Air Lintas Negara

Mendukung Pelibatan Masyarakat Adat dalam Kerjasama Air Lintas Batas

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Mengapa Suara Masyarakat Adat Penting dalam Diplomasi Air Lintas Batas?

Transboundary Water Cooperation (TWC) atau kerjasama air lintas batas menjadi isu strategis di dunia yang semakin terfragmentasi oleh perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan eksploitasi sumber daya. Namun, satu aktor kunci sering terpinggirkan: masyarakat adat. Paper SIWI (2024) ini menyoroti urgensi, tantangan, dan peluang memasukkan perspektif masyarakat adat dalam pengelolaan air lintas negara—bukan hanya sebagai “stakeholder”, melainkan sebagai pemilik hak, penentu kebijakan, dan penjaga ekosistem. Resensi ini mengulas secara kritis isi paper, memperkaya dengan studi kasus, angka-angka penting, serta membandingkan dengan tren global dan literatur mutakhir.

Transboundary Water Cooperation: Realitas dan Tantangan

Air lintas batas menyumbang 60% aliran air tawar dunia, melintasi 47% permukaan bumi, dan melibatkan lebih dari 150 negara serta 286 basin sungai danau serta 592 akuifer lintas negara. Namun, dua pertiga sungai lintas batas dunia belum memiliki kerangka kerjasama formal—padahal tekanan akibat perubahan iklim, polusi, dan perubahan tata guna lahan terus meningkat. Dalam konteks ini, masyarakat adat menghadapi tantangan ganda: mereka sangat tergantung pada ekosistem air, namun hak dan pengetahuannya sering diabaikan dalam perundingan lintas negara12.

Masyarakat Adat: Fakta, Peran, dan Hak

Masyarakat adat berjumlah sekitar 476,6 juta jiwa (6% populasi dunia), tersebar di 90 negara, berbicara lebih dari 4.000 bahasa, dan mengelola 38 juta km² wilayah tradisional (22% daratan dunia)12. Wilayah-wilayah ini mencakup sumber air penting, lahan basah, akuifer, serta “water towers” yang menopang siklus hidrologi global. Ironisnya, hanya 10% wilayah tradisional masyarakat adat yang diakui secara hukum, sementara 25% wilayah mereka berada di bawah tekanan industri ekstraktif, pertanian komersial, dan urbanisasi12.

Mengapa Inklusi Masyarakat Adat dalam TWC Penting?

1. Pengetahuan dan Tata Kelola Tradisional

Penelitian menunjukkan bahwa wilayah yang dikelola masyarakat adat memiliki tingkat biodiversitas dan kualitas ekosistem lebih tinggi dibanding wilayah sekitarnya. Di Amazon, misalnya, 80% biodiversitas dunia berada di tanah adat, meski mereka hanya 6% populasi global. Pengetahuan lokal tentang tata air, pemulihan ekosistem, dan keadilan restoratif menjadi aset penting dalam menghadapi krisis air dan lingkungan12.

2. Hak dan Keadilan

Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP, 2007) dan Konvensi ILO 169 menegaskan hak masyarakat adat atas tanah, air, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Namun, implementasi di tingkat nasional dan internasional masih lemah. Banyak proyek lintas negara—bendungan, irigasi, pertambangan—mengabaikan hak masyarakat adat, memicu konflik, dan memperparah ketidakadilan12.

3. Keragaman Nilai dan Tujuan

Masyarakat adat memandang air bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan bagian dari identitas, spiritualitas, dan relasi sosial. Jika nilai-nilai ini tidak diakui, kebijakan air akan bias pada kepentingan negara atau korporasi, mengorbankan keberlanjutan dan keadilan12.

Studi Kasus: Praktik, Tantangan, dan Peluang

1. Isleta Pueblo dan Sungai Rio Grande (AS-Meksiko)

Komunitas Isleta Pueblo di New Mexico menjadi suku pertama yang menetapkan standar air sendiri di bawah Clean Water Act AS, mengatur kualitas air dan limbah di Rio Grande. Hak ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung AS (Winters v. United States, 1908) yang mengakui hak prioritas air bagi masyarakat adat. Namun, meski secara hukum diakui, partisipasi Isleta Pueblo dalam perjanjian lintas negara Rio Grande tetap terbatas. Mereka berhasil mengamankan hak atas kualitas air, tetapi belum menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan lintas batas12.

2. Mackenzie River Basin (Kanada)

Basin Mackenzie (1,8 juta km²) adalah ekosistem utuh terbesar di Amerika Utara, dihuni oleh sekitar 300.000 orang, 10% di antaranya masyarakat adat First Nations, Métis, dan Inuvialuit. Dewan Basin Mackenzie (MRBB) didirikan pada 1997, melibatkan pemerintah federal, provinsi, teritori, dan pemerintah adat. MRBB mengadopsi pendekatan “braided knowledge”—menggabungkan pengetahuan adat dan sains dalam monitoring dan evaluasi. Namun, partisipasi masyarakat adat masih terbatas: hanya satu perwakilan per yurisdiksi, dan pengambilan keputusan tetap didominasi pemerintah. Meski sudah ada kemajuan, fragmentasi tata kelola dan ketidakseimbangan kekuasaan masih menjadi tantangan utama12.

3. Amazon Basin (Amerika Selatan)

Basin Amazon (7,5 juta km², 8 negara, lebih dari 400 kelompok adat) adalah contoh penting peran masyarakat adat dalam menjaga ekosistem air global. Organisasi Perjanjian Kerjasama Amazon (OTCA) dan protokol strategisnya mengakui peran masyarakat adat sebagai penentu, bukan sekadar penerima manfaat. Namun, pelaksanaan di lapangan masih minim. Hanya sebagian kecil kelompok adat yang benar-benar terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelanggaran hak, pembunuhan pembela lingkungan (358 kasus di 35 negara pada 2021, sepertiga di antaranya masyarakat adat), serta eksploitasi sumber daya terus terjadi. Amazon menjadi laboratorium penting: ketika masyarakat adat diberi ruang, ekosistem lebih terjaga; ketika diabaikan, kerusakan dan konflik meningkat12.

Angka-Angka Kunci dan Fakta Lapangan

  • 60% air tawar dunia lintas batas negara, namun dua pertiga basin belum punya kerangka kerjasama formal.
  • 476,6 juta masyarakat adat mengelola 38 juta km² wilayah tradisional, namun hanya 10% yang diakui hukum.
  • 80% biodiversitas global berada di tanah adat, padahal mereka hanya 6% populasi dunia.
  • 25% wilayah adat di bawah tekanan industri; 54% proyek energi transisi berada di atau dekat tanah adat.
  • Pada 2021, 358 pembela lingkungan tewas, sepertiga di antaranya masyarakat adat12.

Dimensi Kritis: Mengapa Inklusi Sering Gagal?

1. Asimetri Kekuasaan dan Hukum

Sistem hukum internasional masih berorientasi pada kedaulatan negara (Westphalian system), sehingga hak masyarakat adat di lintas negara sering diabaikan. Bahkan di negara yang mengakui UNDRIP, partisipasi masyarakat adat dalam TWC masih minim, terutama dalam proyek besar lintas batas yang berdampak lintas negara12.

2. Kurangnya Sumber Daya dan Kapasitas

Partisipasi bermakna butuh sumber daya: pengetahuan hukum, keahlian teknis, dana, dan kepemimpinan. Banyak masyarakat adat kekurangan akses ke sumber daya ini, sementara negara dan korporasi punya keunggulan besar dalam negosiasi12.

3. Nilai dan Tujuan yang Berbeda

Kebijakan air sering bias pada nilai ekonomi (kuantitas, efisiensi, harga), mengabaikan nilai relasional, spiritual, dan sosial masyarakat adat. Akibatnya, solusi yang dihasilkan cenderung tidak berkelanjutan dan tidak adil12.

Rekomendasi Kebijakan: Jalan Menuju Inklusi yang Bermakna

Paper ini menawarkan empat rekomendasi utama untuk memperkuat inklusi masyarakat adat dalam TWC132:

  1. Pengakuan Hak dan Kewajiban Inheren
    Negara dan lembaga internasional harus mengakui hak masyarakat adat atas air dan wilayah tradisional, berdasarkan relasi historis dan budaya.
  2. Pengakuan Sistem Nilai yang Berbeda
    Tata kelola air harus mengakomodasi keragaman tujuan, nilai, dan prioritas—tidak hanya nilai ekonomi, tetapi juga relasional, spiritual, dan budaya.
  3. Refleksi Perbedaan Tujuan dan Nilai dalam Tata Kelola
    Proses pengambilan keputusan harus transparan, inklusif, dan mampu menampung perbedaan tujuan antara negara, masyarakat adat, dan aktor lain.
  4. Peningkatan Sumber Daya dan Kapasitas
    Negara dan lembaga donor harus mendukung penguatan kapasitas masyarakat adat: pendidikan hukum, keahlian teknis, pendanaan, dan kepemimpinan.

Analisis Kritis dan Perbandingan Global

Kekuatan Paper

  • Pendekatan holistik: Mengintegrasikan aspek hukum, sosial, ekologi, dan budaya.
  • Studi kasus nyata: Menampilkan keberhasilan dan tantangan di Amerika Utara dan Selatan.
  • Rekomendasi aplikatif: Fokus pada perubahan sistemik, bukan hanya simbolik.

Kritik dan Tantangan

  • Implementasi masih lemah: Banyak rekomendasi sudah ada di dokumen internasional, tapi pelaksanaan di lapangan sering tertunda oleh birokrasi, politik, dan resistensi negara.
  • Peran sektor swasta: Paper kurang membahas peran dan tanggung jawab korporasi dalam proyek lintas negara yang berdampak pada masyarakat adat.
  • Keterbatasan data: Banyak kasus pelanggaran hak dan keberhasilan partisipasi tidak terdokumentasi dengan baik, menyulitkan evaluasi dampak jangka panjang.

Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan

  • SDGs dan Paris Agreement: Inklusi masyarakat adat kini menjadi indikator kunci dalam SDG 6 (air bersih dan sanitasi) serta agenda iklim global.
  • Inovasi tata kelola: Pendekatan “braided knowledge” (gabungan sains dan pengetahuan adat) mulai diadopsi di Kanada, Australia, dan Amerika Latin.
  • Keterlibatan LSM dan donor: Dukungan internasional terhadap organisasi masyarakat adat dan jaringan basin semakin penting untuk memperkuat posisi mereka dalam TWC.

Rekomendasi Praktis untuk Pengambil Kebijakan dan Industri

  1. Libatkan masyarakat adat sejak awal dalam perencanaan, bukan hanya konsultasi formal.
  2. Alokasikan dana khusus untuk penguatan kapasitas masyarakat adat dalam negosiasi lintas batas.
  3. Adopsi indikator keberhasilan yang mengukur dampak sosial, budaya, dan ekologi, bukan hanya output fisik atau ekonomi.
  4. Dorong penelitian dan dokumentasi pengalaman lokal untuk memperkuat advokasi di tingkat nasional dan internasional.
  5. Bangun mekanisme resolusi konflik yang mengakui hak adat dan nilai relasional air.

Menuju Diplomasi Air yang Adil dan Berkelanjutan

Paper SIWI (2024) menegaskan bahwa inklusi masyarakat adat dalam kerjasama air lintas batas bukan sekadar tuntutan moral, tetapi prasyarat keberlanjutan dan keadilan. Tanpa pengakuan hak, nilai, dan kapasitas masyarakat adat, kebijakan air akan terus bias, rentan konflik, dan gagal menjaga ekosistem. Inklusi yang bermakna, dukungan sumber daya, dan pengakuan nilai relasional air adalah kunci menuju masa depan air yang adil dan berkelanjutan.

Sumber Artikel Asli

Goldie-Ryder. K., Hebart-Coleman. D., and Martinez-Cruz, T.E., 2024. Working Paper: Supporting the Inclusion of Indigenous Peoples in Transboundary Water Cooperation, Stockholm: International Centre for Water Cooperation, Water Governance Facility, Stockholm International Water Institute.

Selengkapnya
Mendukung Pelibatan Masyarakat Adat dalam Kerjasama Air Lintas Batas

Air Lintas Negara

Prinsip-Prinsip Pengelolaan Air Lintas Negara di Asia Tengah dan Tantangan Implementasinya

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 Juni 2025


Mengapa Diplomasi Air di Asia Tengah Begitu Penting?

Asia Tengah adalah kawasan yang sangat bergantung pada dua sungai utama, Amu Darya dan Syr Darya, untuk menopang kehidupan, pertanian, dan energi. Dengan lima negara—Uzbekistan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Kazakhstan, dan Turkmenistan—yang saling berbagi sumber daya air, pengelolaan lintas batas menjadi kunci stabilitas dan keberlanjutan kawasan. Paper Rahaman (2012) membedah bagaimana prinsip-prinsip internasional tentang pengelolaan air diterapkan dalam perjanjian-perjanjian regional, serta mengulas tantangan implementasi di lapangan.

Latar Belakang Geografis dan Sosial: Sungai sebagai Sumber Kehidupan dan Konflik

Amu Darya dan Syr Darya mengalir melintasi ribuan kilometer, menghidupi jutaan orang dan menjadi tulang punggung pertanian. Namun, distribusi air tidak merata. Negara-negara hulu seperti Kyrgyzstan dan Tajikistan memiliki cadangan air melimpah dan memanfaatkannya terutama untuk pembangkit listrik di musim dingin. Sebaliknya, negara-negara hilir seperti Uzbekistan, Kazakhstan, dan Turkmenistan sangat bergantung pada air untuk irigasi pertanian, terutama kapas dan gandum. Ketidakseimbangan kebutuhan dan sumber daya ini sering menjadi sumber ketegangan.

Prinsip-Prinsip Hukum Internasional dalam Pengelolaan Air Lintas Negara

Rahaman mengidentifikasi lima prinsip utama yang diakui secara internasional:

  1. Pemanfaatan Adil dan Wajar (Equitable and Reasonable Utilization):
    Setiap negara berhak menggunakan air secara adil, dengan mempertimbangkan faktor geografis, kebutuhan sosial-ekonomi, dan lingkungan.
  2. Kewajiban Tidak Menimbulkan Kerugian Signifikan (Obligation Not to Cause Significant Harm):
    Negara tidak boleh memanfaatkan air hingga merugikan negara lain, baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
  3. Kerjasama dan Pertukaran Informasi (Cooperation and Information Exchange):
    Negara harus saling berbagi data dan bekerjasama dalam pengelolaan air.
  4. Notifikasi, Konsultasi, dan Negosiasi (Notification, Consultation, and Negotiation):
    Setiap rencana pembangunan yang berpotensi berdampak lintas batas wajib dikomunikasikan dan dikonsultasikan.
  5. Penyelesaian Damai (Peaceful Settlement of Disputes):
    Perselisihan harus diselesaikan secara damai melalui dialog atau mekanisme yang disepakati bersama.

Kelima prinsip ini tercermin dalam berbagai konvensi global, seperti Helsinki Rules dan Konvensi PBB tentang Air Lintas Negara (1997).

Studi Kasus: Perjanjian dan Implementasi di Asia Tengah

Perjanjian Almaty 1992

Setelah runtuhnya Uni Soviet, lima negara Asia Tengah menandatangani Perjanjian Almaty pada tahun 1992 sebagai kerangka hukum utama untuk pengelolaan bersama air lintas negara. Perjanjian ini mengakui prinsip pemanfaatan adil, kewajiban mencegah kerugian, pentingnya kerjasama, serta mekanisme penyelesaian damai. Komisi ICWC (Interstate Commission for Water Coordination) dibentuk untuk mengatur distribusi air dan memastikan suplai ke Laut Aral.

Namun, dalam praktiknya, pembagian air seringkali tidak berjalan mulus. Negara-negara hulu kerap memprioritaskan kebutuhan energi mereka, sementara negara hilir menuntut suplai air untuk irigasi. Ketika musim kering tiba, negosiasi seringkali berlangsung alot dan berujung pada kompromi jangka pendek yang tidak menyelesaikan akar masalah.

Statuta ICWC 2008

Statuta ini memperkuat mandat ICWC dan secara eksplisit mengadopsi prinsip-prinsip internasional, termasuk kewajiban menerapkan Integrated Water Resources Management (IWRM). Statuta juga menegaskan pentingnya pertukaran informasi, konsultasi, dan penyelesaian damai. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Tidak ada batas waktu yang jelas untuk proses konsultasi, dan mekanisme sanksi bagi pelanggaran hampir tidak ada.

Tantangan Utama dalam Implementasi

1. Lemahnya Penegakan dan Sanksi

Meskipun prinsip-prinsip internasional sudah diadopsi, tidak ada mekanisme sanksi yang jelas jika terjadi pelanggaran. Negara-negara hulu bisa saja membangun bendungan atau mengubah aliran air tanpa koordinasi efektif, dan negara hilir hanya bisa mengajukan protes tanpa ada konsekuensi nyata.

2. Kurangnya Keterlibatan Stakeholder

Proses pengambilan keputusan masih sangat birokratis dan tertutup. Petani, masyarakat sipil, dan LSM hampir tidak pernah dilibatkan, padahal mereka adalah pihak yang paling terdampak oleh kebijakan air.

3. Afghanistan sebagai “Missing Link”

Afghanistan menyumbang sekitar 10% debit Amu Darya, namun tidak terlibat dalam perjanjian regional. Jika Afghanistan meningkatkan penggunaan airnya di masa depan, potensi konflik baru bisa muncul karena negara-negara lain tidak punya mekanisme untuk mengantisipasi atau menyelesaikan sengketa.

4. Kualitas Air dan Krisis Lingkungan

Fokus perjanjian selama ini lebih pada kuantitas air daripada kualitas dan keberlanjutan lingkungan. Krisis Laut Aral adalah bukti nyata bagaimana irigasi besar-besaran tanpa koordinasi lintas negara bisa menghancurkan ekosistem dan ekonomi lokal. Volume Laut Aral menyusut hingga 90% sejak 1960-an, menyebabkan bencana lingkungan dan sosial berskala besar.

5. Negosiasi Musiman yang Tak Pernah Usai

Setiap tahun, negara-negara Asia Tengah harus berunding ulang terkait pembagian air, terutama saat musim kering. Ketegangan politik kerap meningkat, dan solusi yang diambil seringkali hanya bersifat sementara.

Perbandingan dengan Tren Global

Di Eropa, pengelolaan air lintas negara sudah jauh lebih maju. Perjanjian seperti EU Water Framework Directive menekankan kualitas air, partisipasi publik, dan mekanisme sanksi yang jelas. Negara-negara Asia Tengah memang sudah mengadopsi prinsip-prinsip hukum internasional, namun pelaksanaannya masih didominasi pendekatan top-down dan kurang transparan.

Konvensi PBB tentang Air Lintas Negara (1997) juga belum sepenuhnya diadopsi di kawasan ini. Hingga 2011, hanya Uzbekistan yang meratifikasi konvensi tersebut, menunjukkan resistensi negara-negara hulu terhadap aturan yang lebih mengikat.

Opini dan Kritik atas Paper

Paper Rahaman patut diapresiasi karena mampu menguraikan secara sistematis bagaimana prinsip-prinsip internasional diadopsi dalam perjanjian regional Asia Tengah. Namun, penulis juga menyoroti bahwa adopsi prinsip di atas kertas tidak otomatis menjamin implementasi di lapangan. Lemahnya mekanisme penegakan, minimnya partisipasi masyarakat, dan absennya Afghanistan dari kerjasama regional menjadi tantangan besar.

Selain itu, isu kualitas air dan keberlanjutan lingkungan masih kurang mendapat perhatian, padahal krisis Laut Aral seharusnya menjadi pelajaran penting. Paper ini juga menyoroti perlunya reformasi institusi, transparansi, dan keterlibatan semua pemangku kepentingan agar pengelolaan air lintas negara benar-benar berkelanjutan.

Rekomendasi untuk Masa Depan Pengelolaan Air di Asia Tengah

Agar tata kelola air lintas negara di Asia Tengah bisa lebih efektif, beberapa langkah penting perlu dilakukan:

  • Penguatan Mekanisme Implementasi dan Sanksi: Perjanjian harus mencantumkan batas waktu, prosedur yang jelas, dan sanksi jika terjadi pelanggaran.
  • Keterlibatan Afghanistan dan Stakeholder Lokal: Semua negara riparian dan pemangku kepentingan lokal harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
  • Fokus pada Kualitas Air dan Ekologi: Aspek lingkungan harus menjadi prioritas utama, bukan hanya sekadar pembagian kuantitas air.
  • Dorong Ratifikasi Konvensi Internasional: Negara-negara Asia Tengah perlu segera meratifikasi dan mengimplementasikan Konvensi PBB tentang Air Lintas Negara.
  • Transparansi dan Partisipasi Publik: Proses pengambilan keputusan harus terbuka dan melibatkan masyarakat sipil serta LSM.

Menuju Tata Kelola Air Lintas Negara yang Berkelanjutan

Paper Rahaman (2012) menegaskan bahwa meski prinsip-prinsip internasional sudah diadopsi dalam perjanjian air regional Asia Tengah, implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Kunci keberhasilan ada pada penguatan institusi, partisipasi semua pihak, transparansi, serta komitmen politik untuk mengutamakan kepentingan bersama dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa reformasi mendasar, Asia Tengah berisiko terus terjebak dalam siklus konflik dan krisis air yang mengancam masa depan kawasan.

Sumber Artikel 

Principles of Transboundary Water Resources Management and Water-related Agreements in Central Asia: An Analysis, Muhammad Mizanur Rahaman, International Journal of Water Resources Development, 28:3, 475-491, 2012.

Selengkapnya
Prinsip-Prinsip Pengelolaan Air Lintas Negara di Asia Tengah dan Tantangan Implementasinya
page 1 of 1