Sementara banyak pihak di sektor pendidikan masih berjuang untuk menghilangkan kecerdasan buatan (AI) generatif di sekolah, siswa di Pekanbaru, Riau, secara aktif menggunakannya sebagai bagian dari program perintis pemerintah daerah.
“AI adalah kunci untuk mempersiapkan masa depan di Riau dan Indonesia, sehingga mewujudkan visi 'Indonesia Emas' yang maju menuju negara maju yang dinanti-nantikan,” kata Gubernur Syamsuar saat peluncuran program tersebut pada Oktober lalu, seperti dilansir dari siaran pers. Universitas Insan Cita Indonesia (UICI).
Universitas yang berbasis di Jakarta ini mengembangkan program pendidikan berbasis AI yang kini sedang diujicobakan di sekolah-sekolah menengah tertentu di Riau. Di sekolah-sekolah ini, siswa mempelajari kurikulum yang telah dikurasi sesuai dengan kecepatan dan lokasi pilihan mereka sendiri, baik di rumah atau di kafe, menggunakan komputer pribadi. Guru memantau dengan cermat kemajuan mereka.
UICI adalah pelopor pendidikan berbasis teknologi di Indonesia. Universitas ini menggambarkan dirinya sebagai universitas “sepenuhnya digital” pertama di negara ini dan menggunakan Sistem Pembelajaran Pengajaran Simulator Digital AI yang memungkinkan siswa untuk belajar kapan saja dan di mana saja, dengan atau tanpa koneksi internet.
Di Semarang, Jawa Tengah, Binus School juga memelopori penggunaan AI dan augmented reality untuk menghidupkan mata pelajaran abstrak. Di dalam laboratorium khusus, siswa dapat menjelajahi subjek kompleks seperti tata surya dengan cara yang mudah diakses dan menarik secara visual, dan membenamkan diri dalam dunia animasi prasejarah untuk belajar tentang dinosaurus.
Inisiatif-inisiatif ini menandakan adanya potensi revolusi baru yang didukung oleh teknologi dalam pendidikan di Indonesia. Kecepatan revolusi ini bergantung pada mengatasi beberapa tantangan.
Selama pandemi, sektor start-up teknologi pendidikan berkembang pesat, ketika siswa menerima dana dari pemerintah untuk mengikuti kursus online. Ketika dana habis pascapandemi dan siswa kembali ke ruang kelas, antusiasme terhadap start-up teknologi pendidikan pun memudar. Namun teknologi untuk meningkatkan pembelajaran tidak hanya dimiliki oleh perusahaan rintisan (start-up) selama lembaga pendidikan tradisional menerapkannya.
Yandra Arkeman, seorang profesor teknologi agroindustri di Institut Pertanian Bogor (IPB), membayangkan AI dan pembelajaran revolusi metaverse: Sebuah dunia di mana kolokasi fisik antara guru dan siswa tidak diperlukan, di mana alat bantu pengajaran biologi kuno menjadi usang. “Pendidikan melangkah ke dimensi ketiga,” tegasnya.
Namun demikian, presiden komisaris Orbit Future Academy Ilham Akbar Habibie mencatat adanya penekanan yang terus-menerus pada kehadiran fisik di sekolah-sekolah di Indonesia. Berbagi sumber daya pendidikan secara digital dapat mengatasi ketidakmerataan distribusi pendidikan berkualitas di seluruh nusantara.
Meskipun ada inisiatif pemerintah Merdeka Belajar, yang memungkinkan siswa untuk mengambil kursus online dari universitas lain, pembatasan wilayah dalam pendaftaran sekolah menengah atas dan tidak diakuinya pendidikan online asinkron menghambat pertumbuhan pembelajaran online atau jarak jauh.
Arkeman menekankan perlunya mendesak adanya regulasi yang dapat mengimbangi lompatan teknologi, khususnya di bidang pendidikan. Guru juga perlu dilatih ulang agar mampu memanfaatkan sepenuhnya kekuatan internet di ruang kelas.
Dan kemudian ada kekhawatiran mengenai kecurangan, atau bagaimana siswa meminta alat AI seperti ChatGPT untuk menjawab ujian online mereka.
Untuk mengatasi hal ini, Orbit Foundation milik mendiang Hasri Ainun Habibie menciptakan Orbit360, sebuah layanan pendidikan yang mendukung transformasi digital sekolah. Orbit360 menawarkan fitur ujian online yang meminimalkan kemungkinan siswa terlibat dalam praktik tidak jujur dengan memberikan penalti waktu ketika sistem mendeteksi bahwa siswa mencoba mencari jawaban di tempat lain.
Selain memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan pendidikan, Ilham menegaskan Indonesia juga harus meningkatkan pendidikan tentang teknologi.
Ilham percaya bahwa kurikulum Sains, Teknologi, Teknik, Seni dan Matematika (STEAM), bersama dengan pembelajaran berbasis proyek (PBL) yang menerapkan pengetahuan teoritis untuk tantangan dunia nyata, harus diwajibkan untuk meningkatkan pemahaman siswa dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. teknologi di Indonesia.
Ia menyoroti pentingnya literasi digital dalam konteks pendidikan, dengan menunjukkan bahwa siswa cenderung memiliki tingkat literasi digital yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua atau guru, bergantung pada generasi mereka.
Literasi digital dianggap sebagai hambatan yang signifikan karena tanpa pemahaman yang memadai, para pemangku kepentingan mungkin tidak akan merasakan relevansi dan manfaat sistem pendidikan berbasis teknologi.
Selain literasi digital, Ilham mencatat hambatan lain dalam teknologi pendidikan, termasuk potensinya
biaya tambahan. Meskipun efektivitas dan efisiensi penggunaan teknologi meningkat, beberapa pihak mungkin enggan melakukan perubahan karena mereka terbiasa dengan sistem tradisional.
Arkeman juga menyampaikan harapannya terhadap perkembangan industri teknologi pendidikan di Indonesia.
“Saya berharap ke depan Indonesia bisa menjadi produsen teknologi pendidikan, dengan inovasi-inovasi yang dapat membantu negara menjadi pemimpin teknologi digital, bukan sekedar konsumen,” ujarnya.
Disadur dari: asianews.network