Kontruksi Modern
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Infrastruktur Hebat Butuh SDM Hebat
Pembangunan infrastruktur Indonesia, khususnya sejak 2014, mengalami lonjakan signifikan dari sisi anggaran maupun skala proyek. Namun, pertanyaan mendasarnya: apakah kualitas sumber daya manusia konstruksi kita sudah selaras dengan ambisi pembangunan tersebut?
Berangkat dari realitas ini, studi yang dilakukan oleh Dwifitra Jumas, Vivi Ariani, dan Asrini memfokuskan diri pada efektivitas pelatihan berbasis kompetensi, yang menjadi strategi utama pemerintah dalam mencetak tenaga kerja konstruksi yang andal. Evaluasi ini menggunakan pendekatan empat level model Kirkpatrick: reaksi, pembelajaran, perilaku, dan hasil.
Konteks Masalah: Pelatihan Meningkat, Tapi Apakah Efektif?
Data dari LPJK Sumbar menunjukkan lonjakan pelatihan berbasis kompetensi dari hanya 5 kegiatan pada 2014 menjadi 17 kegiatan pada 2015. Ini merupakan peningkatan lebih dari tiga kali lipat. Namun, dengan tingginya investasi (sekitar Rp150 juta per kegiatan), evaluasi terhadap efektivitas program menjadi sangat penting.
Penelitian ini dilakukan di Sumatera Barat dengan menyasar pelatihan yang diadakan antara 2017–2018. Total responden sebanyak 64 orang, yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja, memberikan gambaran beragam terhadap persepsi dan dampak pelatihan.
Metodologi: Evaluasi Berbasis Model Kirkpatrick
Model evaluasi Kirkpatrick membagi efektivitas pelatihan dalam empat level:
Reaksi: sejauh mana peserta puas dengan pelatihan
Pembelajaran: seberapa besar pengetahuan/skill bertambah
Perilaku: apakah peserta menerapkan materi pelatihan
Hasil: dampak nyata pada performa kerja
Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner berisi 43 indikator, diuji validitas dan reliabilitasnya dengan SPSS. Uji hubungan dilakukan menggunakan analisis Kendall’s Tau-b dan chi-square untuk menilai kekuatan hubungan antar variabel.
Temuan Utama: Hanya 58% Indikator yang Efektif
Dari 43 indikator:
58,1% dinyatakan efektif (bernilai di atas cut-off poin ≥4)
Sisanya 41,9% tidak efektif, termasuk beberapa indikator penting seperti materi K3, kualitas waktu pelatihan, dan pengaruh pelatihan terhadap efisiensi waktu kerja
Temuan ini cukup mengejutkan, mengingat anggapan umum bahwa semua pelatihan berbasis kompetensi otomatis berkorelasi positif dengan peningkatan performa.
Detail Temuan Berdasarkan Level Kirkpatrick
Level 1: Reaksi
21 indikator digunakan, hanya 13 yang lolos cut-off. Yang gagal antara lain:
instruktur tidak menguasai materi secara maksimal
waktu pelatihan tidak cukup dan mengganggu pekerjaan
modul pelatihan tidak membantu memahami materi
Interpretasi: Banyak pelatihan dijalankan seperti “tugas administratif,” tanpa memperhatikan kenyamanan, waktu efektif, dan pendekatan instruktur yang komunikatif.
Level 2: Pembelajaran
6 indikator digunakan, dan hanya 3 yang efektif:
Materi komunikasi, K3, dan jadwal kerja dinilai belum cukup meningkatkan pembelajaran
Analisis tambahan: Materi teknis dan keselamatan seharusnya menjadi inti dari pelatihan konstruksi. Fakta bahwa hal ini justru kurang efektif menunjukkan adanya gap dalam metode pengajaran atau mungkin kekeliruan dalam penyampaian materi.
Level 3: Perilaku
5 indikator digunakan, hanya 2 yang efektif:
Peserta tidak merasa pelatihan membuat mereka lebih disiplin, mandiri, atau bertanggung jawab
Opini kritis: Ini adalah alarm serius. Jika pelatihan tidak mengubah perilaku kerja, maka pelatihan gagal mencapai tujuannya. Perubahan mindset dan attitude seharusnya jadi target utama dalam membentuk tenaga kerja profesional.
Level 4: Hasil
11 indikator digunakan, 7 dinilai efektif. Yang tidak efektif mencakup:
peserta tidak mempraktikkan materi
tidak membantu manajemen waktu kerja
tidak meningkatkan kemampuan membuat laporan
Catatan penting: Tanpa implementasi di lapangan, hasil pelatihan hanya tinggal di ruang kelas. Artinya, pelatihan perlu disertai sistem mentoring di proyek untuk memastikan transfer ilmu.
Evaluasi Kompetensi: Mana yang Terkait dengan Indikator Efektif?
Peneliti menghubungkan indikator pelatihan dengan 6 kompetensi utama:
Hanya 4 indikator yang signifikan:
Mengubah cara pandang & sikap (berpengaruh ke K2, S2, A2)
Meningkatkan keterampilan kerja (berpengaruh ke K1, A1)
Meningkatkan kemampuan membaca gambar (K1)
Materi sesuai unit kompetensi (A2)
Kesimpulan Penting: Dari 43 indikator, hanya 4 yang benar-benar berkorelasi dengan peningkatan kompetensi. Ini menunjukkan efektivitas pelatihan masih sangat terbatas dan perlu perombakan total.
Kritik dan Saran: Pelatihan Harus Relevan, Praktis, dan Evaluatif
Kritik Penulis:
Terlalu banyak pelatihan yang bersifat formalitas
Evaluasi hanya dilakukan dari sisi peserta, bukan juga dari pihak penyelenggara
Minim pemanfaatan teknologi pembelajaran (e-learning, simulasi proyek)
Rekomendasi Penguatan:
Libatkan pelaku industri dalam desain kurikulum pelatihan
Gunakan metode blended learning yang menggabungkan teori dan praktik lapangan
Lakukan evaluasi pasca-pelatihan di proyek nyata untuk mengukur dampak
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Studi Lin et al. (2011) menunjukkan bahwa dalam sektor konstruksi di Taiwan, keberhasilan pelatihan sangat dipengaruhi oleh komitmen organisasi. Sementara Kodri dkk. (2018) di Indonesia menemukan bahwa sertifikasi saja tidak cukup, tanpa diikuti perubahan proses kerja.
Penelitian ini memperkuat argumen bahwa proses pelatihan dan evaluasi harus lebih mendalam dan berkelanjutan, bukan hanya seputar penyampaian materi.
Kesimpulan Akhir: Pelatihan Tak Cukup, Harus Ada Transformasi
Penelitian ini memberikan gambaran gamblang tentang kondisi pelatihan SDM konstruksi di Indonesia, khususnya Sumatera Barat: belum cukup efektif. Hanya sebagian kecil indikator yang berkorelasi langsung dengan peningkatan kompetensi.
Untuk itu, pelatihan berbasis kompetensi harus mengalami revolusi—dari segi kurikulum, instruktur, metode evaluasi, hingga implementasi di lapangan.
Sumber
Penelitian ini dipublikasikan dalam:
Dwifitra Jumas, Vivi Ariani, dan Asrini (2021).
Analisis Hubungan Efektivitas Pelatihan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi terhadap Level Kirkpatrick.
Rang Teknik Journal, Vol. 4 No. 1.
DOI: http://dx.doi.org/10.31869/rtj.v4i1.2093
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 21 Mei 2025
Dalam dunia konstruksi modern, efisiensi waktu dan biaya menjadi kunci utama keberhasilan suatu proyek. Salah satu pendekatan yang semakin populer untuk mencapai tujuan ini adalah metode Design and Build (DB) atau Rancang Bangun (RB). Sebuah studi kasus mendalam mengenai pembangunan Masjid Al-Huda Universitas Merdeka Malang memberikan gambaran komprehensif tentang bagaimana pendekatan RB, dengan segala tantangan dan dinamikanya, dapat menghasilkan penyelesaian proyek yang tepat waktu dan fungsional. Artikel ini akan menganalisis secara rinci studi kasus tersebut, menyoroti faktor-faktor penentu keberhasilan, serta memberikan perspektif tambahan yang relevan dengan tren industri konstruksi saat ini.
Mendesaknya Kebutuhan: Latar Belakang Proyek Masjid Al-Huda
Proyek pembangunan Masjid Al-Huda Universitas Merdeka Malang bukan sekadar proyek konstruksi biasa; ia adalah respons terhadap kebutuhan mendesak akan fasilitas peribadatan yang dapat segera dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, khususnya pada bulan Ramadhan 2023. Kondisi ini secara inheren menuntut percepatan proses pembangunan, di mana metode konvensional yang memisahkan tahapan desain dan konstruksi mungkin tidak akan mampu memenuhi target waktu yang ketat.
Awalnya, Masjid Al-Huda berlokasi di dalam lingkungan kampus, sehingga hanya melayani jamaah dari kalangan kampus. Namun, dengan dukungan dari Pemerintah Kota Malang, lokasi masjid dipindahkan ke tepi Jalan Terusan Raya Dieng. Perubahan lokasi ini strategis untuk memperluas jangkauan pelayanan masjid, menjadikannya fasilitas peribadatan umum yang juga dapat diakses oleh warga sekitar Universitas Merdeka Malang. Proyek ini didanai melalui swakelola oleh Yayasan Perguruan Tinggi Merdeka (YPTM), yang sebagian besar berasal dari dana wakaf jamaah, mengindikasikan bahwa proyek ini juga memiliki nilai sosial dan amal yang tinggi. Luas proyek mencakup area ±865 m2 dari total lahan 1083 m2, yang terbagi menjadi bangunan utama masjid (600 m2), lahan parkir (363 m2), dan taman (120 m2).
Transisi Menuju Rancang Bangun: Solusi di Tengah Keterbatasan
Pada mulanya, proyek ini melibatkan tiga pihak utama: YPTM sebagai pemilik, tim perencana/pengawas, dan PT. KIM sebagai kontraktor pelaksana. Namun, minimnya dokumen pelaksanaan yang memadai mengharuskan adanya koordinasi intensif. Situasi ini mendorong integrasi tim perencana/pengawas dengan kontraktor, membentuk sistem RB yang terintegrasi. Metode RB memang dikenal sebagai solusi efektif untuk proyek-proyek yang mendesak karena mampu mengintegrasikan tim perancang dan tim pembangunan menjadi satu kesatuan, sehingga memangkas waktu pengerjaan dan meningkatkan efisiensi.
Pendekatan RB memiliki dua pekerjaan mendasar: merancang dokumen pelaksanaan dan melaksanakan konstruksi, dengan seluruh pekerjaan berada dalam satu tanggung jawab terpadu. Meskipun efisien, sistem ini juga rentan terhadap ketidakpastian karena proses perancangan yang berjalan paralel dengan konstruksi, memungkinkan perubahan desain. Dalam konteks Masjid Al-Huda, keputusan untuk mengadopsi RB terbukti krusial dalam memenuhi tenggat waktu yang ketat, yaitu operasionalisasi masjid pada bulan Ramadhan 2023.
Dinamika Pelaksanaan: Faktor Kritis dalam Proyek RB
Keberhasilan proyek RB sangat bergantung pada sinergi dan kemampuan berbagai pihak yang terlibat. Dalam studi kasus Masjid Al-Huda, beberapa faktor signifikan telah diidentifikasi:
1. Kemampuan Tim Perencana/Perancang
Tim perencana/perancang memegang peranan sentral dalam proyek RB, terutama dalam mengakomodasi keinginan pemilik dan memastikan kelancaran pelaksanaan. Di proyek ini, kecepatan tim perancang didorong oleh penerapan konsep kontekstual. Konsep kontekstual mengarahkan perancangan objek agar selaras dengan lingkungan sekitarnya, dalam hal ini, fasade gedung kampus Unmer Malang yang sudah ada. Pendekatan ini secara signifikan mempercepat proses perancangan karena keputusan desain dasar sudah ditentukan oleh konteks yang ada. Tim ini melibatkan perencana, pengawas, drafter berpengalaman, dan mahasiswa praktik, menunjukkan kapasitas yang memadai dalam menyusun Detail Engineering Design (DED) dan dokumen lainnya.
2. Kemampuan Tim Pelaksana (Kontraktor)
Tim konstruksi, yang dalam kasus ini adalah PT. KIM, menunjukkan kapabilitas tinggi dalam menangani permasalahan lapangan dengan sigap. Mereka mampu membuat keputusan cepat berdasarkan koordinasi dengan tim perancang. Untuk mengejar target waktu, tim pelaksana bahkan melakukan penambahan personil dan jam kerja lembur guna mencapai progres yang diharapkan.
3. Kemampuan Manajer Proyek
Manajer proyek berperan sebagai koordinator utama yang memastikan komunikasi berjalan lancar antarpihak terkait. Di proyek Masjid Al-Huda, kemampuan manajer proyek terlihat dari koordinasi mingguan yang intensif dan pengawasan lapangan yang ketat. Koordinasi intensif ini juga mencakup penyediaan gambar DED, penandatanganan kontrak, dan penawaran harga, yang memastikan setiap pihak segera menjalankan perannya.
4. Kemampuan Pemilik (Owner)
YPTM sebagai pemilik tidak hanya memfasilitasi, tetapi juga mengakomodasi dan mengawasi progres proyek secara intensif, bahkan setiap hari. Kemampuan manajerial owner, termasuk penetapan jadwal yang ketat dan ketersediaan personil, sangat mempengaruhi keberhasilan proyek. Pengendalian proyek dilakukan berdasarkan evaluasi progres yang berkelanjutan.
5. Faktor Proses Pengadaan (Procurement)
Proses pengadaan menjadi faktor dominan yang menentukan progres pekerjaan. Di proyek ini, YPTM langsung mendatangkan produsen dan menentukan sub-kontraktor untuk pekerjaan fasade (kusen-kaca, kubah, dinding pelingkup/ACP) dan interior (mihrab, plafon, tangga). Proses penawaran dilakukan melalui presentasi dan diskusi, yang memastikan pemilihan pihak yang memenuhi spesifikasi teknis proyek.
6. Faktor Lingkup Proyek
Perubahan lingkup proyek, baik penambahan maupun pengurangan pekerjaan, dapat sangat memengaruhi kelancaran dan waktu penyelesaian. Pada Masjid Al-Huda, terjadi penambahan pekerjaan berupa perluasan lantai 1 menjadi area parkir yang diubah menjadi ekstensi. Sebaliknya, ada pengurangan pekerjaan karena pembatalan koneksi lantai 2 masjid dengan gedung LPPM. Perubahan spesifikasi teknis, seperti perbedaan persepsi bahan penutup dinding interior dan pola kaligrafi mihrab/fasade, juga terjadi. Meski demikian, tim proyek mampu mengelola perubahan ini dengan adaptasi dan penambahan jam kerja.
Konseptualisasi Desain Kontekstual: Sebuah Pendekatan Cerdas
Salah satu aspek yang paling menarik dari proyek ini adalah penerapan konsep perancangan kontekstual. Konsep ini melibatkan penyesuaian desain objek baru dengan lingkungan sekitarnya, sehingga tercipta keselarasan dan keutuhan. Dalam konteks Masjid Al-Huda, ini berarti desain masjid disesuaikan dengan fasade perulangan gedung rektorat dan lingkungan kampus Unmer Malang yang sudah ada. Pendekatan ini bukan hanya mempercepat proses perancangan—karena keputusan desain utama sudah ditentukan—tetapi juga menciptakan identitas arsitektur yang kohesif bagi seluruh kampus.
Pendekatan kontekstual dalam arsitektur telah banyak dibahas dalam literatur. Misalnya, studi oleh Jefri dan Puspitasari (2019) dan Prasetyo dan Trisnowati (2023) menyoroti pentingnya arsitektur kontekstual dalam menciptakan bangunan yang harmonis dengan lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan desain yang diambil untuk Masjid Al-Huda sejalan dengan prinsip-prinsip arsitektur yang telah terbukti.
Refleksi dan Pembelajaran dari Proyek Design and Build
Keberhasilan Masjid Al-Huda menunjukkan bahwa metode RB sangat efektif untuk proyek dengan tenggat waktu yang ketat dan tingkat urgensi yang tinggi. Indikator keberhasilan utama adalah kemampuan masjid untuk beroperasi pada Bulan Ramadhan 2023, sesuai target yang ditetapkan.
Meskipun sukses, proyek ini juga menyoroti beberapa area yang memerlukan perbaikan. Salah satu tantangan utama adalah potensi tumpang tindih peran antara perencana, pengawas, dan kontraktor dalam sistem RB yang terintegrasi. Meskipun integrasi ini esensial untuk kecepatan, kurangnya definisi peran yang jelas dapat memicu konflik. Oleh karena itu, disarankan untuk mempertegas aturan kerja sama antarperan guna meminimalkan potensi konflik di masa mendatang.
Studi ini juga mengkonfirmasi temuan dari penelitian lain mengenai faktor risiko dalam proyek RB. Alam (2011) dan Tarigan (2018) mengidentifikasi berbagai faktor risiko, termasuk kemampuan manajerial owner, proses pengadaan, kemampuan perencana, kemampuan pelaksana, dan lingkup proyek. Pengalaman proyek Masjid Al-Huda memperkuat relevansi faktor-faktor ini dalam menentukan kesuksesan proyek RB.
Proyek Design and Build di Era Digital: Peluang dan Tantangan Masa Depan
Melihat keberhasilan proyek Masjid Al-Huda, ada peluang besar untuk mengintegrasikan teknologi modern demi optimalisasi lebih lanjut dalam proyek RB. Implementasi Building Information Modeling (BIM) dapat menjadi langkah selanjutnya yang revolusioner. BIM memungkinkan kolaborasi yang lebih erat antara tim desain dan konstruksi, mengurangi kesalahan desain, dan mempercepat proses pembangunan secara keseluruhan. Dengan BIM, perubahan desain dapat divisualisasikan secara real-time, meminimalkan kejutan di lapangan dan meningkatkan efisiensi koordinasi.
Selain itu, manajemen risiko dalam proyek RB dapat ditingkatkan melalui penggunaan analitik data dan kecerdasan buatan (AI). Dengan menganalisis data dari proyek-proyek sebelumnya, AI dapat memprediksi potensi risiko dan memberikan rekomendasi mitigasi yang proaktif, jauh sebelum masalah tersebut muncul. Ini sangat relevan dengan sifat proyek RB yang melibatkan ketidakpastian desain yang berjalan paralel.
Kesimpulan
Proyek Masjid Al-Huda Universitas Merdeka Malang adalah contoh nyata keberhasilan penerapan metode Design and Build dalam menghadapi kendala waktu yang ketat. Kunci keberhasilan terletak pada integrasi tim yang kuat, kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkup proyek, serta dedikasi seluruh pihak yang terlibat. Pendekatan kontekstual dalam desain terbukti efektif dalam mempercepat proses perancangan tanpa mengorbankan kualitas dan keselarasan arsitektur. Meskipun tantangan berupa potensi tumpang tindih peran perlu diatasi dengan definisi kerja sama yang lebih jelas, proyek ini memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana sinergi dan manajemen yang efektif dapat mewujudkan proyek konstruksi yang kompleks dalam waktu yang singkat.
Pengalaman dari Masjid Al-Huda juga menegaskan bahwa faktor kemampuan perencana, kontraktor, manajer proyek, dan pemilik adalah pilar utama keberhasilan proyek RB. Dalam konteks yang lebih luas, proyek ini juga menjadi bukti bahwa adopsi pendekatan inovatif seperti RB, yang didukung oleh kolaborasi intensif, dapat menjadi solusi strategis untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur yang mendesak di masa depan.
Sumber Artikel
Penelitian ini dapat diakses di:
Rizki Prasetiya. (2024). Masjid Al-Huda Universitas Merdeka Malang: Proyek Design and Build. MINTAKAT: Jurnal Arsitektur, 25(1), 1-12.
ISSN (Print): 1411-7193
ISSN (Online): 2654-4059
(Tidak ada tautan langsung atau DOI yang disediakan dalam dokumen, sehingga tidak dapat ditambahkan.)
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 21 Mei 2025
Setiap proyek konstruksi, tak peduli skalanya, dimulai dengan sebuah keputusan fundamental: bagaimana proyek itu akan dilaksanakan? Pilihan metode pengiriman proyek (Project Delivery Method - PDM) adalah salah satu keputusan paling krusial yang harus diambil oleh pemilik proyek, karena ia akan menentukan struktur kontrak, alokasi tanggung jawab, manajemen risiko, dan pada akhirnya, kesuksesan proyek secara keseluruhan. Di kota-kota yang berkembang pesat seperti Surabaya, yang terus menyaksikan geliat pembangunan gedung-gedung baru, pemilihan PDM yang tepat menjadi semakin kompleks namun vital. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Andi, Sugianto, dan Lukas dari Petra Christian University, yang dipublikasikan di Civil Engineering Dimension pada tahun 2024, menawarkan kerangka kerja sistematis untuk membantu pemilik proyek di Surabaya dalam membuat keputusan PDM yang optimal. Studi ini tidak hanya mengidentifikasi kriteria-kriteria kunci, tetapi juga mengusulkan model pengambilan keputusan multi-kriteria yang dapat menjadi panduan praktis.
PDM: Lebih dari Sekadar Kontrak, Ini Strategi Proyek
PDM adalah kerangka kerja kontraktual dan organisasi yang mendefinisikan hubungan antara pemilik proyek, desainer, dan kontraktor. Pilihan PDM yang tepat dapat menjadi fondasi kesuksesan, sementara pilihan yang salah dapat membawa pada pembengkakan biaya, keterlambatan jadwal, sengketa, dan penurunan kualitas. Artikel ini menyoroti bahwa berbagai kriteria harus dipertimbangkan secara matang dalam proses pemilihan PDM, termasuk sifat unik proyek konstruksi, karakteristik spesifik pemilik, dan detail proyek itu sendiri.
Secara umum, ada beberapa PDM utama yang banyak digunakan di industri konstruksi global:
Design-Bid-Build (DBB) atau Single General Contractor: Ini adalah metode tradisional di mana pemilik mengontrak desainer (arsitek/insinyur) dan kontraktor secara terpisah. Desain diselesaikan terlebih dahulu, kemudian dilelang kepada kontraktor. Keuntungannya adalah kejelasan peran dan tanggung jawab, namun seringkali memakan waktu lebih lama dan memiliki risiko perubahan desain yang lebih tinggi selama konstruksi.
Design-Build (DB): Pemilik mengontrak satu entitas tunggal yang bertanggung jawab atas desain dan konstruksi. Keuntungannya adalah efisiensi waktu, satu titik tanggung jawab, dan potensi inovasi. Ini telah banyak dibahas dalam paper sebelumnya, misalnya konteks di Jakarta (Lindawati & Wibowo), Jepang (Suratkoni), dan Sri Lanka (Rathugama).
Construction Management (CM): CM dapat berupa CM-at-Risk (CMAR) di mana CM memegang kontrak konstruksi dan bertanggung jawab atas harga maksimum yang dijamin, atau Agency CM di mana CM bertindak sebagai penasihat pemilik.
Multiple Primes: Pemilik mengontrak beberapa kontraktor utama secara langsung untuk bagian-bagian pekerjaan yang berbeda. Ini memberikan pemilik kontrol lebih besar, tetapi juga meningkatkan beban koordinasi.
Setiap PDM memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, dan tidak ada "satu ukuran untuk semua" yang cocok untuk setiap proyek. Oleh karena itu, penting untuk memiliki pendekatan yang sistematis dalam memilih PDM yang paling sesuai.
Metodologi Penelitian: Membangun Model Keputusan Multi-Kriteria
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kriteria kunci dalam pemilihan PDM untuk proyek bangunan di Surabaya dan kemudian mengusulkan model pengambilan keputusan. Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini, berdasarkan informasi yang diberikan, adalah pendekatan multi-criteria decision-making (MCDM), khususnya menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP). AHP adalah teknik yang kuat untuk menguraikan keputusan kompleks menjadi hierarki elemen yang lebih mudah dikelola, kemudian mengevaluasi setiap elemen berdasarkan perbandingan berpasangan.
Langkah-langkah umum dalam penerapan AHP meliputi:
Mendefinisikan Masalah: Menentukan tujuan utama, yaitu pemilihan PDM yang optimal.
Mengidentifikasi Alternatif PDM: Dalam kasus ini, alternatif yang diteliti adalah Single General Contractor, Multiple Primes, dan Design-Build.
Mengidentifikasi Kriteria Keputusan: Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi pilihan PDM. Peneliti dalam studi ini menilai dan mengevaluasi kriteria-kriteria kunci ini.
Membangun Struktur Hierarki: Mengatur tujuan, kriteria, sub-kriteria (jika ada), dan alternatif dalam struktur hierarki.
Melakukan Perbandingan Berpasangan: Ahli atau responden memberikan penilaian relatif untuk setiap pasangan kriteria dan alternatif berdasarkan skala AHP (misalnya, 1-9, di mana 1 berarti kepentingan yang sama dan 9 berarti sangat lebih penting).
Menghitung Vektor Prioritas: AHP menggunakan matematika matriks untuk menghitung bobot relatif (vektor prioritas) untuk setiap kriteria dan alternatif.
Melakukan Uji Konsistensi: AHP juga menghitung rasio konsistensi untuk memastikan bahwa penilaian responden konsisten secara logis.
Menentukan Peringkat Akhir: Menggabungkan bobot kriteria dengan bobot alternatif untuk mendapatkan peringkat keseluruhan dan merekomendasikan PDM terbaik.
Pengumpulan data dilakukan melalui survei ahli atau kuesioner yang disebarkan kepada para profesional konstruksi di Surabaya. Responden adalah para pemilik proyek atau pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan PDM.
Temuan Kunci: Kriteria Dominan untuk Pemilihan PDM di Surabaya
Meskipun abstrak tidak merinci bobot numerik spesifik dari setiap kriteria, penelitian AHP umumnya akan menghasilkan peringkat prioritas untuk setiap kriteria yang dipertimbangkan. Kriteria-kriteria kunci yang dievaluasi dalam studi ini kemungkinan besar mencakup, tetapi tidak terbatas pada:
Tujuan Proyek: Misalnya, kendala waktu (jadwal agresif), kendala biaya (anggaran ketat), kebutuhan akan inovasi, atau persyaratan kualitas tinggi.
Karakteristik Proyek: Seperti kompleksitas desain, ukuran proyek, jenis bangunan (misalnya, perumahan, komersial, industri), atau kondisi situs.
Karakteristik Pemilik: Seperti pengalaman pemilik dengan metode pengiriman proyek tertentu, kapasitas internal pemilik untuk manajemen proyek, atau keinginan pemilik untuk kontrol terhadap desain dan konstruksi.
Manajemen Risiko: Seberapa besar pemilik ingin mengalihkan risiko kepada kontraktor atau seberapa besar pemilik ingin mempertahankan kontrol risiko.
Fleksibilitas dan Perubahan: Seberapa besar kemungkinan perubahan desain atau lingkup selama proyek.
Berdasarkan studi AHP yang khas, kemungkinan besar penelitian ini menemukan bahwa beberapa kriteria memiliki bobot yang jauh lebih tinggi daripada yang lain. Misalnya, bisa jadi "Kendala Waktu" atau "Manajemen Risiko" adalah kriteria paling dominan yang memengaruhi pilihan PDM oleh pemilik proyek di Surabaya. Ini akan mengindikasikan bahwa pemilik cenderung memilih PDM yang dapat menyelesaikan proyek lebih cepat atau yang dapat mengalihkan risiko secara efektif.
Contoh temuan yang mungkin muncul dari penelitian ini (jika angka spesifik disertakan dalam full paper):
Bobot Kriteria: Jika Kendala Waktu memiliki bobot prioritas 0.35, Manajemen Risiko 0.25, dan Kontrol Desain 0.15, ini menunjukkan bahwa waktu dan risiko adalah perhatian utama bagi pemilik di Surabaya.
Peringkat PDM: Berdasarkan bobot kriteria tersebut, PDM seperti Design-Build (jika kecepatan prioritas) atau Single General Contractor (jika kontrol desain prioritas) akan mendapatkan peringkat lebih tinggi.
Analisis Mendalam: Relevansi Konteks Lokal dan Tantangan Umum
Studi ini memiliki relevansi tinggi karena berfokus pada konteks lokal Surabaya. Setiap kota atau wilayah memiliki dinamika industri konstruksinya sendiri, termasuk budaya bisnis, ketersediaan sumber daya, peraturan lokal, dan tingkat pengalaman profesional.
Dinamika Surabaya: Surabaya, sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, adalah pusat pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Tingginya aktivitas pembangunan gedung komersial, perumahan, dan fasilitas publik di Surabaya kemungkinan besar menuntut metode pengiriman proyek yang efisien dan cepat. Hal ini membuat kriteria seperti "kendala waktu" menjadi sangat relevan.
Karakteristik Pemilik Proyek di Indonesia: Di Indonesia, pemilik proyek mungkin memiliki tingkat pengalaman yang bervariasi dalam mengelola proyek konstruksi. Beberapa mungkin memiliki departemen manajemen proyek yang kuat, sementara yang lain mungkin lebih memilih untuk menyerahkan tanggung jawab kepada pihak eksternal. Model ini dapat membantu pemilik dengan pengalaman terbatas untuk membuat keputusan yang lebih terinformasi.
Perbandingan dengan Penelitian Global: Penelitian serupa tentang pemilihan PDM telah banyak dilakukan di berbagai negara. Misalnya, studi di Amerika Utara seringkali menyoroti faktor-faktor seperti "kolaborasi tim" dan "potensi inovasi" sebagai pendorong pemilihan DB. Studi di Asia Tenggara mungkin menekankan "kemampuan finansial kontraktor" atau "hubungan dengan pemerintah". Studi ini dapat membantu memvalidasi apakah kriteria umum bersifat universal atau ada kekhususan regional.
Sebagai contoh, jika studi Andi dkk. menemukan bahwa "biaya awal yang rendah" adalah kriteria dominan, sementara studi di negara maju lebih menekankan "nilai jangka panjang" atau "keberlanjutan", ini menunjukkan perbedaan prioritas yang menarik.
Peran Pemerintah Daerah: Meskipun studi ini berfokus pada proyek bangunan, pemerintah daerah (misalnya, Pemkot Surabaya) sebagai pemilik proyek juga dapat menggunakan model ini untuk memilih PDM yang tepat untuk proyek infrastruktur lokal mereka, yang juga menghadapi tekanan waktu dan anggaran.
Implikasi Praktis dan Nilai Tambah
Penelitian ini memiliki implikasi praktis yang signifikan bagi industri konstruksi di Surabaya dan sekitarnya:
Panduan untuk Pemilik Proyek: Model yang diusulkan AHP ini dapat menjadi alat bantu yang kuat bagi pemilik proyek untuk membuat keputusan PDM yang lebih objektif dan terstruktur. Ini mengurangi ketergantungan pada intuisi atau kebiasaan semata.
Transparansi dalam Pengambilan Keputusan: Dengan menguraikan kriteria dan bobotnya, proses pemilihan PDM menjadi lebih transparan, yang dapat mengurangi konflik dan meningkatkan akuntabilitas.
Optimalisasi Kinerja Proyek: Dengan memilih PDM yang paling sesuai dengan karakteristik dan tujuan proyek, peluang kesuksesan (tepat waktu, sesuai anggaran, kualitas tinggi) dapat meningkat secara signifikan.
Pendidikan Industri: Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengedukasi para pemangku kepentingan di industri konstruksi (pengembang, kontraktor, konsultan) tentang pentingnya pemilihan PDM yang strategis.
Dasar untuk Penelitian Lanjutan: Model ini dapat menjadi fondasi untuk penelitian lebih lanjut, seperti pengembangan perangkat lunak berbasis AHP untuk pemilihan PDM, atau integrasi dengan faktor keberlanjutan dan risiko dalam model keputusan.
Kritik dan Saran Pengembangan
Meskipun penelitian ini sangat relevan dan metodologinya kuat, ada beberapa area yang dapat menjadi fokus untuk pengembangan lebih lanjut:
Validasi Empiris Lebih Lanjut: Meskipun AHP melibatkan input dari para ahli, validasi model dengan mengaplikasikannya pada sejumlah proyek nyata di Surabaya dan membandingkan hasilnya dengan kinerja proyek aktual akan sangat memperkuat argumen.
Kriteria Keberlanjutan dan Dampak Sosial: Mengingat semakin pentingnya isu keberlanjutan dalam konstruksi, akan sangat berharga jika model ini diperluas untuk memasukkan kriteria terkait dampak lingkungan (CO_2 emisi, penggunaan material daur ulang) dan dampak sosial (partisipasi komunitas, penciptaan lapangan kerja lokal).
Penggunaan Data Kuantitatif Objektif: Selain input subjektif dari para ahli, integrasi data kinerja proyek historis yang objektif (misalnya, cost overrun, schedule delay, data kualitas) dapat meningkatkan akurasi dan objektivitas model.
Dinamika Pasar Kontraktor: Penelitian dapat diperluas untuk mempertimbangkan dinamika pasar kontraktor di Surabaya. Apakah ada banyak kontraktor yang berpengalaman dalam metode DB? Apakah ada persaingan yang sehat di setiap PDM?
Peran Teknologi: Bagaimana peran teknologi, seperti BIM atau digital twins, dapat memengaruhi pilihan PDM? PDM tertentu mungkin lebih cocok untuk proyek-proyek yang sangat mengandalkan teknologi canggih.
Kesimpulan: Menentukan Arah Proyek di Surabaya dan Lebih Jauh
Penelitian oleh Andi, Sugianto, dan Lukas adalah kontribusi penting yang mengisi kesenjangan dalam literatur tentang pemilihan PDM dalam konteks kota berkembang seperti Surabaya. Dengan menyediakan model berbasis AHP, studi ini memberdayakan pemilik proyek untuk membuat keputusan yang lebih cerdas dan terinformasi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan tingkat keberhasilan proyek konstruksi di wilayah tersebut.
Di era proyek yang semakin kompleks dan menuntut, kemampuan untuk memilih PDM yang tepat bukanlah lagi kemewahan, melainkan kebutuhan. Penelitian ini tidak hanya memberikan alat praktis, tetapi juga mendorong pemikiran yang lebih strategis dalam manajemen proyek, membuka jalan menuju industri konstruksi yang lebih efisien, adaptif, dan sukses di Surabaya dan di seluruh Indonesia.
Sumber Artikel:
Andi, Sugianto, S.E., & Lukas, Y.S. (2024). Project Delivery Method Selection Criteria for Building Projects in Surabaya, Indonesia. Civil Engineering Dimension, 26(2), 111-119. Diakses dari https://doi.org/10.9744/ced.26.2.111-119
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025
Pengantar
Industri konstruksi jalan berada dalam pusaran kebutuhan inovasi berkelanjutan. Meskipun pembangunan infrastruktur jalan merupakan kebutuhan utama dalam kebijakan publik, proses adopsi teknologi di sektor ini kerap terhambat oleh kerangka regulasi, konservatisme desain, dan kurangnya insentif. Penelitian Jasper M. Caerteling secara komprehensif menyigi bagaimana pemerintah memainkan beragam peran dalam mendorong (atau justru menghambat) pengembangan teknologi baru dalam proyek infrastruktur jalan. Disertasi ini tidak hanya menganalisis teori, tetapi juga didukung oleh studi kasus dan survei skala besar.
Pergeseran Paradigma Pemerintah: Dari Manajer Proyek Menjadi Enabler Inovasi
Dalam beberapa dekade terakhir, terjadi pergeseran besar dalam peran pemerintah, terutama di negara-negara seperti Belanda dan Amerika Serikat. Pemerintah tidak lagi sekadar sebagai manajer proyek, tetapi sebagai arsitek ekosistem inovasi. Langkah strategis seperti integrasi desain dan konstruksi, outsourcing fungsi teknis, serta kontrak berbasis kinerja telah menciptakan ruang lebih besar bagi perusahaan konstruksi untuk bereksperimen dan berinovasi.
Contoh nyatanya adalah program Roads to the Future di Belanda dan Corporate Master Plan for Research and Deployment of Technology and Innovation oleh FHWA di AS. Program-program ini memungkinkan sektor swasta menguji solusi baru melalui proyek percontohan yang didukung pemerintah.
Ragam Peran Pemerintah dalam Proyek Teknologi Konstruksi
Caerteling mengidentifikasi bahwa pemerintah berperan tidak hanya sebagai pembeli dan pengatur, tetapi juga sebagai sponsor, penyusun sistem, dan pengampu perubahan. Dalam penelitian ini, peran pemerintah dibagi menjadi dua kelompok utama:
1. Supply-side policies:
2. Demand-side policies:
Namun, adanya kebijakan yang terpisah antara sisi permintaan dan penawaran sering kali menciptakan inkonsistensi. Misalnya, ketika pemerintah mempromosikan teknologi tertentu melalui program R&D, namun pengadaan publik tetap netral (technology-blind), maka pasar untuk teknologi baru tidak terbentuk dengan jelas.
Hasil Studi Kasus dan Survei: Dampak Strategis Pemerintah
Studi kualitatif dilakukan terhadap tiga perusahaan konstruksi jalan yang mengembangkan delapan proyek teknologi. Di samping itu, survei kuantitatif melibatkan perusahaan di sektor konstruksi, manufaktur, dan farmasi di AS untuk membandingkan ketergantungan terhadap peran pemerintah.
Temuan utama meliputi:
Kritik dan Tantangan Nyata di Lapangan
Salah satu kritik menarik dari penelitian ini adalah ketidakefisienan dalam penggunaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam proyek jalan. Posisi dominan pemerintah dan model tender kompetitif mengurangi nilai komersial dari paten karena tidak ada jaminan adopsi teknologi tersebut dalam proyek publik.
Selain itu, Caerteling menyoroti bahwa kebijakan subsidi untuk teknologi lama justru bisa menciptakan hambatan masuk bagi inovasi baru. Dengan kata lain, insentif pemerintah kadang mendukung status quo dan merugikan teknologi disruptif.
Nilai Tambah dan Relevansi Praktis
Disertasi ini memberikan kontribusi penting pada literatur dengan:
1. Model Konseptual Baru: Model dampak peran pemerintah terhadap performa proyek teknologi menunjukkan bahwa keberhasilan bukan hanya soal dana, tetapi juga konteks kebijakan dan struktur insentif.
2. Framework Strategi Bisnis: Analisis Caerteling membantu perusahaan memahami bagaimana menyelaraskan proyek R&D dengan strategi korporat dan tuntutan eksternal.
3. Pemahaman Baru tentang Infrastruktur Publik sebagai Sistem Teknis Besar: Pemerintah tidak sekadar pembeli, tetapi pencipta pasar untuk teknologi baru. Dalam sektor seperti energi atau telekomunikasi yang telah diprivatisasi, peran ini semakin berkurang. Namun di sektor jalan, pemerintah tetap menjadi sistem builder.
Studi Kasus Nyata dan Aplikasi Global
Contoh global dari peran aktif pemerintah dalam pengembangan teknologi jalan dapat dilihat di proyek SMART Motorways di Inggris yang mengandalkan teknologi pengaturan lalu lintas berbasis sensor dan AI. Di Jepang, ITS (Intelligent Transport Systems) menjadi prioritas nasional dalam strategi transportasi cerdas. Dalam konteks Indonesia, peluang ini terbuka lebar terutama dengan agenda transformasi digital dan proyek infrastruktur berskala besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN).
Rekomendasi Kebijakan dan Manajerial
Dari hasil penelitian, Caerteling menyarankan:
Kesimpulan
Disertasi ini memberikan gambaran tajam tentang bagaimana peran pemerintah sebagai pengatur, pembeli, dan fasilitator dapat mendorong—atau menghambat—adopsi teknologi di sektor konstruksi jalan. Bagi pemerintah, kunci keberhasilan bukan hanya pada alokasi anggaran, tetapi pada desain kebijakan yang terkoordinasi dan penciptaan iklim inovasi yang sehat. Sementara bagi pelaku industri, memahami dinamika ini menjadi keunggulan strategis dalam memenangkan proyek dan memimpin inovasi.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses melalui Delft University of Technology dengan judul lengkap “Technology Development in Road Construction: The Role of Government in Technology Development and Commercialization” oleh Jasper M. Caerteling. Link resmi: https://repository.tudelft.nl/islandora/object/uuid:1883a257-739e-4c7d-9e27-18334ed41862
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Kegagalan yang Berulang dan Jarang Dievaluasi Secara Menyeluruh
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia mengalami lonjakan pembangunan infrastruktur, terutama proyek gedung publik yang didanai dari APBN/APBD. Meski kuantitas proyek meningkat, kualitasnya masih sering dipertanyakan. Tidak sedikit proyek mengalami kegagalan, baik dalam tahap pelaksanaan maupun pasca serah terima. Penelitian oleh Yustinus Eka Wiyana ini mengupas secara tajam apa saja faktor teknis yang secara langsung menyebabkan kegagalan konstruksi dan bangunan, khususnya dari proyek gedung pemerintahan di Jawa Tengah.
Berbekal studi lapangan pada 34 proyek antara tahun 1996 hingga 2008, artikel ini bukan hanya menjelaskan fakta, tetapi juga menyajikan model kuantitatif dan kualitatif untuk menganalisis hubungan antara variabel waktu, biaya, jenis kontrak, kualitas, dan kegagalan elemen bangunan.
Metode Penelitian: Pendekatan Ganda Kuantitatif dan Kualitatif
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama. Pertama, model kuantitatif dengan metode Partial Least Square (PLS) untuk mengukur korelasi antar variabel. Kedua, model kualitatif yang digunakan untuk menangkap persepsi terhadap kualitas pengawasan pekerjaan, baik dari sisi internal maupun eksternal supervisi.
Sumber data terdiri dari dokumen kontrak proyek, investigasi teknis, serta kuesioner kepada 31 responden profesional yang terlibat langsung dalam proyek bangunan publik.
Temuan Utama: Struktur Bangunan Paling Rentan Gagal
Berdasarkan pengamatan terhadap proyek-proyek yang dianalisis, elemen struktur bangunan merupakan bagian paling sering mengalami kegagalan, dengan deviasi rata-rata mencapai 4,36% dari nilai kontrak. Selanjutnya disusul oleh elemen atap (2,53%), pondasi (0,15%), utilitas (0,12%), dan pekerjaan finishing (0,07%).
Temuan ini membuktikan bahwa permasalahan utama bukan terjadi di akhir, seperti pengecatan atau instalasi listrik, melainkan pada fondasi kekuatan utama dari bangunan itu sendiri. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kualitas pelaksanaan dari tahap paling awal.
Analisis Tambahan: Kontrak Murah, Mutu Hancur
Salah satu akar kegagalan yang paling mencolok adalah banyaknya proyek yang dimenangkan dengan harga penawaran di bawah 70% dari nilai pagu anggaran. Situasi ini mendorong kontraktor melakukan efisiensi berlebihan, mengorbankan mutu material, metode kerja, bahkan mengurangi volume pekerjaan secara diam-diam.
Studi juga menemukan bahwa proyek-proyek semacam ini umumnya minim dokumen pendukung untuk kontrol mutu. Ketiadaan gambar kerja rinci, tidak adanya Rencana Mutu Konstruksi (RMK), serta absennya briefing teknis rutin menjadi pola umum di proyek bermasalah.
Kasus Lapangan: Ketika “Asal Jadi” Jadi Standar Baru
Sebuah proyek pembangunan gedung sekolah di Jawa Tengah yang didanai APBD tahun 2006 mengalami keretakan struktur hanya dalam waktu satu semester. Penelusuran menunjukkan bahwa nilai kontraknya hanya 68% dari pagu dan jenis kontrak yang digunakan adalah lumpsum. Tim pelaksana memotong tinggi kolom dan menggunakan beton berkualitas rendah untuk mengejar efisiensi. Tidak ada supervisi lapangan harian dan pengawas dari konsultan hanya datang sekali dalam seminggu.
Dalam kasus lain, bangunan Puskesmas baru mengalami kebocoran parah di bagian atap saat musim hujan pertama setelah proyek rampung. Setelah diperiksa, ternyata kemiringan atap tidak sesuai gambar rencana, dan rangka baja ringan yang digunakan tidak memenuhi standar kekuatan minimum. Lagi-lagi, harga penawaran proyek jauh di bawah standar dan tidak ada kontrol mutu selama pelaksanaan.
Korelasi Variabel: Apa yang Sebenarnya Menyebabkan Kegagalan?
Dari hasil simulasi model SEM (Structural Equation Modeling), diperoleh kesimpulan penting:
1. Semakin pendek waktu pelaksanaan, semakin besar potensi kegagalan. Korelasi negatif sebesar -0,5289 antara durasi dan kegagalan menunjukkan bahwa percepatan jadwal tanpa penguatan manajemen teknis hanya akan memperbesar risiko rusaknya bangunan.
2. Jenis kontrak berpengaruh terhadap manajemen waktu dan kualitas. Kontrak dengan sistem swakelola cenderung lebih fleksibel dalam pengendalian mutu, sedangkan kontrak lumpsum rentan terhadap manipulasi karena fokus pada harga tetap.
3. Biaya rendah berbanding lurus dengan kualitas buruk. Penurunan biaya proyek (dengan memaksakan penawaran rendah) menghasilkan korelasi negatif terhadap kualitas sebesar -0,2081.
Dari sisi model kualitatif, ditemukan bahwa pengawasan internal dan eksternal memiliki kontribusi langsung terhadap kualitas hasil pekerjaan. Internal supervisi mencakup pelatihan, pengalaman, pendidikan, sertifikasi, hingga nilai proyek, sedangkan eksternal supervisi meliputi evaluasi mingguan, cek spesifikasi, briefing pagi, dan pengawasan harian.
Kritik dan Opini: Masalah Lama, Belum Ada Perubahan Signifikan
Meski penelitian ini dilakukan sebelum 2012, kenyataannya banyak proyek pemerintah hingga kini masih mengalami kegagalan teknis yang serupa. Masalah seperti “penawaran terendah jadi pemenang” masih dijadikan tolok ukur utama dalam proses lelang, tanpa menilai kemampuan teknis dan reputasi penyedia jasa secara menyeluruh.
Penerapan sistem supervisi juga belum maksimal. Banyak pengawas di lapangan yang terbatas jumlahnya, tidak kompeten, atau bahkan terafiliasi dengan kontraktor, sehingga tidak independen. Padahal, penelitian ini secara tegas menunjukkan bahwa tanpa supervisi yang kuat, kualitas tidak akan pernah bisa dikendalikan.
Implikasi Praktis: Langkah Nyata yang Bisa Dilakukan
Untuk menghindari kegagalan teknis pada proyek-proyek bangunan ke depan, berikut rekomendasi berdasarkan hasil penelitian ini:
1. Reformasi Sistem Lelang
Hapus penilaian berdasarkan harga terendah semata. Terapkan sistem evaluasi berimbang (quality-cost based selection) yang memperhitungkan kualitas teknis, pengalaman, dan kompetensi SDM kontraktor.
2. Wajibkan Supervisi Independen
Pastikan pengawas lapangan berasal dari pihak yang independen dan memiliki rekam jejak pengawasan yang baik. Lakukan audit berkala terhadap laporan supervisi.
3. Atur Batas Waktu yang Rasional
Tentukan durasi proyek berdasarkan beban kerja realistis, bukan kepentingan politik atau ambisi seremonial. Proyek cepat selesai tetapi penuh cacat hanya akan membuang anggaran publik.
4. Penguatan Kapasitas Pelaksana
Wajibkan pelatihan dan sertifikasi bagi semua tenaga kerja teknis yang terlibat dalam proyek bangunan publik, terutama yang menyangkut struktur, pondasi, dan atap.
Penutup: Pembangunan yang Bermutu Dimulai dari Komitmen Teknis
Artikel ini dengan gamblang menunjukkan bahwa kegagalan konstruksi bukan hanya disebabkan oleh faktor luar seperti cuaca atau bencana, tetapi lebih sering karena kesalahan dalam perencanaan teknis, pengawasan yang lemah, dan keinginan menekan harga secara berlebihan. Bangunan yang gagal bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga membahayakan keselamatan jiwa dan menurunkan kepercayaan publik terhadap kualitas pembangunan.
Reformasi sistem pengadaan dan supervisi harus menjadi prioritas jika Indonesia ingin keluar dari lingkaran kegagalan proyek infrastruktur. Pembangunan yang bermutu bukan soal cepat atau murah, tapi soal tepat, kuat, dan berkelanjutan.
Sumber Resmi:
Wiyana, Y. E. (2012). Analisis Kegagalan Konstruksi dan Bangunan dari Perspektif Faktor Teknis. Jurnal Wahana Teknik Sipil, Vol. 17 No. 2.
Diterbitkan oleh Politeknik Negeri Semarang.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025
Mengapa Strategi Bisnis Jadi Kunci di Industri Konstruksi?
Di tengah pertumbuhan pasar konstruksi Indonesia yang pesat — dengan proyeksi mencapai USD 379,41 miliar pada 2028 — tidak semua perusahaan mampu merasakan dampaknya. PT Asia Civil Indonesia (ACI), salah satu pemain lokal di industri ini, menghadapi kenyataan pahit: pertumbuhan industri tidak otomatis berbanding lurus dengan performa perusahaan.
Melalui pendekatan kualitatif berbasis wawancara mendalam, penelitian ini berupaya menggali tantangan riil dan merumuskan strategi bisnis yang konkret dan aplikatif bagi PT ACI. Studi ini menjadi penting karena menggabungkan teori manajemen strategis dengan praktik lapangan dalam industri konstruksi yang kompleks dan kompetitif.
Potret Industri Konstruksi Indonesia: Peluang dan Realitas
Fakta dan Angka
Pertumbuhan ini ditopang oleh berbagai proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Negara (IKN), tol, LRT, dan fasilitas digital seperti pusat data. Namun, dominasi pasar belum serta merta menyentuh seluruh pemain industri. Banyak perusahaan — termasuk PT ACI — menghadapi stagnasi karena kurangnya strategi bisnis adaptif.
Masalah yang Dihadapi PT ACI
Beberapa hambatan utama yang ditemukan:
Penelitian ini merumuskan strategi untuk mengubah tantangan-tantangan tersebut menjadi peluang pertumbuhan jangka panjang. Caranya: melalui integrasi model bisnis baru, inovasi teknologi, dan optimalisasi jaringan (networking).
Pendekatan Teoritis: TOWS dan Strategy Diamond
TOWS Analysis
TOWS digunakan untuk menyusun strategi berdasarkan empat kategori:
Misalnya:
PT ACI yang memiliki kekuatan teknis dan finansial bisa menggunakan itu untuk masuk ke proyek infrastruktur pemerintah (SO).
Kekurangan manajemen proyek bisa diatasi dengan investasi pada software manajemen modern (WO).
Strategy Diamond
Model ini menggarisbawahi lima elemen strategis:
1. Arenas – Di mana perusahaan akan bersaing (residensial, komersial, infrastruktur).
2. Vehicles – Bagaimana cara bersaing (kemitraan, aliansi, investasi teknologi).
3. Differentiators – Keunikan perusahaan (kualitas layanan, sertifikasi, teknologi).
4. Staging – Urutan pelaksanaan strategi (jangka pendek, menengah, panjang).
5. Economic Logic – Bagaimana strategi menghasilkan laba (efisiensi biaya, volume proyek).
Model ini membantu PT ACI untuk menyusun rencana jangka panjang secara terstruktur, dari penguatan internal hingga penetrasi pasar baru.
Solusi dan Strategi: Langkah Konkret yang Direkomendasikan
1. Optimalisasi Manajemen Proyek Melalui Teknologi
Penggunaan Building Information Modeling (BIM) untuk efisiensi desain, estimasi biaya, dan koordinasi lintas disiplin.
Implementasi software manajemen proyek terintegrasi untuk monitoring real-time, dokumentasi, dan compliance otomatis.
Analisis tambahan: BIM bukan hanya alat visualisasi 3D, tetapi juga alat strategis untuk mengurangi rework dan meningkatkan akurasi biaya. Di negara maju, BIM sudah menjadi syarat tender. Indonesia juga menuju ke arah yang sama, dan PT ACI wajib mengikuti tren ini untuk tetap relevan.
2. Pembentukan Tim Ahli Multidisiplin
Merekrut atau melatih tenaga profesional di bidang teknik sipil, MEP, dan estimasi biaya.
Tujuannya: meningkatkan kualitas tender dan daya saing penawaran.
Catatan penting: Dalam kompetisi tender, kualitas proposal teknis sering kali lebih menentukan daripada sekadar harga. Tim internal yang andal menjadi investasi jangka panjang untuk reputasi dan kepercayaan pasar.
3. Diversifikasi Lini Proyek
Tidak hanya menggarap sektor infrastruktur, tapi juga merambah proyek perumahan, komersial, dan pusat data.
Langkah ini mengurangi risiko terhadap fluktuasi pasar sektor tertentu.
Konteks industri: Tingginya permintaan untuk hunian vertikal di Jakarta dan pusat data di wilayah industri seperti Bekasi dan Karawang adalah peluang yang bisa dioptimalkan.
4. Ekspansi Geografis dan Jejaring
Membangun koneksi di luar Jawa, terutama kawasan pertumbuhan seperti Kalimantan Timur (IKN), Sulawesi, dan Papua.
Aktif dalam forum bisnis, asosiasi konstruksi, dan kerja sama BUMN/swasta besar.
Insight tambahan: Networking bukan sekadar hubungan sosial — ia adalah modal strategis dalam mendapatkan informasi tender, kemitraan, dan akses logistik. PT ACI disarankan untuk membangun hubungan proaktif, termasuk dengan pemerintah daerah.
5. Transformasi Model Bisnis
Beralih dari model reaktif menjadi model proaktif berbasis strategi digital.
Mengintegrasikan CRM (Customer Relationship Management) dan digital marketing untuk menjangkau pasar baru dan klien korporat.
Relevansi tren: Era digital mendorong konstruksi menuju platform-based services. Klien semakin memilih kontraktor yang transparan, cepat respons, dan terhubung secara digital.
Studi Kasus Implementasi Strategi
Tantangan: PT ACI sering kalah tender meskipun memiliki portofolio bagus.
Analisis: Proposal kurang kompetitif dari sisi struktur biaya dan visualisasi teknis.
Nilai Tambah dan Perbandingan dengan Studi Lain
Penelitian ini memberikan kontribusi praktis yang jarang dimunculkan dalam riset konstruksi: integrasi antara strategi bisnis dan praktik manajemen proyek di perusahaan menengah.
Jika dibandingkan dengan studi sebelumnya seperti oleh Ulukan (2020) atau Melkonyan dkk. (2020), pendekatan Jeysen Wenas lebih aplikatif karena tidak hanya berhenti di tingkat teori tetapi menyusun rencana implementasi terukur yang cocok untuk pasar Indonesia.
Kritik terhadap Penelitian
Namun, pendekatan wawancara mendalam memberikan kekuatan dari sisi insight bisnis yang sering kali luput dalam studi kuantitatif.
Kesimpulan: Strategi adalah Jalan, Bukan Sekadar Tujuan
Penelitian ini membuktikan bahwa pertumbuhan industri tidak otomatis berdampak pada semua pemain — kecuali mereka yang siap beradaptasi dan menyusun strategi. PT ACI, melalui pendekatan yang sistematis, bisa mentransformasi dirinya dari pemain menengah menjadi pemain utama dalam pasar konstruksi nasional.
Dengan menggabungkan teknologi, pengembangan SDM, ekspansi pasar, dan reformasi manajemen proyek, PT ACI dapat menavigasi tantangan industri konstruksi yang dinamis sekaligus menangkap peluang pertumbuhan jangka panjang.
Sumber Utama
Wenas, J., & Sunitiyoso, Y. (2024). Developing Business Strategies to Grow the Business of PT Asia Civil Indonesia. International Journal of Current Science Research and Review, 7(9), 7099–7107. DOI: 10.47191/ijcsrr/V7-i9-27