Air laut pasang
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Rob, Bencana yang Pelan Tapi Mematikan
Berbeda dari banjir bandang atau luapan sungai yang datang cepat, banjir rob terjadi secara perlahan namun pasti—didorong oleh pasang air laut yang kian tinggi, ditambah penurunan permukaan tanah akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan. Fenomena ini kini menjadi momok di berbagai kota besar pesisir Indonesia, termasuk Jakarta Utara, Semarang Timur, Brebes, dan Pekalongan.
Penelitian karya Annisa Widya Syafitri dan Agus Rochani dari Universitas Islam Sultan Agung ini menyajikan analisis komprehensif mengenai penyebab dan dampak banjir rob melalui pendekatan studi pustaka terhadap empat kota utama.
Akar Masalah: Kombinasi Alam dan Ulah Manusia
1. Penurunan Muka Tanah (Penurunan Tanah)
Fenomena ini terjadi ketika akuifer di bawah tanah mengering karena kelebihan pemompaan udara tanah. Di Jakarta Utara, penurunan muka tanah mencapai 20–28 cm per tahun, angka yang sangat tinggi secara global.
Hal serupa juga tercatat di Semarang Timur dengan angka 5,58 cm per tahun, menampilkan korelasi erat antara pengambilan air tanah, pembangunan gedung tinggi tanpa kajian geoteknik, dan amblesan tanah.
2. Kenaikan Muka Air Laut (Kenaikan Permukaan Laut)
Pemanasan global menyebabkan suhu laut meningkat, memperluas volume udara dan menaikkan permukaan laut. Di Semarang Timur, muka laut naik hingga 5 mm/tahun, sementara di Brebes tercatat 3,87 cm/tahun. Dalam jangka panjang, hal ini membuat daratan di pesisir pantai semakin tenggelam.
3. Topografi dan Jenis Tanah
Wilayah dengan kontur datar dan jenis tanah aluvial seperti di Pekalongan dan Brebes sangat rentan terhadap cakupan yang bertahan lama. Tanah lempung jenuh di Semarang, misalnya, membuat udara sulit meresap sehingga menampung lebih sulit pasang surut.
Dampak Sosial dan Ekonomi: Saat Air Menenggelamkan Harapan
Banjir rob lebih disebabkan oleh sekadar menampung. Dampaknya meliputi:
Studi Kasus Empat Kota: Satu Gejala, Empat Wajah
Jakarta Utara
Wilayah ini berada di ketinggian 0–3 meter di atas permukaan laut. Rob mencapai 100 cm saat dipasang. Parahnya, reklamasi pantai utara Jakarta justru menikmati situasi dengan mengurangi penutupan hutan bakau yang sejatinya berfungsi sebagai benteng alami.
Semarang Timur
Tanah aluvial yang jenuh membuat rob di sini bertahan lama. Infrastruktur seperti tanggul dan drainase rusak dan tidak terawat. Sungai dangkal akibat sedimentasi memperparah situasi.
Kabupaten Brebes
Topografi datar dengan kemiringan hanya 0–3% membuat udara laut mudah merangsek ke daratan. Diperkirakan pada tahun 2022, lebih dari 5.000 hektar lahan terendam.
Pekalongan
Terjadi banjir rob di lima kecamatan dan dua puluh desa. Penyebabnya meliputi sedimentasi sungai, penurunan tanah, serta rusaknya tanggul.
Solusi Struktural: Polder dan DAM Lepas Pantai
Sistem Polder
Polder bekerja dengan mengisolasi kawasan dari air laut menggunakan tanggul, dilengkapi pompa untuk membuang air keluar. Namun polder sering gagal karena:
Studi oleh Nugroho (2016) menyebut bahwa sistem polder hanya efektif bila dibarengi pendidikan dan perencanaan jangka panjang.
DAM Lepas Pantai (DLP)
DLP bisa menahan gelombang pasang dan sekaligus mengeluarkan air laut untuk didestilasi menjadi air tawar. Bahkan potensinya dikembangkan sebagai sumber energi dari gelombang laut. Namun tantangan biaya dan teknologi masih tinggi untuk diterapkan secara massal.
Rekomendasi Strategi: Kombinasi Pendekatan Adaptif dan Struktural
Opini: Dari Banjir Rob ke Reformasi Tata Kota
Banjir rob bukan sekedar bencana, tetapi gejala dari rusaknya sistem tata kelola kota pesisir. Kota-kota seperti Jakarta dan Semarang dibangun tanpa pertimbangan ekologisnya. Kini, setiap rob yang datang menjadi "nota protes" dari alam terhadap ekspansi tanpa batas.
Kebijakan harus bertransformasi dari reaktif menjadi proaktif. Pendekatan berbasis risiko, konservasi wilayah hulu, serta manajemen terpadu wilayah pesisir (ICZM) harus menjadi standar.
Kesimpulan: Tenggelam Jika Diam, Terselamatkan Jika Bergerak
Penelitian ini membuktikan bahwa banjir rob adalah fenomena multidimensi yang membutuhkan solusi lintas sektor. Mengandalkan tanggul saja tidak cukup. Solusinya harus bersifat sistemik—mulai dari pengaturan tata ruang, konservasi udara tanah, hingga manajemen partisipatif berbasis komunitas.
Jika tidak segera ditangani, hal ini akan menghancurkan lebih dari sekedar tanah—tapi juga kehidupan, ekonomi, dan harapan kota-kota pesisir kita.
Sumber:
Syafitri, AW, & Rochani, A. (2021). Analisis Penyebab Banjir Rob di Kawasan Pesisir (Studi Kasus: Jakarta Utara, Semarang Timur, Kabupaten Brebes, Pekalongan) . Jurnal Kajian Ruang, 1(1), 16–28.