Green Construction di Indonesia: Menyusun Model Penilaian untuk Masa Depan Konstruksi Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza

15 Mei 2025, 11.04

Freepik.com

Pendahuluan: Tantangan Lingkungan di Tengah Derap Pembangunan

 

Ketika dunia sedang berpacu menghadapi krisis iklim dan degradasi lingkungan, sektor konstruksi menjadi sorotan utama karena kontribusinya terhadap emisi karbon, eksploitasi sumber daya alam, dan volume limbah yang tinggi. Di tengah situasi ini, paper berjudul "Pengembangan Model Assessment Green Construction pada Proses Konstruksi untuk Proyek Konstruksi di Indonesia" karya Wulfram I. Ervianto, Biemo W. Soemardi, Muhamad Abduh, dan Suryamanto, hadir sebagai upaya konkret menyusun kerangka penilaian konstruksi ramah lingkungan (green construction) di Indonesia.

 

Urgensi Green Construction: Dari Limbah ke Aksi

 

Studi ini menekankan bahwa lebih dari 50% limbah padat global berasal dari aktivitas konstruksi. Di Indonesia, kontribusi konstruksi terhadap emisi karbon global mencapai 4,63% menurut data World Resources Institute (2005). Aktivitas konstruksi tidak hanya menguras sumber daya alam, tetapi juga berpotensi mencemari udara, air, dan tanah jika tidak dikelola dengan bijak.

 

Konsep green construction—bagian dari payung besar sustainable construction—muncul sebagai respon terhadap tantangan tersebut. Praktik ini mengutamakan efisiensi energi, pengelolaan limbah, konservasi air, serta kenyamanan dan keamanan penghuni.

 

Kesenjangan Sistem Penilaian di Indonesia

 

Salah satu temuan krusial paper ini adalah ketimpangan dalam sistem penilaian bangunan hijau yang saat ini berlaku, yakni GREENSHIP. Sistem ini terlalu menitikberatkan pada tahap desain (62,2%) dan pengoperasian (33,3%), sementara proses konstruksi hanya mendapat porsi 4,5%【38†source】. Padahal, proses konstruksi juga menyumbang emisi dan limbah yang besar.

 

Tujuan Penelitian: Membangun Model Penilaian yang Menyeluruh

 

Penelitian ini bertujuan mengembangkan model penilaian green construction yang lebih adil dan komprehensif, terutama pada tahap proses konstruksi. Dengan pendekatan kuantitatif (kuesioner) dan kualitatif (wawancara), penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor kunci dari perspektif tiga aktor utama:

  • Kontraktor, sebagai pelaksana utama proyek.
  • Masyarakat, yang terdampak langsung.
  • Pemerhati lingkungan, yang menilai keberlanjutan jangka panjang.

 

Faktor Penilaian Green Construction

 

Penelitian ini menyusun indikator penilaian green construction yang dapat dirinci sebagai berikut:

 

1. Efisiensi Material dan Energi

Menggunakan bahan lokal dan terbarukan.

Meminimalisir penggunaan energi tidak terbarukan.

 

2. Manajemen Limbah Konstruksi

Prosedur pemilahan dan daur ulang limbah.

Sistem pengumpulan limbah beracun.

 

3. Pengendalian Dampak Lingkungan

Pengelolaan polusi debu dan suara.

Penanganan air limbah proyek.

 

4. Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Pemantauan kualitas udara di lokasi.

Pengendalian paparan bahan berbahaya.

 

5. Edukasi dan Keterlibatan Sosial

Pelatihan pekerja tentang green practices.

Komunikasi aktif dengan masyarakat sekitar.

 

Langkah Metodologis: Dari Teori ke Aksi

 

Studi ini mengikuti pendekatan life cycle assessment (LCA), mulai dari tahap ekstraksi bahan hingga pasca-konstruksi. Prosesnya meliputi:

  • Studi literatur dan perbandingan sistem penilaian global.
  • Penyusunan kuesioner.
  • Pengolahan data kuantitatif dan wawancara kualitatif.
  • Perancangan model penilaian.

 

Studi Kasus: PT Pembangunan Perumahan (Persero)

 

Sebagai contoh lokal, paper ini mengutip PT PP (Persero) yang telah menerapkan Green Contractor Assessment Sheet dengan enam indikator utama, seperti efisiensi energi, konservasi air, dan kesehatan kerja. Meskipun inisiatif ini positif, belum ada standar nasional yang mengatur penilaian tersebut secara sistemik.

 

Perbandingan Global: Belajar dari Dunia

 

Studi ini menyebutkan beberapa praktik terbaik dunia:

  • Hongkong: Sebagian besar limbah padat berasal dari konstruksi (Poon, 1997).
  • Amerika Serikat: 29% limbah padat berasal dari proyek konstruksi (Rogoff & Williams, 1994).
  • United Kingdom: 50% limbah berasal dari aktivitas pembangunan (Ferguson, 1995).

Indonesia dapat belajar dari pendekatan rating LEED (AS), BREEAM (UK), dan Green Mark (Singapura) yang sudah mengintegrasikan aspek proses konstruksi dalam sistem penilaiannya.

 

Analisis Kritis: Peluang, Tantangan, dan Arah ke Depan

 

Peluang:

IKN sebagai proyek percontohan: Dapat menjadi pelopor standar green construction nasional.

Perubahan regulasi: Agenda Konstruksi Indonesia 2030 memberikan momentum.

 

Tantangan:

Belum adanya insentif fiskal bagi kontraktor hijau.

SDM belum siap secara menyeluruh.

Ketiadaan sistem pelaporan green construction yang transparan.

 

Usulan Perbaikan:

Standarisasi nasional sistem penilaian tahap konstruksi.

Penerapan wajib LCA dan audit lingkungan pada semua proyek besar.

Integrasi materi green construction ke dalam kurikulum teknik sipil.

 

Kesimpulan: Saatnya Konstruksi Hijau Jadi Standar, Bukan Pilihan

 

Penelitian ini menyuguhkan fondasi kuat untuk membangun sistem penilaian green construction di Indonesia yang tidak sekadar reaktif terhadap tekanan internasional, tetapi juga proaktif dalam merancang pembangunan berkelanjutan. Dengan mengembangkan model assessment yang inklusif, Indonesia memiliki peluang besar menjadi pemimpin kawasan dalam inovasi konstruksi ramah lingkungan.

 

Referensi

 

Ervianto, W.I., Soemardi, B.W., Abduh, M., & Suryamanto. (2011).

Pengembangan Model Assessment Green Construction pada Proses Konstruksi untuk Proyek Konstruksi di Indonesia. Prosiding KNPTS.