Pengantar: Ketika Kota Jadi Produk Digital
Kota-kota kini berlomba menjadi “cerdas”—mengintegrasikan teknologi, data, dan kolaborasi publik-swasta untuk mengatasi persoalan urban. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Astrid Voorwinden dalam disertasinya di University of Groningen, keberhasilan proyek smart city bukan hanya soal teknologi, melainkan soal bagaimana nilai-nilai publik dijaga dalam pusaran digitalisasi dan komersialisasi. Artikel ini menganalisis riset tersebut, menyoroti studi kasus, konsep hukum, serta tantangan etika dan kelembagaan dalam implementasi smart city.
Smart City: Istilah yang Komersial, Tak Netral
Definisi “smart city” masih kabur dan bervariasi. Secara umum, kota cerdas digambarkan sebagai kota yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk meningkatkan efisiensi layanan publik, transparansi, dan keberlanjutan. Namun, Voorwinden menyatakan bahwa istilah ini sejak awal dimanfaatkan sebagai strategi pemasaran, bukan kerangka ilmiah. Dengan citra positif yang dibentuk—dari “kota pintar” hingga “kota masa depan”—label ini kerap menyembunyikan agenda bisnis dan dominasi aktor swasta dalam tata kelola kota.
Studi Kasus: Gagalnya Quayside, Toronto
Proyek smart city paling kontroversial muncul di Quayside, Toronto, yang digagas oleh Sidewalk Labs—anak usaha Alphabet (induk Google). Proyek ini awalnya disambut antusias karena menawarkan inovasi seperti sensor jalan, pengelolaan limbah otomatis, dan transportasi otonom.
Namun, #BlockSidewalk—gerakan masyarakat sipil—muncul karena:
- Kurangnya transparansi kontrak dan konsultasi publik
- Potensi pelanggaran privasi dari pengumpulan data massal
- Minimnya peran pemerintah kota dan perencana tata kota
- Ketergantungan pada “Urban Data Trust” yang tidak independen
Akhirnya, proyek ini dibatalkan pada 2020, memperkuat kritik bahwa smart city sering kali lebih menguntungkan korporasi dibanding warganya.
Tantangan Hukum dan Regulasi Smart City
Voorwinden menyoroti bahwa sebagian besar literatur hukum masih terlalu fokus pada isu data dan teknologi, belum cukup membahas relasi kuasa antara pemerintah kota dan mitra swasta. Ia mengajukan lima pertanyaan utama:
- Risiko apa yang dihadirkan proyek smart city terhadap nilai publik?
- Bagaimana kolaborasi publik-swasta bisa melemahkan akuntabilitas?
- Bagaimana pemerintah kota dapat menjaga otonomi dan integritas?
- Apa bentuk tata kelola hukum yang tepat dalam konteks ini?
- Bagaimana memastikan partisipasi publik yang bermakna?
Urban Living Labs dan Tantangan Praktis
Voorwinden mempelajari praktik kolaborasi melalui Urban Living Labs (ULLs)—proyek eksperimental di mana teknologi diuji langsung di lingkungan kota. Di Belanda, misalnya, ULL sering didanai swasta, namun pemerintah minim pengawasan hukum.
Hasil temuan menunjukkan:
- Struktur hukum ULL tidak seragam dan rentan bias komersial
- Kepemilikan data tidak selalu jelas
- Partisipasi warga hanya formalitas, bukan substansi
ULL merepresentasikan model “sandbox governance” yang butuh peraturan ketat agar tidak justru merusak nilai publik.
Kasus Amsterdam: Fragmentasi dan Kelembagaan
Studi lapangan di Amsterdam memperlihatkan bagaimana pemerintah kota kesulitan mengkoordinasikan proyek smart city akibat:
- Fragmentasi antardepartemen
- Ketidakjelasan peran aktor swasta
- Kurangnya evaluasi independen
Meski memiliki program resmi, tata kelola proyek digital cenderung terpecah-pecah. Hal ini menciptakan celah yang bisa dimanfaatkan korporasi tanpa akuntabilitas publik yang memadai.
Soft Law: Alternatif atau Ilusi?
Voorwinden juga mengulas peran “soft law”—pedoman non-mengikat seperti kode etik digital, prinsip data terbuka, atau deklarasi hak digital warga. Meski fleksibel dan partisipatif, pendekatan ini punya keterbatasan:
- Tidak selalu memiliki sanksi
- Sulit diawasi implementasinya
- Rentan dibajak menjadi alat legitimasi formalitas
Karena itu, ia merekomendasikan kombinasi antara soft law dengan kerangka hukum formal dan kebijakan berbasis hak asasi manusia.
Kritik dan Nilai Tambah: Perspektif Global Selatan
Satu hal yang kurang disorot dalam disertasi ini adalah konteks Global Selatan, termasuk Indonesia. Di banyak kota berkembang, implementasi smart city sering hanya kosmetik: mengganti lampu jalan dengan “smart lighting” tanpa memperbaiki layanan dasar.
Isu ketimpangan digital, literasi teknologi rendah, dan keterbatasan kapasitas lembaga juga membuat pendekatan seperti ULL atau data trust menjadi tidak relevan tanpa adaptasi lokal.
Di sisi lain, Voorwinden sangat tepat menyoroti bagaimana “nilai publik” harus menjadi pusat desain teknologi kota, bukan sekadar bonus tambahan.
Kesimpulan: Regulasi Proyek Kota Cerdas Butuh Paradigma Etis
Proyek smart city bukanlah soal teknologi, melainkan soal siapa yang berkuasa, siapa yang dilayani, dan siapa yang dikorbankan. Kolaborasi publik-swasta perlu transparansi, kontrol demokratis, dan perlindungan hak warga.
Kota cerdas yang ideal bukan hanya responsif, tapi adil dan partisipatif. Bukan hanya pintar secara teknis, tapi juga bijaksana secara sosial.
Sebagai kesimpulan, Voorwinden menegaskan bahwa hukum harus bergerak melampaui perlindungan data dan mulai membangun kerangka regulasi menyeluruh untuk menjaga nilai-nilai publik dalam tata kelola kota digital.
Sumber : Voorwinden, A. (2023). Smart cities: private means, public ends? Challenges in regulation and governance of smart city projects [Doctoral dissertation, University of Groningen]. University of Groningen.