Pada hari kerja, asisten produksi Dandy Febriansyah bekerja berjam-jam di sebuah perusahaan rintisan di Jakarta. Dan di akhir pekan, ia menjadi fotografer lepas.
Semua ini dilakukannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mendukung ibu dan kakaknya yang sudah tua, yang baru saja di-PHK.
Bagi pria berusia 24 tahun ini, keamanan kerja dan prospek pekerjaan yang lebih baik adalah yang paling utama dalam benaknya ketika ia mempertimbangkan kandidat mana yang akan dipilihnya dalam pemilihan presiden pada 14 Februari mendatang.
“Yang pasti, saya ingin pekerjaan dengan gaji yang layak,” kata Dandy, yang berhenti kuliah pada tahun 2020 karena kondisi keuangan yang ketat.
Dia mendapatkan sekitar lima juta rupiah (S$430) dari pekerjaan penuh waktunya, sekitar upah minimum bulanan di Jakarta.
“Saya takut kehilangan pekerjaan karena bisnis start-up di Indonesia saat ini tidak stabil. Saya khawatir karena perusahaan-perusahaan rintisan yang besar pun telah memberhentikan banyak karyawan mereka,” katanya.
Indonesia sedang menyaksikan pemutusan hubungan kerja (PHK) perusahaan rintisan sejalan dengan tren global di industri teknologi, yang sering disebut sebagai “musim dingin teknologi”.
Sementara itu, mahasiswa Aditya Teguh Anandar, 19 tahun, mengencangkan ikat pinggangnya untuk bertahan hidup dengan uang saku beasiswa bulanan sebesar satu juta rupiah. Selama beberapa bulan terakhir, ia telah mencoba untuk memasak lebih banyak di rumah, atau memilih opsi yang lebih murah ketika ia makan di luar misalnya, memesan tempe, yang terbuat dari kacang kedelai yang difermentasi, dan hidangan sayuran alih-alih telur dan ikan.
“Saya berharap presiden berikutnya dapat menurunkan harga-harga bahan pokok, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang sangat terpengaruh oleh kenaikan harga,” kata Aditya.
Dihadapkan dengan pasar kerja yang suram dan meningkatnya biaya hidup, banyak pemilih muda seperti Bapak Dandy dan Bapak Aditya berharap presiden yang akan datang dapat mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kebutuhan pokok, dan masalah-masalah ideologis seperti perubahan iklim.
Dan dengan lebih dari separuh dari sekitar 205 juta pemilih berusia 17 hingga 40 tahun, memenuhi kepentingan para pemilih muda ini akan menjadi kunci kemenangan bagi kandidat presiden mana pun, kata para analis.
Kekhawatiran akan segmen ini bukanlah hal baru. Sebuah survei pada tahun 2022 oleh lembaga think-tank yang berbasis di Jakarta, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menunjukkan bahwa para pemilih muda di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini paling khawatir tentang tingginya biaya hidup, terbatasnya lapangan pekerjaan, dan isu-isu lain, seperti degradasi lingkungan dan polusi.
Survei lain dari lembaga jajak pendapat Indikator Politik Indonesia pada bulan September 2023 mengungkapkan bahwa menjaga harga kebutuhan pokok tetap rendah, serta menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran, adalah isu-isu utama yang harus diatasi oleh presiden berikutnya.
Pada Agustus 2023, tingkat pengangguran umum di Indonesia adalah 5,3 persen, dengan 7,9 juta pengangguran dari 147,7 juta angkatan kerja, menurut Badan Pusat Statistik. Namun, tingkat pengangguran pada kelompok usia 15-24 tahun jauh lebih tinggi, yaitu 19,4 persen.
Sekitar 295.000 orang di-PHK dari Januari hingga November 2023, naik dua puluh kali lipat dari periode yang sama tahun sebelumnya. PHK besar-besaran ini sebagian besar menimpa pekerja di industri padat karya tekstil dan alas kaki, dan disebabkan oleh melemahnya permintaan global terhadap produk-produk ini.
Dengan satu tahun tersisa sebelum ia lulus, mahasiswa tahun ketiga, Adil Setyo Pangestu, 20, khawatir tentang mencari pekerjaan, karena gelar sarjana tidak menjamin seseorang akan mendapatkan pekerjaan yang layak.
Kata Adil: “Teman-teman saya mengatakan kepada saya bahwa sulit bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan, dan mereka telah menganggur untuk waktu yang cukup lama. Beberapa harus bekerja sebagai pekerja lepas sebelum akhirnya mendapatkan pekerjaan tetap.”
Disadur dari: www.straitstimes.com