampungan udara.
Semarang pun meniru strategi ini, dan mulai mengembangkan polder sejak dua dekade terakhir. Tetapi seiring berjalannya waktu, muncul masalah: beberapa polder tidak terpelihara, kolam dipenuhi sampah, masyarakat tidak merasa memiliki, bahkan ada yang berubah fungsi menjadi tempat praktik prostitusi dan perdagangan informal seperti di Polder Tawang.
Metodologi: Mengukur Kinerja dengan Balanced Scorecard
Balanced Scorecard (Kaplan & Norton, 1992) mengukur kinerja organisasi dari empat perspektif:
Penelitian ini menambahkan perspektif kelima: kinerja badan pengelola , dengan pendekatan kuantitatif menggunakan bobot AHP (Analytic Hierarchy Process) dan kuisioner lapangan.
Nilai akhir dihitung dari skor setiap indikator di lima bidang kinerja, lalu ditotal untuk menentukan polder mana yang paling ideal dari sisi manajemen, teknis, dan sosial.
Hasil Penilaian: Siapa yang Unggul?
1. Polder Tanah Mas – Skor: 73,81
✅ Nilai tertinggi secara keseluruhan. Dikelola oleh paguyuban masyarakat (P5L), menunjukkan kemandirian finansial dan pengelolaan demokratis.
❌ Nilai “pembelajaran dan pengembangan” masih lemah.
2. Polder Banger – Skor: 67,21
✅ Terencana sejak awal. Nilai tinggi dalam proses internal dan badan pengelola.
❌ Namun, kepuasan pengguna masih rendah karena belum berfungsi sempurna.
3. Polder Kali Semarang – Skor: 58,70
✅ Memiliki sistem operasional yang cukup stabil.
❌ Nilai keuangan dan partisipasi masyarakat rendah.
4. Polder Tawang – Skor: 58,65
✅ Nilai pengguna cukup tinggi.
❌ Kondisi kolam retensi memprihatinkan—tidak higienis, tidak aman, dan minim fungsi edukatif maupun estetika.
Analisis Tambahan: Apa yang Menentukan Kinerja?
Faktor Penentu Kinerja Tinggi:
Masalah Umum:
Opini dan Perbandingan: Belajar dari Model Luar Negeri
Semarang bisa belajar dari:
Namun kunci keberhasilannya tetap satu: keterlibatan masyarakat secara aktif.
Saran untuk Semarang: Menuju Pengelolaan Polder Berbasis Komunitas
Kesimpulan: Infrastruktur Tak Cukup, Manajemen Adalah Kunci
Polder sebagai teknologi bisa dibangun dengan cepat. Namun pengelolaannya—baik dari aspek keuangan, teknis, maupun sosial—menentukan apakah sistem ini berhasil atau gagal. Studi Nugroho dkk. menunjukkan bahwa model berbasis masyarakat seperti di Tanah Mas adalah yang paling ideal.
Pengendalian perampokan dan banjir bukan hanya urusan teknokrat, tetapi juga partisipasi warga, visi jangka panjang, dan keberanian mengadopsi manajemen modern seperti Balanced Scorecard.
Sumber:
Nugroho, H., Kurniani, D., Asiska, M., & Nuraini. (2016). Kajian Kinerja Sistem Polder sebagai Model Pengembangan Drainase Kota Semarang Bagian Bawah dengan Balanced Scorecard . Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil, 22(1), 43–50.
Banjir Semarang
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 27 Mei 2025
Ecodrainage di Semarang: Solusi Hijau Tangkal Banjir Perkotaan
Ketika Kota Butuh Lebih Dari Sekadar Saluran Air
Di tengah laju urbanisasi dan berkurangnya ruang terbuka hijau, kota-kota Indonesia menghadapi satu musuh bersama: berkumpul dan banjir. Di Kota Semarang, salah satu wilayah yang mulai menunjukkan langkah progresif adalah Kelurahan Jatisari, Kecamatan Mijen. Melalui kajian mendalam oleh Nisaul Kamila dan tim dari Universitas Diponegoro, pendekatan baru bernama ecodrainage ditawarkan sebagai alternatif dari sistem drainase konvensional yang selama ini terbukti kurang efektif.
Apa Itu Ecodrainage?
Ecodrainage atau drainase berwawasan lingkungan adalah sistem pengelolaan air hujan yang menekankan peresapan udara alami ke dalam tanah. Tujuannya bukan hanya mengalirkan udara ke saluran, melainkan meminimalkan limpasan permukaan, menjaga muka air tanah, serta menghindari berkumpulnya di wilayah hulu dan banjir di wilayah hilir.
Konsep ini menyadari bahwa air hujan bukan untuk dibuang, tetapi untuk dikelola sebagai aset ekologis. Dengan ekodrainase, udara tidak langsung masuk ke saluran beton, tetapi terlebih dahulu ditampung, diresapkan, atau ditahan agar tidak berbaring di sistem pembuangan kota.
Masalah Drainase di Jatisari: Nyata dan Mendesak
Wilayah Jatisari merupakan kawasan hulu yang sedang berkembang pesat, termasuk perumahan Bukit Jatisari dan BSB City. Masalah klasik muncul:
Dampaknya, setiap hujan lebat, tak terhindarkan. Lebih buruk lagi, hilangnya lahan resapan memperbesar risiko banjir di daerah hilir yang menerima aliran limpasan.
Studi Kasus: Menakar Ecodrainage dalam Angka
Penelitian ini menyajikan hitungan teknis tentang potensi efisiensi Ecodrainage dalam meresapkan air hujan sebelum mengalir ke saluran. Dengan curah hujan rata-rata 138,34 mm/jam, debit udara yang masuk ke sistem drainase Jatisari mencapai 8,643 m³/s.
Setelah penerapan berbagai metode ecodrainage, hasilnya cukup signifikan. Total udara yang bisa diserap sistem peresapan mencapai 4,419 m³/s , sedangkan udara yang benar-benar mengalir ke saluran hanya tersisa 4,224 m³/s . Artinya, lebih dari 50% air hujan dapat ditahan dan dikelola secara lokal — sebuah prestasi besar untuk wilayah perkotaan.
Teknologi Hijau yang Diterapkan
Evaluasi Kritis: Apa Tantangannya?
1. Skala Implementasi
Jumlah lubang biopori idealnya mencapai 43.900 lubang, namun keterbatasan lahan dan peran serta warga membuat target itu sulit tercapai. Perlunya kebijakan dan insentif dari pemerintah kota untuk menggerakkan masyarakat.
2. Pemeliharaan
Bangunan peresapan memerlukan perawatan berkala agar tidak tersumbat lumpur atau sampah. Tanpa kesadaran warga dan dukungan operasional, sistem ini bisa kehilangan fungsinya dalam hitungan bulan.
3. Kontaminasi
Salah satu catatan penting adalah mencampurnya air limbah domestik ke sistem peresapan, terutama di danau buatan. Jika tidak ditangani, ecodrainage justru bisa mencemari tanah dan air tanah.
dibandingkan dengan Kota Lain
Bandingkan Jatisari dengan Jakarta, yang menggunakan sistem polder dan kolam retensi besar namun masih mengandalkan pembuangan udara sebagai solusi. Sementara di Jerman dan Belanda, pengelolaan air perkotaan dilakukan dengan prinsip menahan, meresap, dan menguapkan udara setempat sebanyak mungkin.
Jatisari mencoba menggabungkan keduanya: teknologi sederhana (biopori, rorak) namun dengan perhitungan teknis yang cermat. Jika tidak berguna, ini bisa menjadi model untuk daerah perkotaan padat yang memiliki keterbatasan lahan.
Dampak Lebih Luas: Lingkungan, Sosial, Ekonomi
Rekomendasi Penulis
Penutup: Menuju Kota yang Menyerap Air, Bukan Menyebarkannya
Proyek ecodrainage di Jatisari bukan sekadar eksperimen akademik. Ia adalah gambaran bagaimana kota bisa kembali berdamai dengan air. Di era perubahan iklim dan urbanisasi yang brutal, konsep seperti ini bukan hanya relevan — namun mendesak untuk diterapkan secara lebih luas.
Alih-alih terus membangun saluran beton yang lebih besar, mengapa tidak menumbuhkan tanah yang lebih ramah udara? Jatisari sudah membuktikannya. Tinggal bagaimana kita meniru dan mengembangkannya.
Referensi (Gaya APA)
Kamila, N., Wardhana, IW, & Sutrisno, E. (2016). Perencanaan sistem drainase berwawasan lingkungan (Ecodrainage) di Kelurahan Jatisari, Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Jurnal Teknik Lingkungan , 22(2), 63–72.