BUMN Infrastruktur Sebagai Tulang Punggung Pembangunan Negara: Bangkrut, Dibubarkan, dan Berjuang Keluar dari Lilitan Utang

Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari

08 Mei 2024, 11.06

Sumber:  aco-law.com

Penulis Kelvin Adytia Pratama S.H., M.H dan Yemima Andria H. S.

Pembubaran PT Istaka Karya (Persero) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2023 tentang Pembubaran PT Istaka Karya (Persero) oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menambah panjang daftar perusahaan pelat merah yang pada akhirnya harus menerima “suntikan maut” di Indonesia. Sementara itu, dalam pertimbangan PP Nomor 13 Tahun 2023 dijelaskan dasar pembubaran perusahaan yang bergerak di bidang usaha infrastruktur atau konstruksi ini, yakni bahwa PT Istaka Karya dinyatakan pailit sebagaimana tertuang dalam putusan hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor 26/Pdt.Sus-PKPU-Pailit/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst. tertanggal 12 Juli 2022, sehingga harta pailit eks Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini dalam keadaan insolvensi. Insolvensi sendiri merupakan keadaan tidak mampu membayar atau keadaan Perusahaan yang memiliki utang, atau utangnya melebihi total asetnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa isu utama pembubaran BUMN adalah terkait kerugian yang diderita perusahaan selama bertahun-tahun, dan pada akhirnya berujung pada pembubaran BUMN. Hal ini akan selalu menjadi perhatian masyarakat luas karena sebagaimana diketahui secara umum, pendirian BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU No.19/2003 tentang BUMN (“UU BUMN”) menyatakan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Oleh karena itu, kerugian BUMN sering dikaitkan dengan kerugian negara.

Konsekuensi hukum bagi BUMN yang pailit dan dibubarkan

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU), kepailitan adalah: “sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.

Kepailitan sendiri dapat diartikan sebagai suatu kondisi atau keadaan seseorang atau badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya (dalam hal utang-utangnya) kepada para krediturnya atau biasa disebut “pailit”. Akibat hukum dari pailitnya suatu BUMN dapat dirasakan oleh berbagai pihak. Konsekuensi bagi debitur adalah adanya sita umum atas seluruh harta kekayaannya dan kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Konsekuensi bagi kreditur adalah kompensasi utang akan dilakukan sepanjang kreditur beritikad baik terhadap transaksi yang ada sebelum kepailitan dan ada kemungkinan kreditur akan meminta kepastian kepada kurator mengenai kelanjutan pelaksanaan kontrak timbal balik, dan penangguhan eksekusi jaminan utang secara efektif. 

PT Istaka Karya sebenarnya telah mengajukan rencana perdamaian yang telah dihomologasi pada tahun 2013, melalui Putusan Homologasi No. 23/PKPU/2012/PN Niaga Jakarta Pusat tertanggal 22 Januari 2013. Salah satu upaya PT Istaka Karya untuk mempertahankan usahanya dalam rencana perdamaian tersebut adalah dengan menawarkan saham perusahaan dalam konversi utang kepada para krediturnya sebagaimana diatur dalam PP No.44 Tahun 2018 tentang Perubahan Struktur Kepemilikan Saham Negara Melalui Penerbitan Saham Baru Pada PT Istaka Karya (Persero).

Namun, kepailitan PT Istaka Karya pada tahun 2022 merupakan implikasi dari permohonan pembatalan putusan homologasi yang diajukan oleh PT Riau Anambas Samudra setelah PT Istaka Karya tidak dapat memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo pada akhir tahun 2021. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian mengabulkan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian atau homologasi tersebut. 

Di sisi lain, kepailitan dan pembubaran PT Istaka Karya menyisakan permasalahan yang belum terselesaikan yang harus diselesaikan oleh pemerintah karena masih banyak karyawan, rekanan atau vendor subkontraktor dan kreditur PT Istaka Karya lainnya yang haknya belum dibayarkan. Dari riset yang dilakukan penulis, terdapat utang sekitar Rp1,08 triliun yang menunggu untuk dibayarkan oleh PT Istaka Karya dengan ekuitas perusahaan yang tercatat minus Rp570 miliar. Sementara itu, total aset perusahaan hanya sebesar Rp514 miliar.

Pasal 3 PP No.13 Tahun 2023 mengatur bahwa pembubaran PT Istaka Karya, termasuk likuidasi harus diselesaikan paling lambat 5 (lima) tahun sejak PT Istaka Karya dinyatakan pailit. Pasal 143 ayat (1) UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menyatakan bahwa pembubaran perseroan tidak mengakibatkan perseroan kehilangan statusnya sebagai badan hukum, kecuali proses likuidasi telah selesai dan pertanggungjawaban likuidator telah diterima RUPS atau pengadilan. Oleh karena itu, penulis berpandangan bahwa masih ada peran kurator dan pemerintah dalam menangani utang yang belum terbayarkan sampai PT Istaka Karya menyelesaikan proses likuidasinya.

Salah satu solusi yang dikemukakan oleh Menteri BUMN, Erick Thohir, adalah dengan melelang jaminan utang tersebut melalui Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Kemudian dana hasil lelang tersebut akan digunakan untuk membayar para kreditur UMKM yang ada dalam daftar kreditur. Apabila masih terdapat proyek-proyek yang sedang dikerjakan oleh debitur, maka proyek-proyek tersebut dapat didukung oleh pemerintah sebagai upaya untuk mempertahankan dan/atau menambah harta pailit, khususnya harta debitur yaitu PT Istaka Karya. 

Pelajaran yang dipetik dari kepailitan BUMN dan tantangan bagi BUMN infrastruktur

Pasal 51 UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah memberikan kewenangan kepada BUMN untuk melakukan monopoli yang berkaitan dengan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara. Terlebih lagi, BUMN Infrastruktur dapat dikatakan sebagai tulang punggung pembangunan negara. Namun, dalam praktiknya, BUMN, termasuk BUMN Infrastruktur, masih belum efektif dalam melakukan kalkulasi proyek, menyulitkan sinergi dengan pihak swasta, serta mengalami keguguran dan kerugian yang berujung pada kebangkrutan.

Pemerintah harus memetik pelajaran berharga dari pengalamannya menangani BUMN yang berujung pada kebangkrutan. Salah satunya adalah dengan lebih memfokuskan pada program strategis penguatan BUMN yang terdiri dari konsolidasi, privatisasi, sinergi dan penyertaan modal negara. Dalam perkembangannya, konsolidasi ini terdiri dari holding, merger, akuisisi dan inbreng. Oleh karena itu, pemerintah harus peka dalam melihat peluang konsolidasi BUMN. 

Salah satunya terkait dengan holding, yaitu skema dimana perusahaan induk yang membawahi beberapa perusahaan lain dalam satu grup perusahaan bertindak sebagai pemegang saham di beberapa anak perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja perusahaan dan memungkinkan terciptanya nilai pasar perusahaan. Konsep holding dianggap sebagai jalan tengah bagi Indonesia untuk membuat perusahaan-perusahaan negara menjadi lebih efisien. 

Contoh penerapan holding di Indonesia adalah holding BUMN di sektor pertambangan. Sejumlah perusahaan di sektor pertambangan tergabung dalam Holding BUMN Industri Pertambangan Indonesia atau Mining Industry Indonesia (MIND ID). Anak perusahaannya adalah PT Antam Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Freeport Indonesia, PT Inalum (Persero), dan PT Timah Tbk. Laba sektor pertambangan juga melonjak tajam, mencapai 683 persen. Pada tahun 2020, keuntungannya sebesar Rp2 triliun dan akan meningkat menjadi Rp14 triliun pada tahun 2021.

Peningkatan laba di sektor pertambangan merupakan dampak positif dari proses transformasi BUMN. Beberapa upaya telah dilakukan, seperti restrukturisasi dan refocusing pada bisnis inti yang dibagi menjadi 12 klaster. Selain itu, terjadi pemangkasan jumlah BUMN yang sebelumnya berjumlah 108 menjadi 41 badan usaha hingga saat ini. Berdasarkan pengalaman tersebut, salah satu solusi yang dianggap tepat untuk mengatasi BUMN yang berakhir dengan kebangkrutan adalah pemerintah terus mengkaji peluang konsep holding dan/atau merger agar BUMN menjadi lebih efektif dalam menjalankan perusahaan. 

Holding BUMN infrastruktur 

Berdasarkan Instruksi Menteri BUMN No. INS-1/MBU/09/2020, telah dibentuk 12 klaster BUMN Portofolio (ditambah sub-klaster Danareksa) termasuk di dalamnya adalah Klaster Infrastruktur yang menaungi enam perusahaan jasa konstruksi (PT Hutama Karya (Persero) Tbk (HK), PT Waskita Karya (Persero) Tbk (Waskita), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (Wika), PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PP), PT Adhi Karya (Persero) Tbk (Adhi) dan Brantas); satu perusahaan pengelola jalan tol PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dua perusahaan semen BUMN (PT Semen Indonesia (Persero) Tbk dan Semen Baturaja), dan satu pengembangan perumahan (Perum Perumnas);

Perlu dicatat, klaster dan holding adalah dua hal yang berbeda. Penempatan dalam satu klaster bukan berarti BUMN tersebut akan digabungkan menjadi satu holding. Oleh karena itu, perlu ada kajian dari pemerintah untuk menerapkan konsep holding pada BUMN Infrastruktur. Dasar dilakukannya holding di antara perusahaan-perusahaan tersebut adalah karena banyak BUMN infrastruktur yang mengalami tumpang tindih dalam bisnis infrastruktur itu sendiri. Setelah mengefektifkan holding ini, perlu ada audit yang ketat dari pemerintah untuk melihat penumpukan utang BUMN infrastruktur, terutama terkait tata kelola yang buruk, manajemen perusahaan yang kurang baik, dan pemilihan model bisnis yang tidak efisien.  

Selain itu, pemerintah harus “waspada” dalam menyiapkan BUMN yang kondisi perusahaannya masih stabil dan memiliki cakupan bisnis yang mirip dengan BUMN yang memiliki utang besar sebagai “pengganti” BUMN yang berpotensi untuk dinyatakan pailit di kemudian hari. Tentunya dengan pertimbangan yang sangat matang dan menguntungkan berbagai pihak.

Saat ini, BUMN infrastruktur tidak bisa lagi dikatakan sebagai stimulator atau pionir dan katalisator yang menginspirasi perusahaan swasta untuk turut serta mengembangkan usaha dan meningkatkan kuantitas dan kualitas produk dalam negeri. Oleh karena itu, langkah terakhir yang dapat dilakukan pemerintah adalah mendorong privatisasi BUMN di sektor infrastruktur karena melihat pelaku usaha swasta sudah banyak dan berkualitas. Terlebih lagi, menjadi dilematis jika pada praktiknya proyek infrastruktur kembali disubkontrakkan kepada pihak swasta. Hal ini berarti negara tidak lagi memiliki urgensi untuk mengembangkan BUMN infrastruktur.

  • Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2023 tentang Pembubaran PT Istika Karya (Persero)
  • Pasal 57 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU)
  • Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU
  • Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU Kepailitan dan PKPU
  • Pasal 51, 52, 53 UU Kepailitan dan PKPU
  • Pasal 55 UU Kepailitan dan PKPU

Disadur dari: aco-law.com