Bahasa Saparua merupakan bahasa daerah yang termasuk dalam kategori terancam punah yang dituturkan di Pulau Saparua, Provinsi Maluku. Berdasarkan data Ethnologue, diperkirakan jumlah penutur bahasa telah berkurang hingga 8500 penutur dan saat ini hanya menyisakan sekitar 1500 penutur. Sebagai upaya pendokumentasian bahasa terancam punah tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) menggelar kegiatan webinar bertajuk Dokumentasi Bahasa Saparua, Jumat (8/3).
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Herry Jogaswara dalam sambutannya menjelaskan bahwa kegiatan ini memiliki keunikan tersendiri. Karena ini merupakan wadah diseminasi riset, saling berbagi pengalaman, dan belajar dari suatu program riset kolaborasi dari Endangeres Languages Documentation Programme (ELDP) Jerman untuk mendokumentasikan bahasa di Saparua.
"Kolaborasinya melibatkan periset BRIN, scholar dari Amerika, dan juga yang paling penting adalah melibatkan masyarakat melalui kolaborasi dengan masyarakat penutur atau masyarakat adat. Dalam kegiatan ini juga tim akan menceritakan pengalamannya secara rinci mengenai tahapan kegiatan riset mulai dari pembuatan proposal," jelasnya.
Peneliti PR PBS BRIN, Khairunnisa memerinci penyebab kepunahan Bahasa Saparua. Di antaranya pengaruh dari masa penjajahan Belanda selama 350 tahun di Maluku yang melakukan Kristenisasi. Hal ini cukup berdampak lantaran Bahasa Saparua dituturkan di desa dengan mayoritas masyarakat yang memeluk agama Islam.
"Terjadinya konflik Maluku di tahun 1998-2001 juga berdampak terhadap kepunahan bahasa Saparua, selain juga pengaruh migrasi, globalisasi, dan juga kebijakan wajib berbahasa Indonesia," urainya.
Secara garis besar, ia menjelaskan upaya preservasi Bahasa Saparua melalui program riset kolaborasi ELDP. Misinya mendorong dokumentasi dan penelitian lapangan, menciptakan sumber pustaka linguistik, ilmu-ilmu sosial, komunitas mengenai bahasa terancam punah, serta membuat koleksi dokumenter yang tersedia secara bebas.
Hal senada juga diungkapkan oleh peneliti PR PBS BRIN lainnya, Erniati. Ia mengungkapkan berbagai tahapan teknis terkait riset yang akan dilakukan dalam upaya preservasi bahasa. Mulai dari proposal, bentuk dokumentasi, pelatihan dokumentasi bahasa, pengambilan data, pengolahan data, pengarsipan di repository The Endangered Languages Archive (ELAR), dan terakhir adalah publikasi.
Sementara itu, Peneliti dari Bennington College, Leah Pappas mengatakan bahwa masyarakat penutur sering kali tidak menyadari sikap terhadap bahasa mereka sendiri. Oleh karena itu, menurutnya, riset tentang sikap bahasa dalam hal ini Bahasa Saparua merupakan hal yang penting.
"Riset sikap bahasa dapat memberikan gambaran mendalam terhadap kondisi bahasa dan penutur yang mempengaruhi vitalitas bahasa. Di samping itu bahasa adalah milik penutur sehingga sikap mereka sangat mempengaruhi keberlangsungan bahasa," katanya.
Dalam salam penutupnya, Kepala PR PBS BRIN, Katubi menuturkan banyaknya bahasa yang terancam punah khususnya bahasa-bahasa daerah di Papua. "Beberapa tim PR PBS BRIN telah melakukan pendokumentasian bahasa dan sastra di Papua namun karena saking banyaknya hal tersebut tidak bisa dilakukan dalam 1-2 tahun selesai," tuturnya.
"Kita semua bisa saling berkolaborasi, dari manapun. Memang kerja kolaborasi itu menjadi penting terutama yang saling menopang, saling mendukung kompetensinya," pungkasnya.
Sumber: https://brin.go.id/