Banjir Bandang
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Ketika Banjir Datang di Tanah yang Harusnya Kering
Wilayah karst seperti Gunungkidul dikenal minim permukaan udara, namun ironi terjadi di Dukuh Tungu, Desa Girimulyo, ketika kawasan tersebut justru terendam banjir besar selama 4–7 hari akibat siklon tropis Cempaka pada akhir November 2017. Bencana ini bukan hanya langka, tetapi menyingkap sistem sedimen dan kerusakan ekologis di wilayah yang umumnya bersifat porus.
Dian Hudawan Santoso dalam penelitiannya berusaha menjawab tantangan tersebut dengan menerapkan metode ecodrainage —pendekatan berbasis lingkungan yang memanfaatkan sistem retensi dan infiltrasi alami untuk mengelola limpasan air hujan secara berkelanjutan. Artikel ini mengupas strategi penanggulangan banjir berbasis kerentanan multidimensi: lingkungan, fisik, sosial, dan ekonomi.
Kerentanan Banjir di Kawasan Karst: Temuan Penting
Penelitian dilakukan pada RT 06, RT 07, RT 08, dan RT 09 yang mencakup luas ±10,7 Ha. Melalui metode survei, pemetaan, kuesioner pada 65 responden, dan analisis matematis, tingkat kerentanan banjir dinilai berdasarkan empat aspek utama:
Hasilnya, keempat RT dinyatakan memiliki kerentanan banjir tingkat sedang , bahkan pada wilayah yang tidak tergenang. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman banjir tidak hanya terbatas pada ekosistem, tetapi juga kesiapan sistem sosial-ekologis.
Sumber Masalah: Ponor Tertutup dan Limpasan Tak Terarah
Salah satu penemuan kunci adalah tertutupnya ponor (lubang alami karst tempat air meresap ke dalam tanah), akibat pembangunan dan pengurukan oleh warga. Hal ini memperparah genangan karena air hujan tidak lagi memiliki jalan alami untuk meresap, melainkan terkumpul di cekungan, memperpanjang durasi banjir hingga >48 jam.
Solusi Teknologi: Ecodrainage sebagai Pendekatan Adaptif
Ecodrainage yang diterapkan menggabungkan tiga elemen kunci:
1. Kolam Retensi Berbasis Infiltrasi
Meski efisiensi infiltrasinya rendah, kolam ini tetap menjadi zona penyangga yang efektif dalam menahan limpasan langsung.
2. Saluran Air Hujan dengan Rorak dan Bak Pengumpul
Rorak meningkatkan daya serap lokal sekaligus memperlambat aliran udara, memberi waktu untuk infiltrasi.
3. Peninggian Lantai dan Vegetasi Halaman
Efisiensi Sistem: Seberapa Besar Dampaknya?
Hasil akhir menunjukkan bahwa kombinasi ecodrainage dapat mengurangi potensi banjir hingga 71,3% . Ini merupakan angka signifikan untuk wilayah karst dengan karakter tanah lempung yang biasanya sulit ditembus udara.
Pendekatan Non-Teknis: Sosial dan Pemerintahan
Sosial:
Pemerintahan:
Ketiadaan peran serta warga akan membuat infrastruktur mati suri.
Studi Banding dan Kritik
Pita:
Kritik:
Rekomendasi: Langkah Strategis Menuju Ketahanan
Kesimpulan: Teknologi Ramah Lingkungan untuk Daerah Rentan
Penelitian ini memberikan kontribusi besar dalam menunjukkan bahwa metode ecodrainage bisa menjadi alternatif solusi di wilayah karst seperti Dukuh Tungu. Banjir yang dahulu dianggap mustahil di wilayah kering pun kini bisa diatasi dengan sistem infiltrasi dan partisipasi komunitas yang tepat.
Namun, kehancuran sistem tidak hanya terletak pada teknologi, tetapi juga pada kesadaran sosial dan komitmen institusi . Banjir adalah fenomena kompleks yang harus dihadapi dengan pendekatan sistemik—dari bawah ke atas.
Sumber:
Santoso, DH (2019). Penanggulangan Bencana Banjir Berdasarkan Tingkat Kerentanan dengan Metode Ecodrainage pada Ekosistem Karst di Dukuh Tungu, Desa Girimulyo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DIY . Jurnal Geografi, 16(1), 7–15.