Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

15 Maret 2025, 07.11

freepik.com

Sertifikasi insinyur merupakan salah satu elemen penting dalam menjamin kualitas tenaga kerja teknik dan infrastruktur yang dihasilkan. Jurnal Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification karya Irika Widiasanti membahas sejauh mana sistem sertifikasi insinyur di Indonesia sesuai dengan praktik terbaik internasional.

Penelitian ini menyoroti perbedaan dan kesesuaian sertifikasi insinyur Indonesia dengan standar internasional, khususnya di Malaysia, Singapura, dan Filipina. Dengan menggunakan metode deskriptif normatif, jurnal ini mengidentifikasi berbagai faktor yang telah sesuai dan belum sesuai dengan praktik terbaik sertifikasi insinyur di tingkat global.

Sertifikasi insinyur di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, yang bertujuan untuk menjamin profesionalitas tenaga kerja teknik. Namun, peraturan pelaksanaannya hingga saat ini masih belum lengkap, termasuk panduan teknis implementasi sertifikasi. Hal ini menyebabkan adanya ketidaksesuaian dalam sistem sertifikasi, terutama jika dibandingkan dengan standar internasional.

Menurut penelitian ini, ada 16 faktor yang sesuai dan 20 faktor yang tidak sesuai dengan praktik terbaik sertifikasi insinyur di negara lain. Beberapa faktor utama yang tidak sesuai meliputi:

  • Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses sertifikasi.
  • Belum adanya standar yang jelas dalam akreditasi program studi berbasis kompetensi profesi.
  • Dualisme regulasi antara Dewan Insinyur dan lembaga sertifikasi profesi yang menyebabkan kebingungan dalam registrasi insinyur.

Perbandingan Sertifikasi Insinyur Indonesia dengan Praktik Internasional

Penelitian ini membandingkan sistem sertifikasi insinyur di Indonesia dengan tiga negara ASEAN: Malaysia, Singapura, dan Filipina. Negara-negara ini dipilih karena telah menerapkan sistem sertifikasi insinyur yang lebih matang dan diakui secara internasional.

Beberapa temuan utama dalam perbandingan ini adalah:

  • Malaysia telah memiliki Registration of Engineers Act 1967, yang secara jelas mengatur proses sertifikasi dan registrasi insinyur.
  • Singapura memiliki Professional Engineers Act, yang menetapkan proses akreditasi ketat dan mewajibkan registrasi ulang secara berkala.
  • Filipina menggunakan Republic Act No. 544, yang membatasi jumlah asosiasi profesi untuk meningkatkan efektivitas pembinaan dan sertifikasi insinyur.
  • Indonesia masih menghadapi kendala dalam harmonisasi peraturan, di mana terdapat perbedaan kebijakan antara Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan Dewan Insinyur Indonesia.

Ketidaksesuaian Sistem Sertifikasi Insinyur Indonesia

1. Dualisme Regulasi dalam Sertifikasi Insinyur

Di Indonesia, sertifikasi insinyur dikelola oleh dua lembaga utama:

  1. Persatuan Insinyur Indonesia (PII) – Mengeluarkan Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) sebagai izin praktik.
  2. Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) – Mengeluarkan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) bagi tenaga kerja teknik.

Masalah yang muncul adalah banyak proyek konstruksi di Indonesia yang lebih mengutamakan SKK dibandingkan STRI. Akibatnya, banyak insinyur memilih SKK karena dianggap lebih praktis, sementara STRI yang seharusnya menjadi standar profesi tidak diakui secara luas.

2. Kurangnya Pengakuan terhadap Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)

Dalam praktik terbaik sertifikasi internasional, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) menjadi syarat utama untuk perpanjangan sertifikasi insinyur. Di Indonesia, sistem PKB masih belum berjalan optimal. Beberapa masalah yang ditemukan meliputi:

  • Tidak adanya kewajiban pelatihan berkelanjutan untuk memperbarui sertifikasi.
  • Masa berlaku sertifikasi insinyur di Indonesia adalah lima tahun, sementara di negara lain biasanya satu hingga tiga tahun untuk memastikan bahwa insinyur selalu mengikuti perkembangan teknologi dan regulasi terbaru.

3. Tidak Ada Standar Akreditasi Program Studi Teknik Berbasis Kompetensi Profesi

Best practices internasional menunjukkan bahwa lulusan program studi teknik harus terdaftar di lembaga sertifikasi insinyur nasional sebelum mereka dapat berpraktik. Namun, di Indonesia, akreditasi program studi teknik masih berbasis akademik dan belum terintegrasi dengan sertifikasi profesi.

Akibatnya, lulusan teknik sipil di Indonesia hanya memiliki gelar akademik Sarjana Teknik (ST) tanpa sertifikasi profesi yang diakui secara internasional. Hal ini membuat daya saing insinyur Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain yang sudah menerapkan sistem akreditasi berbasis kompetensi.

Harmonisasi Regulasi antara PII dan LSP

Pemerintah Indonesia perlu mengintegrasikan sistem STRI dan SKK dalam satu sistem sertifikasi yang diakui secara nasional dan internasional. Beberapa langkah yang dapat dilakukan meliputi:

  • Menjadikan STRI sebagai persyaratan utama dalam proyek konstruksi nasional.
  • Memastikan LSP dan PII bekerja sama dalam proses sertifikasi untuk menghindari dualisme kebijakan.
  • Memberikan insentif bagi insinyur yang mengikuti sertifikasi dengan standar internasional.

Peningkatan Sistem Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)

Untuk meningkatkan daya saing insinyur Indonesia, pemerintah dan asosiasi profesi harus mewajibkan insinyur mengikuti pelatihan berkelanjutan sebelum memperpanjang sertifikasi mereka. Langkah yang dapat diambil antara lain:

  • Mengadopsi sistem registrasi ulang tahunan atau tiga tahunan untuk sertifikasi insinyur.
  • Menyediakan program PKB berbasis teknologi untuk mempermudah akses bagi insinyur di seluruh Indonesia.

Reformasi Akreditasi Program Studi Teknik Berbasis Kompetensi

Agar lulusan teknik Indonesia lebih siap menghadapi persaingan global, diperlukan reformasi dalam sistem akreditasi program studi teknik, di antaranya:

  • Mengintegrasikan akreditasi akademik dengan standar sertifikasi profesi.
  • Menetapkan standar kompetensi insinyur yang sesuai dengan Mutual Recognition Agreement (MRA) ASEAN.
  • Mengharuskan lulusan teknik terdaftar di Dewan Insinyur sebelum mendapatkan izin praktik.

Jurnal Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification mengungkap berbagai ketidaksesuaian dalam sistem sertifikasi insinyur di Indonesia. Beberapa temuan utama dalam penelitian ini adalah:

  1. Sistem sertifikasi insinyur di Indonesia masih belum sesuai dengan praktik terbaik internasional, dengan 20 faktor yang tidak sesuai.
  2. Dualisme regulasi antara PII dan LSP menyebabkan kebingungan dalam registrasi insinyur, sehingga perlu ada harmonisasi kebijakan.
  3. Kurangnya pengakuan terhadap Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) menghambat peningkatan kompetensi insinyur.
  4. Perlu reformasi akreditasi program studi teknik agar lulusan teknik di Indonesia memiliki daya saing yang lebih tinggi di pasar internasional.

Dengan menyelaraskan regulasi dan meningkatkan standar sertifikasi, Indonesia dapat memperkuat daya saing tenaga kerja insinyurnya dalam persaingan global.

Sumber: Irika Widiasanti. Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification. SNITT-Politeknik Negeri Balikpapan, 2017, ISBN: 978-602-51450-0-1.