Air Bersih

Menguak Hubungan Pendanaan Infrastruktur Air dan Layanan Air Bersih: Resensi Kritis Studi Lerato Caroline Bapela di Afrika Selatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Juli 2025


Mengapa Uang Saja Tidak Cukup untuk Air Bersih?

Air bersih adalah kebutuhan dasar manusia dan fondasi pembangunan berkelanjutan. Namun, di banyak negara berkembang, layanan air bersih masih jauh dari harapan meski dana infrastruktur terus digelontorkan. Apakah benar masalah utama selalu kekurangan dana? Atau ada faktor lain yang lebih menentukan? Disertasi Lerato Caroline Bapela (2017) berjudul “An Evaluation of the Relationship Between Water Infrastructure Financing and Water Provision in South Africa” membongkar mitos lama tersebut dan menawarkan sudut pandang baru yang sangat relevan, tidak hanya untuk Afrika Selatan, tapi juga negara-negara seperti Indonesia.

Artikel ini mengupas temuan utama, studi kasus, serta angka-angka penting dari penelitian Bapela, lalu mengaitkannya dengan tren global, tantangan industri, dan memberikan opini serta rekomendasi strategis yang bisa menjadi inspirasi bagi pembaca di Indonesia dan negara berkembang lainnya.

Latar Belakang: Krisis Air dan Dilema Investasi Infrastruktur

Afrika Selatan adalah salah satu negara di benua Afrika yang ekonominya paling maju, namun tetap menghadapi krisis air bersih yang akut. Pada 1994, dari sekitar 40 juta penduduk, 15,2 juta di antaranya belum memiliki akses air bersih. Bahkan setelah dua dekade reformasi, jutaan orang masih kekurangan layanan air layak. Pemerintah telah menggelontorkan investasi besar-besaran, terutama pada era 1970–1980, namun hasilnya jauh dari memuaskan. Urbanisasi pesat dan pertumbuhan penduduk membuat infrastruktur yang ada tak mampu mengejar kebutuhan.

Fenomena ini juga terjadi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana proyek air bersih kerap gagal memenuhi ekspektasi meski dana besar sudah dialokasikan.

Metodologi: Analisis Data dan Faktor Multi-Dimensi

Bapela menggunakan data arsip nasional Afrika Selatan dari periode 1994 hingga 2014. Data yang dianalisis meliputi pendanaan infrastruktur air, tingkat layanan air, efektivitas tata kelola, korupsi, kekerasan sosial, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Analisis dilakukan dengan regresi OLS fixed effect untuk melihat hubungan antar variabel secara objektif dan mendalam.

Temuan Utama: Dana Bukan Segalanya

1. Tidak Ada Hubungan Signifikan antara Pendanaan dan Layanan Air

Salah satu temuan paling mengejutkan adalah tidak terdapat hubungan signifikan antara besaran dana infrastruktur air dan peningkatan layanan air. Hasil regresi statistik menunjukkan p-value sebesar 0,06, lebih besar dari batas signifikansi 0,05. Artinya, menambah dana saja tidak otomatis memperbaiki akses air bersih masyarakat.

2. Faktor Non-Finansial Lebih Berpengaruh

Penelitian ini justru menemukan bahwa faktor-faktor seperti korupsi, kekerasan sosial, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat jauh lebih menentukan kualitas layanan air. Beberapa angka penting dari penelitian Bapela antara lain:

  • Setiap kenaikan 1% dalam akuntabilitas dapat meningkatkan layanan air hingga 124%.
  • Setiap kenaikan 1% tingkat korupsi menurunkan layanan air lebih dari 4%.
  • Peningkatan 1% kekerasan sosial menurunkan layanan air lebih dari 3%.
  • Keterlibatan masyarakat (voice) sangat berpengaruh; setiap kenaikan 1% dapat meningkatkan layanan air hingga 249%.

3. Layanan Air Mempengaruhi Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan

Analisis lanjutan menunjukkan bahwa peningkatan akses air berbanding lurus dengan penurunan kemiskinan dan peningkatan produksi pangan. Setiap kenaikan 1% layanan air, tingkat kemiskinan turun dan produksi sereal naik hingga 553%. Ini membuktikan bahwa layanan air bersih adalah katalisator utama pembangunan ekonomi dan sosial.

Studi Kasus: Afrika Selatan sebagai Cermin Negara Berkembang

Kesenjangan Investasi dan Realitas Lapangan

Pada tahun 2011, kekurangan investasi infrastruktur air di Afrika Selatan diperkirakan lebih dari R600 miliar per tahun. Meski ada peningkatan dana, layanan air tetap stagnan di banyak daerah, terutama pedesaan. Di sisi lain, praktik korupsi, birokrasi yang lemah, dan minimnya pengawasan membuat dana yang besar tidak berdampak signifikan pada layanan air.

Dampak Sosial: Protes dan Kekerasan

Kekurangan air bersih sering memicu protes sosial yang berujung pada kekerasan. Banyak warga melakukan boikot pembayaran, sambungan ilegal, hingga menggugat pemerintah secara hukum. Ini menunjukkan bahwa kegagalan layanan air bukan hanya soal teknis, tapi juga berdampak pada stabilitas sosial dan politik.

Analisis Kritis: Kelebihan, Keterbatasan, dan Perbandingan Penelitian

Kelebihan Studi

  • Pendekatan holistik: Tidak hanya melihat aspek keuangan, tapi juga tata kelola, sosial, dan politik.
  • Model konseptual baru: Menawarkan kerangka kerja yang bisa diadaptasi negara berkembang lain.
  • Relevansi global: Temuan bisa diaplikasikan di banyak negara yang menghadapi tantangan serupa.

Keterbatasan

  • Data sekunder: Ketergantungan pada data pemerintah bisa memunculkan bias.
  • Generalisasi: Konteks politik dan sosial tiap negara berbeda, sehingga butuh penyesuaian sebelum mengadopsi model ini.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Temuan Bapela sejalan dengan studi di Asia dan Amerika Latin yang menekankan pentingnya tata kelola, pemberantasan korupsi, dan partisipasi masyarakat dalam layanan air. Di Indonesia, banyak program air bersih gagal karena hanya fokus pada proyek fisik tanpa memperbaiki tata kelola dan transparansi.

Implikasi untuk Kebijakan dan Industri

Rekomendasi Strategis

  1. Fokus pada tata kelola dan akuntabilitas. Pemerintah harus memperbaiki sistem pengawasan, pelaporan, dan transparansi penggunaan dana.
  2. Pemberantasan korupsi. Penguatan lembaga anti-korupsi dan sanksi tegas bagi pelaku sangat penting.
  3. Peningkatan partisipasi masyarakat. Libatkan masyarakat dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi proyek air.
  4. Penguatan kapasitas SDM. Tingkatkan kompetensi pegawai dan pemangku kepentingan di sektor air.
  5. Kolaborasi multi-sektor. Sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk inovasi layanan air.

Pelajaran untuk Indonesia dan Negara Berkembang Lain

  • Jangan hanya mengandalkan proyek fisik. Infrastruktur tanpa tata kelola yang baik akan gagal.
  • Transparansi dan partisipasi publik harus menjadi inti setiap proyek layanan publik.
  • Manfaatkan teknologi digital. Digitalisasi pelaporan dan pengawasan bisa meningkatkan transparansi dan efisiensi.

Tren Global: Dari Infrastruktur Menuju Tata Kelola

Target SDGs menekankan pentingnya akses air bersih dan sanitasi yang layak, namun juga menuntut tata kelola yang transparan dan partisipatif. Kota-kota besar di negara berkembang kini menghadapi tantangan serupa, sehingga pembelajaran dari Afrika Selatan sangat relevan untuk kota-kota di Indonesia, India, dan Afrika. Teknologi digital seperti big data, IoT, dan aplikasi pelaporan masyarakat mulai diadopsi untuk meningkatkan akuntabilitas dan layanan.

Opini dan Kritik: Menembus Mitos “Uang adalah Segalanya”

Penelitian ini membongkar mitos bahwa dana besar otomatis menghasilkan layanan air yang baik. Fakta di lapangan membuktikan, tanpa tata kelola yang baik, dana hanya akan menjadi “bensin” bagi korupsi dan inefisiensi. Studi ini menegaskan pentingnya pendekatan holistik: infrastruktur, tata kelola, akuntabilitas, dan partisipasi publik harus berjalan bersama.

Namun, penelitian ini juga perlu dilengkapi dengan data primer dan pendekatan kualitatif untuk memahami dinamika sosial dan politik di balik angka-angka statistik. Adaptasi model ke konteks lokal sangat penting agar rekomendasi benar-benar bisa diimplementasikan.

Kesimpulan: Paradigma Baru Pembangunan Layanan Air Bersih

Studi Bapela menegaskan bahwa pembiayaan infrastruktur hanyalah salah satu bagian dari ekosistem layanan air bersih. Keberhasilan layanan air sangat ditentukan oleh tata kelola, akuntabilitas, pemberantasan korupsi, dan partisipasi masyarakat. Negara berkembang seperti Indonesia dapat mengambil pelajaran penting: investasi besar harus diimbangi dengan reformasi tata kelola dan pemberdayaan masyarakat jika ingin mencapai target layanan air berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan.

Sumber

Lerato Caroline Bapela. (2017). "An Evaluation of the Relationship Between Water Infrastructure Financing and Water Provision in South Africa". Doctoral Thesis, University of Limpopo.

Selengkapnya
Menguak Hubungan Pendanaan Infrastruktur Air dan Layanan Air Bersih: Resensi Kritis Studi Lerato Caroline Bapela di Afrika Selatan

Air Bersih

Transformasi Layanan Air Bersih di Indonesia: Tantangan, Studi Kasus, dan Strategi Sukses Skema Public-Private Partnership (PPP)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Juli 2025


Air Bersih, Infrastruktur Vital, dan Peran PPP di Indonesia

Akses air bersih adalah hak dasar sekaligus fondasi pembangunan berkelanjutan. Namun, di Indonesia, penyediaan air bersih yang layak dan terjangkau masih menjadi tantangan besar. Keterbatasan anggaran negara menyebabkan pemerintah harus mencari solusi inovatif, salah satunya dengan melibatkan sektor swasta melalui skema Public-Private Partnership (PPP). Artikel ini mengulas secara mendalam hasil penelitian “Public-Private Partnership Water Supply Project in Indonesia: A Public Sector Review” karya Auliya, Nurkholis, dan Sabirin, dengan fokus pada tantangan nyata, studi kasus, angka-angka penting, serta strategi sukses yang relevan dengan tren global.

Latar Belakang: Mengapa PPP Menjadi Pilihan Strategis?

Kesenjangan Pendanaan Infrastruktur

  • Target Infrastruktur Nasional: RPJMN 2020–2024 menargetkan rasio ketersediaan infrastruktur sebesar 49,4% pada tahun 2024.
  • Keterbatasan Anggaran: Dari kebutuhan investasi pengembangan akses air bersih sebesar Rp123,4 triliun, APBN dan APBD hanya mampu menutupi Rp36,6 triliun. Artinya, terdapat gap pendanaan hingga Rp86,8 triliun yang harus diatasi melalui sumber lain, termasuk PPP.

PPP: Sinergi Pemerintah dan Swasta

PPP adalah skema kolaborasi jangka panjang antara pemerintah dan swasta untuk membangun, mengelola, dan memelihara infrastruktur publik. Pemerintah bertindak sebagai regulator dan penyedia kebijakan, sementara swasta membawa inovasi, modal, dan efisiensi operasional.

Tren Global dan Relevansi di Indonesia

Di Asia Tenggara, PPP telah menjadi strategi utama untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi beban fiskal pemerintah. Di Indonesia, PPP di sektor air bersih mulai mendapat perhatian sejak masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Bandar Lampung, Semarang Barat, dan Umbulan.

Studi Kasus: Implementasi PPP Air Bersih di Indonesia

Proyek Strategis Nasional Sektor Air Bersih

  • Total Investasi: Tiga proyek utama (Bandar Lampung, Semarang Barat, Umbulan) memiliki nilai investasi IDR 5,948 triliun.
  • Jenis Proyek: Proyek-proyek ini sebagian besar merupakan inisiatif swasta (unsolicited), artinya ide dan studi kelayakan berasal dari badan usaha, bukan pemerintah.

Tahapan dan Kendala Implementasi

Penelitian ini mengkaji proyek PPP air bersih yang telah melewati tahap penandatanganan perjanjian, namun masih menghadapi berbagai kendala:

  1. Pengadaan Lahan
    • Proses pengadaan lahan seringkali memakan waktu lama akibat birokrasi dan masalah administrasi.
    • Keterlambatan pengadaan lahan menyebabkan mundurnya jadwal konstruksi dan berpotensi menimbulkan kompensasi finansial kepada pihak swasta.
  2. Kepastian Sumber Air Baku
    • Sumber air baku utama (misal bendungan) sering belum siap saat proyek berjalan, menghambat progres konstruksi.
    • Koordinasi antara kementerian dan pihak eksternal menjadi kunci, namun seringkali belum optimal.
  3. Inflasi dan Ketidakpastian Ekonomi
    • Keterlambatan proyek akibat masalah lahan dan air baku meningkatkan biaya akibat inflasi.
    • Beban inflasi bisa jatuh ke pihak swasta (SPV), namun jika kerugian signifikan, pemerintah juga harus menanggung sebagian.
  4. Penetapan Tarif Air
    • Belum ada standar tarif nasional, sehingga tiap daerah menerapkan tarif berbeda-beda.
    • Tarif rendah dan birokrasi daerah sering menyulitkan penyesuaian harga, mengurangi minat investor swasta.
  5. Pengembangan Infrastruktur Hilir
    • Proyek PPP biasanya hanya mencakup infrastruktur hulu, sementara pengembangan hilir (jaringan distribusi ke pelanggan) menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
    • Pandemi COVID-19 memperparah kondisi dengan membatasi anggaran daerah untuk pengembangan hilir.

Angka-angka Kunci dari Studi Kasus

  • Kebutuhan investasi air bersih nasional: Rp123,4 triliun (2020–2024)
  • Ketersediaan APBN/APBD: Rp36,6 triliun
  • Gap pendanaan: Rp86,8 triliun
  • Nilai investasi 3 PSN air bersih utama: IDR 5,948 triliun
  • Waktu investasi PPP: Hingga 50 tahun, menunjukkan profil risiko jangka panjang

Analisis Tantangan Utama Skema PPP Air Bersih

Kompleksitas Multi-Stakeholder

PPP melibatkan banyak pihak: pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. Koordinasi lintas lembaga seringkali menjadi tantangan tersendiri, terutama dalam hal pengambilan keputusan, pembagian risiko, dan pengawasan proyek.

Risiko dan Mitigasi

Penelitian ini mengidentifikasi 11 aspek risiko utama dalam proyek PPP air bersih, mulai dari lokasi, desain, konstruksi, operasi, hingga politik dan force majeure. Risiko-risiko ini harus dibagi dan dimitigasi secara adil antara pemerintah dan swasta, dengan perjanjian yang jelas dan mekanisme kompensasi yang transparan.

Regulasi dan Kebijakan

  • Peraturan Presiden No. 38/2015: Mengatur mekanisme PPP, baik yang diinisiasi pemerintah (solicited) maupun swasta (unsolicited).
  • Tantangan: Setiap proyek memiliki karakteristik dan risiko berbeda, sehingga regulasi harus adaptif dan tidak kaku.

Keterbatasan Teknologi dan Modal

Teknologi pengolahan air dan modal besar masih didominasi pihak asing. Hal ini menuntut pemerintah untuk lebih aktif mengembangkan kapasitas nasional dan membuka akses informasi tender ke investor internasional.

Critical Success Factors (CSF): Kunci Sukses PPP Air Bersih

Penelitian ini menyoroti beberapa faktor kunci keberhasilan (CSF) yang wajib diperhatikan agar proyek PPP air bersih berjalan optimal:

  • Good Governance dan Dukungan Pemerintah: Komitmen dan tata kelola yang transparan menjadi fondasi utama.
  • Sistem Pengadaan yang Transparan: Proses tender harus kompetitif dan bebas intervensi.
  • Kepastian Hukum dan Regulasi: Regulasi yang jelas dan adaptif memudahkan investor memahami risiko dan peluang.
  • Komitmen dan Pengalaman Pihak Swasta: Swasta harus memiliki rekam jejak dan kapasitas finansial yang kuat.
  • Dukungan Publik: Partisipasi dan penerimaan masyarakat penting untuk kelancaran proyek.

Studi Kasus: Hambatan dan Solusi di Proyek Air Bersih PPP

Studi Kasus 1: Keterlambatan Pengadaan Lahan

Pada salah satu proyek air bersih PSN, pengadaan lahan yang seharusnya selesai sebelum konstruksi justru berjalan paralel, menyebabkan keterlambatan signifikan. Solusi yang diambil adalah:

  • Koordinasi Intensif: GCA (Government Contracting Agency) melakukan koordinasi lintas lembaga untuk mempercepat proses.
  • Kompensasi Finansial: SPV mendapat kompensasi atas kerugian akibat keterlambatan, sesuai aturan PPP.

Studi Kasus 2: Sumber Air Baku Belum Siap

Pada proyek lain, sumber air baku utama (bendungan) masih dalam tahap konstruksi saat proyek PPP dimulai. Akibatnya, jadwal konstruksi air bersih ikut tertunda. Upaya mitigasi meliputi:

  • Pencarian Alternatif Sumber Air: GCA mencari sumber air lain sebagai solusi sementara.
  • Penundaan Commercial Operation Date (COD): Jika tidak ada solusi, proyek ditunda dengan kompensasi finansial untuk SPV.

Studi Kasus 3: Penetapan Tarif yang Tidak Kompetitif

Beberapa proyek menghadapi masalah tarif air yang terlalu rendah, sehingga tidak menarik bagi investor swasta. Solusi yang disarankan:

  • Perbaikan Regulasi Tarif: Pemerintah pusat dan daerah diharapkan membuat standar tarif yang adil dan kompetitif.
  • Keterlibatan Publik: Konsultasi publik dilakukan untuk memastikan tarif tetap terjangkau namun layak secara bisnis.

Studi Kasus 4: Pandemi COVID-19 dan Infrastruktur Hilir

Pandemi menyebabkan anggaran daerah untuk pengembangan jaringan distribusi air (hilir) dialihkan ke penanganan COVID-19. Dampaknya:

  • Keterlambatan Implementasi: Proyek air bersih hanya berjalan di hulu, sementara distribusi ke pelanggan tertunda.
  • Solusi: Pemerintah pusat memperkuat koordinasi dan mencari skema pendanaan alternatif untuk infrastruktur hilir.

Perbandingan dengan Negara Lain dan Tren Global

Di negara maju, PPP air bersih sudah menjadi praktik umum dengan regulasi dan sistem monitoring yang matang. Negara seperti Singapura dan Malaysia telah mengadopsi sistem digitalisasi dalam pengelolaan proyek, mempercepat proses tender, dan meningkatkan transparansi. Indonesia masih perlu memperkuat sistem pengawasan, memperbaiki regulasi tarif, dan meningkatkan kapasitas nasional agar dapat bersaing di tingkat global.

Opini dan Rekomendasi: Membangun Ekosistem PPP Air Bersih yang Berkelanjutan

1. Penguatan Regulasi dan Kepastian Hukum

Pemerintah perlu terus memperbarui regulasi agar adaptif terhadap dinamika proyek dan risiko yang muncul. Standarisasi tarif dan mekanisme kompensasi harus diperjelas agar investor merasa aman.

2. Peningkatan Kapasitas Nasional

Investasi dalam pengembangan teknologi pengolahan air dan sumber daya manusia sangat penting agar Indonesia tidak terus bergantung pada teknologi asing.

3. Sinergi Multi-Pihak dan Transparansi

Kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, swasta, dan masyarakat harus diperkuat. Sistem pengawasan dan pelaporan berbasis digital dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

4. Skema Insentif dan Risiko

Pemerintah perlu menyiapkan skema insentif bagi swasta yang berkomitmen pada proyek jangka panjang, misalnya dalam bentuk jaminan pendapatan minimum atau kompensasi risiko tertentu.

5. Edukasi Publik dan Partisipasi Masyarakat

Masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya air bersih dan peran PPP agar mendukung kebijakan tarif dan pembangunan infrastruktur.

Internal & External Linking

Artikel ini sangat relevan untuk dihubungkan dengan topik lain seperti:

  • Strategi pembiayaan infrastruktur nasional
  • Pengelolaan risiko proyek infrastruktur
  • Digitalisasi layanan publik dan transparansi
  • Studi kasus PPP di sektor lain (transportasi, energi)

Kesimpulan: PPP Air Bersih, Pilar Masa Depan Infrastruktur Indonesia

Skema Public-Private Partnership terbukti menjadi solusi inovatif untuk mengatasi keterbatasan pendanaan dan mempercepat pembangunan infrastruktur air bersih di Indonesia. Namun, tantangan implementasi masih sangat besar, mulai dari pengadaan lahan, kepastian sumber air, penetapan tarif, hingga pengembangan infrastruktur hilir. Studi kasus nyata menunjukkan pentingnya koordinasi lintas sektor, regulasi yang adaptif, dan komitmen semua pihak demi keberhasilan proyek.

Ke depan, Indonesia perlu terus memperkuat ekosistem PPP dengan memperbaiki regulasi, meningkatkan kapasitas nasional, serta mendorong partisipasi aktif masyarakat dan swasta. Hanya dengan sinergi dan inovasi berkelanjutan, target akses air bersih nasional dapat tercapai, sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global.

Sumber asli:
Auliya, R. R., Nurkholis, N., & Sabirin, M. T. (2023). Public-Private Partnership Water Supply Project in Indonesia: A Public Sector Review. International Journal of Business, Economics & Management, 6(2), 214-222.

Selengkapnya
Transformasi Layanan Air Bersih di Indonesia: Tantangan, Studi Kasus, dan Strategi Sukses Skema Public-Private Partnership (PPP)

Air Bersih

Mengungkap Faktor Kunci Keberlanjutan PAMSIMAS: Studi Kasus, dan Tantangan Masa Depan Air Bersih di Desa Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025


Mengapa Keberlanjutan PAMSIMAS Penting untuk Masa Depan Air Bersih Indonesia?

Akses air minum layak dan sanitasi aman adalah fondasi kesehatan dan kemajuan desa. Namun, tantangan besar masih membayangi Indonesia, terutama di wilayah pedesaan yang sering tertinggal dalam hal infrastruktur dan pengelolaan air bersih. Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) hadir sejak 2006 sebagai salah satu inisiatif terbesar di dunia untuk memperbaiki kondisi ini. Hingga 2022, PAMSIMAS telah menjangkau lebih dari 25,6 juta penduduk di lebih dari 37.000 desa di 37 provinsi1.

Namun, pertanyaan besarnya: apakah sistem air bersih yang dibangun benar-benar berfungsi dan bertahan lama? Artikel ini merangkum temuan riset terbaru tentang faktor-faktor yang memengaruhi keberfungsian (functionality) PAMSIMAS, lengkap dengan data, studi kasus, dan refleksi kritis untuk masa depan air bersih desa yang lebih berkelanjutan.

Gambaran Umum: Capaian dan Tantangan PAMSIMAS

Statistik Kunci PAMSIMAS

  • Jumlah proyek: 28.936 sistem PAMSIMAS di 33 provinsi (data 2020)2.
  • Status fungsional: 85,4% berfungsi penuh, 9,1% sebagian, 5,5% tidak berfungsi.
  • Wilayah tertinggi tidak berfungsi: Kalimantan (8,6%), Sulawesi (8,5%).
  • Wilayah terbaik: Bali (100% sistem berfungsi penuh), Lampung (97%).
  • Rata-rata penerima manfaat per desa: 510 jiwa (median), dengan variasi antar wilayah.
  • Jenis sambungan: 83,9% sambungan rumah tangga, 16,1% sambungan komunal.

Tantangan Utama

  • Kesenjangan geografis: Wilayah timur Indonesia lebih rentan terhadap kegagalan sistem.
  • Kondisi keuangan pengelola desa: Hanya 62% rata-rata desa yang memiliki kondisi keuangan sehat (tarif air menutupi biaya operasi dan pemulihan)1.
  • Partisipasi perempuan: Rata-rata hanya 25% anggota pengelola air desa adalah perempuan, jauh di bawah target 40% yang diamanatkan PAMSIMAS.
  • Risiko iklim: Drought (kekeringan) dan kenaikan muka air laut mengancam lebih dari 12.000 sistem PAMSIMAS dan 79 juta penduduk desa1.

Studi Kasus: Kinerja dan Risiko Sistem Air Bersih Desa

1. Fungsi Sistem di Berbagai Provinsi

Analisis data nasional menunjukkan 15 provinsi memiliki proporsi sistem berfungsi penuh di bawah 87%. Bali menjadi satu-satunya provinsi dengan 100% sistem berfungsi. Di sisi lain, Kalimantan dan Sulawesi mencatat tingkat kegagalan tertinggi, menandakan perlunya perhatian khusus untuk wilayah ini1.

2. Dampak Risiko Iklim

  • Kekeringan: 13 provinsi dikategorikan berisiko tinggi kekeringan, mengancam lebih dari 12.500 sistem PAMSIMAS dan 79 juta penduduk desa.
  • Kenaikan muka air laut: 15 provinsi berisiko tinggi banjir rob, berdampak pada 14.500 sistem dan 67 juta penduduk desa.
  • Kualitas air: Lima provinsi memiliki kurang dari 25% sumber air yang bebas kontaminasi feses, mengancam kesehatan masyarakat secara luas.

3. Kondisi Keuangan Pengelola Air Desa

Hanya enam provinsi yang masuk kategori rendah risiko keuangan (lebih dari 84% desa memiliki keuangan sehat). Sebaliknya, lebih dari 15.000 sistem PAMSIMAS berada di provinsi dengan risiko keuangan tinggi, melayani sekitar 43 juta penduduk desa1.

Analisis Faktor Penentu Keberfungsian Sistem PAMSIMAS

1. Manajemen dan Tata Kelola

  • Desa dengan manajemen pengelola air (BPSPAMS/KPSPAMS) yang baik (memiliki daftar aset, pembukuan, rencana kerja, dan kemitraan) jauh lebih mungkin memiliki sistem yang berfungsi penuh.
  • Kombinasi manajemen kuat, kondisi keuangan sehat, dan sambungan rumah tangga meningkatkan peluang sistem berfungsi penuh hingga 98% (baseline 87%)2.

2. Sistem Pembayaran dan Tarif Air

  • Tidak adanya sistem pembayaran air meningkatkan risiko sistem tidak berfungsi hingga 20 kali lipat dibandingkan desa yang menerapkan tarif2.
  • Sistem komunal lebih sering tidak menarik iuran dibandingkan sambungan rumah tangga (38,9% vs 3,5%).

3. Jenis Sambungan

  • Sambungan rumah tangga jauh lebih andal: hanya 0,6% yang tidak berfungsi, dibandingkan 31,1% pada sambungan komunal.

4. Partisipasi Perempuan

  • Partisipasi perempuan dalam pengelolaan air desa berkorelasi positif dengan keberfungsian sistem.
  • Hanya 32,5% desa yang memenuhi target minimal 40% perempuan di pengelola air desa, menandakan perlunya penguatan aspek gender.

5. Partisipasi Masyarakat

  • Menariknya, tingginya partisipasi masyarakat awal justru berkorelasi dengan sistem yang tidak berfungsi. Hal ini diduga karena euforia awal tidak selalu berlanjut menjadi kepemilikan dan tanggung jawab jangka panjang2.

6. Investasi Per Kapita

  • Investasi per kapita yang tinggi (umumnya di wilayah terpencil dan rumah tersebar) justru berkorelasi negatif dengan keberfungsian sistem. Hal ini menandakan perlunya studi kelayakan ekonomi yang lebih matang sebelum membangun sistem di wilayah-wilayah ini.

Studi Kasus: Dampak Kombinasi Faktor pada Keberfungsian Sistem

Skenario optimis dari model Bayesian menunjukkan bahwa kombinasi tiga faktor utama—manajemen baik, kondisi keuangan sehat (tarif air menutupi biaya operasi dan pemulihan), serta sambungan rumah tangga—dapat meningkatkan peluang sistem berfungsi penuh dari 87% menjadi 98%2. Sebaliknya, sistem tanpa pembayaran dan hanya sambungan komunal memiliki peluang kegagalan hingga 23%.

Implikasi Praktis & Rekomendasi

1. Perkuat Tata Kelola dan Monitoring

  • Perlu penguatan kapasitas dan monitoring pengelola air desa (BPSPAMS/KPSPAMS), termasuk pelatihan manajemen dan pelaporan keuangan.
  • Pengumpulan data dan update sistem secara berkala harus menjadi standar, agar pemerintah pusat dapat memantau dan mengintervensi lebih cepat.

2. Wajibkan Sistem Pembayaran Air

  • Sistem tanpa iuran terbukti tidak berkelanjutan. Pemerintah dan fasilitator desa harus memastikan setiap sistem air menerapkan tarif yang realistis dan adil.

3. Dorong Sambungan Rumah Tangga

  • Sambungan rumah tangga lebih berkelanjutan daripada sistem komunal. Perlu insentif dan kemudahan agar masyarakat mau berinvestasi pada sambungan pribadi.

4. Tingkatkan Keterlibatan Perempuan

  • Target minimal 40% perempuan di pengelola air desa harus ditegakkan dan dikawal, karena terbukti meningkatkan keberfungsian sistem.

5. Studi Kelayakan Ekonomi di Wilayah Tertinggal

  • Untuk wilayah dengan rumah tersebar dan akses sulit, perlu pendekatan investasi berbeda agar tidak membebani masyarakat dan meminimalisir kegagalan sistem.

6. Antisipasi Risiko Iklim

  • Daerah rawan kekeringan dan kenaikan air laut harus menjadi prioritas adaptasi, misalnya dengan diversifikasi sumber air, perlindungan sumber air, dan teknologi tahan iklim.

Perbandingan dengan Studi Lain & Tren Global

Penelitian terkait di Afrika menunjukkan pola serupa: sistem air desa yang dikelola komunitas sering gagal jika tidak ada pembayaran, manajemen lemah, atau investasi tidak efisien. Namun, Indonesia punya keunikan dalam skala program dan tantangan geografis. Negara-negara lain dapat belajar dari pengalaman PAMSIMAS dalam mengintegrasikan aspek gender, monitoring nasional, serta adaptasi terhadap risiko iklim.

Tantangan dan Peluang Masa Depan

  • Data dan monitoring: Masih banyak data yang tidak lengkap, terutama dari wilayah terpencil. Perlu inovasi digital untuk pelaporan berbasis aplikasi.
  • Keadilan sosial: Desa dengan tingkat kemiskinan tinggi cenderung lebih rentan kegagalan sistem. Subsidi silang dan bantuan teknis perlu diprioritaskan.
  • Kesiapan menghadapi perubahan iklim: PAMSIMAS generasi baru harus lebih responsif terhadap risiko iklim dan inklusi sosial (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion/GEDSI).

Kesimpulan: Menuju Sistem Air Bersih Desa yang Tangguh dan Inklusif

Keberhasilan PAMSIMAS tidak hanya diukur dari jumlah sistem yang dibangun, tetapi dari berapa banyak yang benar-benar berfungsi dan bertahan lama. Kunci keberlanjutan ada pada tata kelola yang baik, sistem pembayaran yang adil, keterlibatan perempuan, serta adaptasi terhadap risiko iklim dan sosial. Dengan pembenahan di titik-titik kritis ini, Indonesia dapat menjadi contoh global dalam penyediaan air bersih desa yang tangguh dan inklusif.

Sumber artikel:
D. Daniel, Trimo Pamudji Al Djono, Widya Prihesti Iswarani. (2023). Factors related to the functionality of community-based rural water supply and sanitation program in Indonesia. Geography and Sustainability, 4, 29–38.

Selengkapnya
Mengungkap Faktor Kunci Keberlanjutan PAMSIMAS: Studi Kasus, dan Tantangan Masa Depan Air Bersih di Desa Indonesia

Air Bersih

Membangun Keberlanjutan Proyek Air Minum di Pedesaan Afrika Sub-Sahara: Analisis Framework Holistik dan Studi Kasus Siaya, Kenya

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025


Akses air minum bersih adalah hak dasar, namun pada 2020, sekitar 387 juta orang di Afrika Sub-Sahara (SSA) masih belum memilikinya. Bahkan, 38% penduduk Kenya dan 55% penduduk Siaya County—wilayah studi utama dalam paper ini—masih bergantung pada sumber air yang tidak layak. Target SDG 6 “air bersih untuk semua” diprediksi sulit tercapai pada 2030, dengan 1,6 miliar orang di dunia tetap tanpa akses air aman jika tren saat ini berlanjut1.

Permasalahan utama bukan hanya pada ketersediaan air, tapi pada kegagalan proyek air minum untuk beroperasi secara berkelanjutan. Antara 30–60% sistem air di pedesaan SSA rusak atau tidak berfungsi setelah dibangun. Ironisnya, banyak proyek air hanya dinilai dari keberadaan infrastrukturnya, bukan dari fungsionalitas atau kualitas layanan. Akibatnya, ratusan juta dolar terbuang setiap tahun untuk membangun atau memperbaiki proyek yang gagal, menciptakan lingkaran setan kegagalan dan pemborosan dana pembangunan1.

Keterbatasan Pendekatan Lama: Fragmentasi dan Siloed Thinking

Literatur selama ini cenderung membahas kegagalan proyek air minum dari sudut pandang sempit—misal hanya aspek teknis, ekonomi, atau sosial saja. Pendekatan ini menutupi akar masalah dan mengabaikan keterlibatan multi-pemangku kepentingan lintas level, mulai dari komunitas lokal hingga lembaga global. Padahal, proyek air minum adalah sistem kompleks yang dipengaruhi oleh interaksi faktor sosial, ekonomi, teknologi, lingkungan, tata kelola, dan politik di berbagai level1.

Framework Holistik: Holistic Integrated Framework (HIF)

Untuk menjawab tantangan tersebut, Ornit Avidar mengembangkan Holistic Integrated Framework (HIF). Framework ini dirancang untuk mengevaluasi dan merencanakan keberlanjutan proyek air minum dengan mempertimbangkan:

  • Keterlibatan pemangku kepentingan dari level global, nasional, regional, hingga komunitas.
  • Lima kategori utama faktor keberlanjutan: sosial-politik, ekonomi, teknologi, lingkungan, serta perencanaan dan manajemen.
  • Analisis interaksi dan feedback loop antar faktor dan antar level, sehingga akar masalah dan hubungan sebab-akibat dapat diidentifikasi secara komprehensif.

Dimensi HIF

  1. Vertikal (Stakeholders’ Levels):
    • Meta-global (lembaga internasional, donor, tren global)
    • Macro-nasional (pemerintah pusat, kementerian, regulasi nasional)
    • Meso-regional (pemerintah daerah, perusahaan air daerah, asosiasi lokal)
    • Mikro-lokal (komunitas, proyek, pengguna, komite air, pemimpin lokal)
  2. Horizontal (Faktor Keberlanjutan):
    • Perencanaan & Manajemen: Keterlibatan dalam desain, pengumpulan data, O&M, pelatihan, transparansi, exit strategy.
    • Sosial & Politik: Dinamika komunitas, budaya, sejarah, gender, partisipasi, pemberdayaan, kepercayaan, konflik.
    • Ekonomi & Pendanaan: Sumber dana, tarif, kemampuan dan kemauan membayar, keberlanjutan finansial, pendapatan lokal.
    • Teknologi: Kesesuaian teknologi, ketersediaan suku cadang, pelatihan, inovasi, biaya operasional.
    • Lingkungan: Konservasi, kualitas dan kuantitas air, perubahan iklim, dampak ekologis, keamanan air.

Framework ini juga merekomendasikan penilaian pada setiap tahap proyek: perencanaan, implementasi, pasca-implementasi, dan evaluasi.

Studi Kasus: Proyek Sidindi Malanga-African Development Bank (SM-ADB) di Siaya, Kenya

Gambaran Proyek

SM-ADB merupakan proyek flagship senilai $20 juta, bertujuan meningkatkan cakupan air bersih di Siaya County dari 25% menjadi lebih dari 50% populasi (sekitar 1 juta jiwa). Proyek ini didanai African Development Bank (ADB) dan pemerintah Kenya, serta dioperasikan oleh Siaya-Bondo Water and Sanitation Company (SIBO)1.

Secara teknis, proyek ini menggunakan sistem distribusi gravitasi yang ramah lingkungan dan hemat listrik, dengan target produksi air 24.200 m³/hari (peningkatan signifikan dari kapasitas awal 5.200 m³/hari). Namun, pada 2019, realisasi produksi hanya 7.760 m³/hari—jauh di bawah target.

Permasalahan Teknis dan Permukaan

  • Instalasi turbin air yang tidak sesuai (tidak cocok untuk air berlumpur dari Sungai Yala) menyebabkan kerusakan fasilitas.
  • 47% pipa air tidak aktif; dua dari sepuluh fasilitas utama tidak berfungsi.
  • Banyak pipa bocor atau rusak akibat kualitas pekerjaan kontraktor yang buruk.

Namun, analisis HIF menunjukkan bahwa masalah teknis hanyalah “puncak gunung es”.

Analisis Holistik: Akar Masalah dan Feedback Loop

  1. Meta-Global:
    • African Development Bank sebagai donor utama menentukan prioritas proyek (misal, fokus pada cakupan air di kota kecil), sehingga banyak komunitas pedesaan di sekitar proyek justru tidak terlayani.
    • Kontraktor asal Tiongkok memenangkan tender, namun hasil pekerjaannya buruk, memperparah masalah teknis.
    • Kurangnya supervisi dan akuntabilitas dari donor dan lembaga global.
  2. Macro-Nasional:
    • Pemerintah Kenya mengadopsi sistem devolusi (desentralisasi), namun proyek flagship tetap dikendalikan pusat, sehingga pemerintah daerah dan operator lokal tidak punya kuasa penuh.
    • Kebijakan dan pendanaan nasional tidak sinkron dengan kebutuhan daerah.
  3. Meso-Regional:
    • Pemerintah daerah (Siaya County) tidak bisa mengawasi atau mengintervensi proyek, meski bertanggung jawab kepada masyarakat.
    • SIBO sebagai operator hanya penerima proyek, tidak terlibat dalam implementasi, sehingga tidak siap mengelola fasilitas baru.
  4. Mikro-Lokal:
    • Masyarakat kecewa karena akses air tetap terbatas, banyak yang menolak membayar atau bahkan merusak infrastruktur.
    • Ketidakpercayaan dan demoralisasi muncul karena kegagalan proyek sebelumnya, memperkuat lingkaran setan kegagalan.

Feedback Loops yang Teridentifikasi

  • Lingkaran ekonomi: Proyek gagal menghasilkan pendapatan, sehingga tidak mampu membiayai perbaikan atau ekspansi, yang pada akhirnya menurunkan kualitas layanan dan memperburuk keuangan perusahaan.
  • Lingkaran akuntabilitas: Banyaknya aktor pada berbagai level menyebabkan kebingungan tanggung jawab, sehingga tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab saat proyek gagal.
  • Lingkaran kemiskinan: Masyarakat miskin tidak mampu membayar air, perusahaan air kekurangan dana, sehingga layanan memburuk dan masyarakat makin miskin.
  • Lingkaran demoralisasi: Kegagalan berulang membuat masyarakat kehilangan harapan dan enggan berpartisipasi dalam proyek baru.

Pelajaran Penting dari Studi Kasus

  1. Kegagalan proyek air minum di SSA bukan sekadar masalah teknis, tapi hasil interaksi kompleks berbagai faktor lintas level.
  2. Perencanaan, implementasi, dan evaluasi harus melibatkan semua pemangku kepentingan—dari donor global hingga komunitas lokal.
  3. Desain proyek harus mempertimbangkan konteks lokal, baik dari sisi teknologi, sosial-budaya, maupun ekonomi.
  4. Akuntabilitas dan supervisi harus jelas di semua level, agar tidak terjadi “no one is responsible” ketika proyek bermasalah.
  5. Feedback loop negatif harus diidentifikasi dan diputus, misal dengan memperkuat kapasitas operator lokal, memperbaiki sistem pendanaan, dan membangun kepercayaan masyarakat.

Nilai Tambah Framework HIF untuk Praktisi dan Peneliti

Framework HIF menawarkan alat analisis dan perencanaan yang lebih komprehensif dibanding pendekatan konvensional yang fragmentaris. Dengan memetakan semua aktor dan faktor, serta menganalisis interaksi dan feedback loop, HIF membantu:

  • Mengidentifikasi akar masalah yang tersembunyi di balik isu teknis.
  • Merancang intervensi yang lebih tepat sasaran, misal dengan memperkuat kapasitas pengelola lokal, memperbaiki tata kelola, atau mengadaptasi teknologi.
  • Menghindari pengulangan kesalahan masa lalu, sehingga investasi pembangunan tidak terbuang sia-sia.
  • Meningkatkan peluang tercapainya SDG 6 dan “Water for All” di Afrika Sub-Sahara dan negara berkembang lain.

Kritik, Opini, dan Perbandingan

Framework HIF sangat relevan untuk konteks negara berkembang, termasuk Indonesia, yang juga menghadapi tantangan serupa dalam proyek air minum pedesaan. Namun, implementasi HIF membutuhkan sumber daya, waktu, dan komitmen lintas sektor yang besar. Tantangan lain adalah resistensi birokrasi dan budaya organisasi yang masih sering bekerja dalam silo. Meski begitu, pendekatan holistik seperti HIF penting untuk menghindari kegagalan proyek yang berulang.

Studi lain di Ghana dan Kenya juga menegaskan pentingnya partisipasi komunitas dan rasa kepemilikan dalam keberlanjutan proyek air minum. Namun, partisipasi saja tidak cukup jika tidak didukung oleh tata kelola yang baik, pendanaan berkelanjutan, dan teknologi yang sesuai2. HIF melengkapi temuan tersebut dengan menekankan pentingnya analisis multi-level dan multi-faktor.

Implikasi untuk Industri, Pemerintah, dan Donor

  • Donor internasional: Harus memastikan keterlibatan dan penguatan kapasitas aktor lokal, bukan sekadar transfer dana dan teknologi.
  • Pemerintah nasional dan daerah: Perlu memperjelas pembagian tugas, memperkuat supervisi, dan memastikan proyek sesuai kebutuhan lokal.
  • Operator air dan komunitas: Didorong untuk aktif dalam perencanaan, pemeliharaan, dan evaluasi proyek, serta membangun kepercayaan dan rasa kepemilikan bersama.

Kesimpulan

Keberlanjutan proyek air minum di pedesaan Afrika Sub-Sahara sangat bergantung pada pendekatan holistik yang mengintegrasikan semua faktor dan pemangku kepentingan lintas level. Framework HIF yang dikembangkan dalam studi ini menawarkan alat penting untuk mengidentifikasi akar masalah, merancang solusi, dan memutus lingkaran kegagalan proyek air minum. Dengan komitmen dan kolaborasi nyata, target “Water for All” bukanlah mimpi yang mustahil.

Sumber asli:
Ornit Avidar. (2024). A holistic framework for evaluating and planning sustainable rural drinking water projects in sub-Saharan Africa. Journal of Rural Studies, 107, 103243.

Selengkapnya
Membangun Keberlanjutan Proyek Air Minum di Pedesaan Afrika Sub-Sahara: Analisis Framework Holistik dan Studi Kasus Siaya, Kenya

Air Bersih

Hak Atas Air Bersih sebagai Hak Asasi Manusia di Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Air Bersih, Hak Asasi, dan Tantangan Global

Air bersih bukan hanya kebutuhan dasar, melainkan hak asasi manusia yang menjadi prasyarat bagi terpenuhinya hak-hak lain seperti kesehatan, pendidikan, dan kehidupan yang bermartabat. Dalam konteks global, pengakuan atas hak ini semakin menguat seiring krisis air bersih yang melanda banyak negara, termasuk Indonesia. Paper “Hak Rakyat Atas Air Bersih Sebagai Derivasi Hak Asasi Manusia Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia” oleh Fachriza Cakrafaksi Limuris (Jurnal Jentera, 2021) mengupas secara mendalam posisi strategis hak atas air bersih dalam kerangka hukum internasional dan nasional, serta tantangan implementasinya di Indonesia12.

Hak Atas Air Bersih dalam Perspektif HAM Internasional

Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan Turunannya

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) 1948 menjadi tonggak utama pengakuan hak-hak dasar manusia di seluruh dunia. Pasal 25 UDHR menegaskan setiap orang berhak atas standar hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan. Meskipun air bersih tidak disebutkan secara eksplisit, hak ini diakui sebagai komponen vital dari standar hidup yang layak134.

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) 1966 memperkuat hal ini melalui Pasal 11 dan 12, yang menegaskan hak atas standar hidup layak dan kesehatan tertinggi yang dapat dicapai. Komentar Umum No. 15 Komite PBB (2003) secara eksplisit menyatakan bahwa hak atas air adalah hak asasi manusia yang tak terpisahkan dari hak atas standar hidup layak dan kesehatan123.

Resolusi PBB 2010: Pengakuan Global

Pada 28 Juli 2010, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 64/292 yang secara tegas mengakui hak atas air minum yang aman dan bersih serta sanitasi sebagai hak asasi manusia. Negara-negara diminta menyediakan sumber daya, transfer teknologi, dan kerja sama internasional untuk memastikan akses air bersih dan sanitasi bagi semua orang, terutama di negara berkembang13.

Dimensi Hak Atas Air: Kebebasan dan Kepemilikan Hak

Paper ini menguraikan dua dimensi utama hak atas air:

  • Kebebasan: Jaminan akses non-diskriminatif terhadap air minum yang aman dan sanitasi, serta perlindungan dari gangguan atau pemutusan akses secara sewenang-wenang.
  • Kepemilikan Hak: Hak atas sistem pasokan air dan manajemen yang adil, hak untuk mendapatkan air dalam jumlah memadai, hak atas akses air di tahanan, serta hak berpartisipasi dalam perumusan kebijakan air di tingkat nasional dan lokal12.

Standar Minimum Hak Atas Air

Menurut Komentar Umum No. 15 dan Fact Sheet No. 35 PBB, unsur-unsur hak atas air meliputi:

  • Kecukupan: WHO merekomendasikan 50-100 liter air per orang per hari untuk kebutuhan dasar. Akses minimum 20-25 liter per hari dianggap tidak memadai untuk kesehatan optimal.
  • Keamanan: Air harus bebas dari mikroba, parasit, zat kimia, dan bahaya radiologi. Kualitas air juga harus dapat diterima secara estetis (tidak berbau, berwarna, atau berasa).
  • Akses Fisik: Fasilitas air dan sanitasi harus mudah dijangkau, aman, dan memperhatikan kelompok rentan seperti perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas.
  • Keterjangkauan: Biaya air tidak boleh menghalangi akses, terutama bagi kelompok miskin. Rumah tangga tidak boleh dibebani biaya air secara tidak proporsional12.

Krisis Air Bersih: Fakta Global dan Nasional

Data dan Tren Global

  • Hanya 0,5% air dunia yang tersedia bagi manusia dan ekosistem; sisanya berupa air beku di kutub1.
  • 70% air tawar dunia digunakan untuk pertanian.
  • Pada 2010, kebutuhan pangan global naik 70%, menyebabkan kebutuhan air pertanian melonjak 19%.
  • Lebih dari 1 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses air layak, dan jumlah ini terus bertambah, terutama di wilayah perkotaan13.

Tantangan di Indonesia

  • Peningkatan populasi dan urbanisasi memperbesar tekanan pada sumber air.
  • Eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan menurunkan kelestarian dan kualitas air.
  • Pencemaran air oleh limbah domestik, industri, dan pertanian menjadi penyebab utama krisis air bersih di banyak wilayah14.
  • Sungai-sungai di kota besar seperti Jakarta mengalami pencemaran berat, mengancam kesehatan masyarakat dan ekosistem.

Studi Kasus: Implementasi Hak Atas Air di Indonesia

Swastanisasi Air dan Akses Publik

Pengelolaan air di Indonesia pernah didominasi swasta, terutama di kota-kota besar. Namun, pengalaman menunjukkan swastanisasi seringkali tidak meningkatkan akses air bersih secara adil. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 85/PUU-XI/2013 menegaskan negara harus tetap menjadi pengelola utama sumber daya air demi kemakmuran rakyat1.

Undang-Undang No. 17 Tahun 2019: Titik Balik Regulasi

UU No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air menjadi tonggak baru perlindungan hak atas air di Indonesia. UU ini mengatur:

  • Prioritas utama: Hak rakyat atas air untuk kebutuhan pokok sehari-hari (60 liter/orang/hari).
  • Prioritas kedua: Air untuk pertanian rakyat.
  • Prioritas ketiga: Air untuk kebutuhan usaha yang menunjang kebutuhan pokok1.
  • Konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air menjadi tiga pilar utama pengelolaan sumber daya air.

UU ini juga menegaskan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pengelolaan air serta perlindungan masyarakat adat dalam konservasi air.

Studi Lapangan: Krisis Air di Daerah Perkotaan dan Pedesaan

Penelitian di berbagai daerah seperti Jakarta, Lampung, dan kawasan pedesaan menunjukkan:

  • Kota besar: Pencemaran sungai dan air tanah oleh limbah domestik dan industri menyebabkan air tidak layak konsumsi. Banyak warga miskin kota bergantung pada air galon atau sumur dangkal yang kualitasnya tidak terjamin.
  • Pedesaan: Akses air bersih masih mengandalkan air tanah dan mata air yang rentan terhadap pencemaran dan perubahan iklim. Infrastruktur air bersih belum merata, terutama di wilayah terpencil14.

Analisis Kritis: Tantangan Implementasi dan Keadilan Sosial

Hambatan Struktural

  • Keterbatasan Infrastruktur: Banyak daerah belum memiliki jaringan air bersih yang memadai.
  • Keterbatasan Anggaran: Investasi pemerintah untuk air bersih masih jauh dari kebutuhan.
  • Ketimpangan Akses: Kelompok miskin dan marginal sering menjadi korban utama krisis air14.

Dimensi Keadilan dan Partisipasi

  • Hak atas air bukan hanya soal akses fisik, tetapi juga keadilan dalam distribusi, keterjangkauan harga, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
  • Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas air, termasuk dengan memastikan tidak ada diskriminasi, pemutusan akses sewenang-wenang, atau privatisasi yang merugikan publik123.

Integrasi dengan Agenda Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

  • Pengelolaan air harus selaras dengan pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan pengendalian pencemaran.
  • Konservasi sumber air, pengendalian limbah, dan edukasi masyarakat menjadi kunci pencegahan krisis air di masa depan.

Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Strategis

  1. Penguatan Regulasi dan Implementasi UU SDA: Segera terbitkan peraturan pelaksana yang mendukung UU No. 17/2019 agar perlindungan hak atas air benar-benar terwujud di lapangan.
  2. Investasi Infrastruktur Air Bersih: Prioritaskan anggaran untuk pembangunan dan rehabilitasi jaringan air bersih, terutama di daerah tertinggal dan kawasan rawan bencana.
  3. Pengendalian Pencemaran dan Konservasi: Perkuat penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran dan dorong program konservasi sumber air berbasis masyarakat.
  4. Keterlibatan Masyarakat dan Transparansi: Libatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan pengelolaan air, serta buka akses informasi publik terkait kualitas dan distribusi air.
  5. Perlindungan Kelompok Rentan: Pastikan kelompok miskin, perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas menjadi prioritas dalam kebijakan air bersih dan sanitasi.

Koneksi dengan Tren Global dan Industri

  • SDGs: Hak atas air bersih sangat terkait dengan SDG 6 (Clean Water and Sanitation) dan SDG 10 (Reduced Inequalities).
  • ESG: Perusahaan nasional dan multinasional kini dituntut memperhatikan aspek hak asasi dan lingkungan dalam rantai pasok air.
  • Inovasi Teknologi: Digitalisasi monitoring kualitas air, smart metering, dan solusi berbasis komunitas semakin penting untuk memperluas akses dan efisiensi pengelolaan air.

Opini dan Perbandingan dengan Studi Lain

Paper ini memperkuat temuan global bahwa hak atas air bersih adalah hak asasi manusia yang tak bisa ditawar. Namun, tantangan terbesar di Indonesia adalah implementasi—mulai dari regulasi, pendanaan, hingga pengawasan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia sudah memiliki kerangka hukum yang relatif kuat, namun butuh political will dan kolaborasi lintas sektor agar hak ini benar-benar dirasakan seluruh rakyat.

Air Bersih, Hak Asasi yang Wajib Dipenuhi Negara

Hak atas air bersih adalah hak asasi manusia yang fundamental dan jembatan menuju hak-hak lain. Indonesia sudah berada di jalur yang benar dengan ratifikasi konvensi internasional dan pengesahan UU No. 17/2019. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi banyak tantangan. Prioritas ke depan adalah memperkuat regulasi, investasi infrastruktur, pengendalian pencemaran, serta memastikan keadilan dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, hak atas air bersih tidak hanya menjadi norma hukum, tetapi juga realitas yang dirasakan setiap warga negara.

Sumber Asli Artikel

Fachriza Cakrafaksi Limuris. Hak Rakyat Atas Air Bersih Sebagai Derivasi Hak Asasi Manusia Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Jurnal Jentera Volume 4, No. 2 Desember 2021, hlm. 515–532.

Selengkapnya
Hak Atas Air Bersih sebagai Hak Asasi Manusia di Indonesia

Air Bersih

Strategi Mitigasi Penurunan Kadar Air Danau Eğirdir di Tengah Dampak Kekeringan dan Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 07 Juni 2025


Danau Eğirdir, yang terletak di bagian barat daya Turki, merupakan danau air tawar terbesar kedua di negara tersebut dan sumber utama air minum bagi wilayah sekitarnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, dampak perubahan iklim, khususnya kekeringan yang berkepanjangan, serta aktivitas manusia seperti irigasi pertanian yang intensif, telah menyebabkan penurunan signifikan pada level air danau ini. Paper oleh Meltem Kacikoc dan kolega (2025) mengkaji secara mendalam perubahan level air Danau Eğirdir dalam kondisi aliran normal dan kekeringan, serta mengevaluasi berbagai alternatif mitigasi guna menjaga keamanan pasokan air di wilayah tersebut.

Studi Kasus: Penurunan Level Air dan Dampak Kekeringan

Kondisi Geografis dan Hidrologis Danau Eğirdir

Danau Eğirdir berada di provinsi Isparta, di bagian hulu DAS Antalya, dengan luas sekitar 460 km² dan kedalaman yang relatif dangkal. Level air operasional yang ditetapkan oleh otoritas berada di kisaran 914,62 mASL (minimum) hingga 918,96 mASL (maksimum), dengan volume penyimpanan antara 2.099 hingga 4.001 juta m³. Danau ini menerima aliran utama dari beberapa sungai dan saluran derivasi, serta menjadi sumber air irigasi utama untuk berbagai dataran pertanian di sekitarnya.

Penurunan Level Air dan Faktor Penyebab

Data historis menunjukkan penurunan volume air danau yang signifikan sejak 1990-an, dengan anomali aliran tahunan terendah terjadi pada tahun 2001 (-44%) dan 2021 (-50%). Penurunan ini terutama disebabkan oleh kekeringan hidrologis yang berkepanjangan dan peningkatan konsumsi air, terutama untuk irigasi pertanian. Evaporasi dari permukaan danau mencapai 347 juta m³ per tahun, hampir setara dengan volume air yang diambil untuk irigasi sebesar 301 juta m³ per tahun, sehingga tekanan terhadap keseimbangan air danau sangat besar.

Indeks Kekeringan dan Krisis Air

Indeks Water Depletion Index (WDI) yang dihitung menunjukkan bahwa Danau Eğirdir mengalami kekurangan air yang terus-menerus sejak 1990-an, dengan tingkat kekeringan yang meningkat menjadi sangat parah pada tahun 2001. Setelah 2007, meskipun curah hujan relatif lebih tinggi, konsumsi air yang meningkat drastis menyebabkan kekeringan yang parah berlanjut hingga beberapa tahun terakhir.

Metodologi: Pemodelan Hidrologi dan Simulasi Manajemen Air

Penelitian ini menggunakan perangkat lunak AQUATOOL+ dengan modul EVALHID untuk simulasi aliran hujan-limpasan dan SIMGES untuk manajemen air dan simulasi level danau. Tiga model hidrologi diuji: GR2M, Témez, dan HBV, dengan model HBV menunjukkan performa terbaik pada sebagian besar titik kalibrasi, sedangkan GR2M unggul pada satu titik. Kalibrasi model dilakukan dengan data dari 1990 hingga 2014, dan validasi menggunakan data level air dari 2016 hingga 2021 menunjukkan hasil simulasi yang sangat baik (NSE 0,84 dan PBIAS 0,0002%).

Proyeksi Level Air dan Skenario Kekeringan

Penelitian ini menyusun dua skenario utama:

  • Skenario 1 (Normal): Menggunakan data aliran rata-rata dari 1990-2021 untuk memproyeksikan level air hingga 2050.
  • Skenario 2 (Kekeringan): Menggunakan periode kekeringan referensi selama 3 tahun (tahun 2001) untuk simulasi penurunan level air.

Tanpa tindakan mitigasi, skenario normal memprediksi penurunan level air di bawah ambang kritis (914,74 mASL) setelah tahun 2038, sedangkan skenario kekeringan memperkirakan penurunan terjadi lebih cepat, yaitu setelah tahun 2028. Penurunan ini berpotensi menyebabkan danau terbelah menjadi dua bagian fisik di area Kemer Boğazı, yang akan berdampak serius pada ekosistem dan ketersediaan air.

Alternatif Mitigasi: Pendekatan Terpadu untuk Keamanan Air

Berdasarkan masukan dari pemangku kepentingan dan kebijakan nasional, tiga alternatif mitigasi dikembangkan dan diuji:

  1. Alternatif 1: Pembatasan irigasi defisit sebesar 30%, rehabilitasi sistem irigasi menjadi sistem pipa tertutup dan irigasi tetes, serta pemanfaatan air limbah terolah untuk irigasi.
  2. Alternatif 2: Pembatasan irigasi defisit sebesar 50% dengan langkah-langkah serupa.
  3. Alternatif 3: Pembatasan irigasi defisit 50% hanya diterapkan selama tahun 2025-2026, disertai rehabilitasi sistem irigasi, pemanfaatan air limbah terolah, dan peningkatan aliran air tawar ke danau melalui saluran derivasi tambahan.

Efektivitas Alternatif Mitigasi

Simulasi menunjukkan ketiga alternatif mampu mencegah penurunan level air di bawah ambang kritis dalam kedua skenario. Namun, Alternatif 3 dipilih sebagai solusi optimal karena mampu menjaga level air dalam batas aman dengan pembatasan irigasi yang minimal dan dampak sosial ekonomi yang lebih rendah.

Nilai Tambah dan Relevansi dengan Tren Global

Penelitian ini menonjolkan pentingnya pendekatan adaptif dan mitigasi berbasis data dalam menghadapi dampak perubahan iklim pada sumber daya air tawar. Penggunaan teknologi irigasi efisien seperti irigasi tetes dan pemanfaatan air limbah terolah sejalan dengan tren global dalam konservasi air dan peningkatan efisiensi penggunaan air di sektor pertanian.

Selain itu, keterlibatan aktif pemangku kepentingan lokal dalam pengembangan strategi mitigasi menunjukkan pentingnya pendekatan partisipatif untuk keberhasilan pengelolaan sumber daya air. Kondisi keterbatasan data yang dihadapi di daerah pedesaan seperti sekitar Danau Eğirdir juga menjadi tantangan yang relevan bagi banyak wilayah lain di negara berkembang.

Kritik dan Rekomendasi

Meskipun model hidrologi yang digunakan telah menunjukkan hasil yang memuaskan, keterbatasan data meteorologi, khususnya tidak adanya data salju dan salju leleh, menjadi sumber ketidakpastian yang perlu diatasi pada penelitian lanjutan. Penambahan data ini dapat memperbaiki akurasi prediksi dan perencanaan pengelolaan air.

Selain itu, implementasi teknologi irigasi dan penggunaan air limbah terolah memerlukan dukungan kebijakan, insentif, dan pelatihan teknis agar dapat diterapkan secara luas dan efektif, terutama di wilayah dengan keterbatasan sumber daya.

Kesimpulan

Penelitian ini berhasil mengidentifikasi dan menguji berbagai alternatif mitigasi untuk menjaga keamanan air Danau Eğirdir di tengah tekanan perubahan iklim dan aktivitas manusia. Dengan menggunakan pemodelan hidrologi dan manajemen air berbasis AQUATOOL+, ditemukan bahwa tanpa intervensi, danau berisiko mengalami penurunan level air yang kritis dan terbelah menjadi dua bagian fisik.

Alternatif mitigasi terpadu yang menggabungkan pembatasan irigasi, rehabilitasi sistem irigasi, pemanfaatan air limbah terolah, dan peningkatan aliran air tawar terbukti efektif dalam menjaga level air danau dalam batas aman. Implementasi strategi ini telah diterima dan mulai diberlakukan oleh otoritas Turki sejak Juni 2024.

Penelitian ini memberikan kontribusi penting bagi pengelolaan sumber daya air di daerah dengan data terbatas dan menghadapi tantangan perubahan iklim, serta menjadi referensi bagi pengembangan kebijakan dan praktik konservasi air di wilayah serupa.

Sumber Artikel

Meltem Kacikoc, Buket Mesta, Yakup Karaaslan, "Evaluating changes in water levels during periods of normal flow and drought with a specific emphasis on water withdrawal," Journal of Water and Climate Change, 2025.

Selengkapnya
Strategi Mitigasi Penurunan Kadar Air Danau Eğirdir di Tengah Dampak Kekeringan dan Perubahan Iklim
page 1 of 2 Next Last »