Merencanakan tarif jalan yang adil: Apakah mungkin?

Dipublikasikan oleh Gimnastiyar Luthfi aji

21 Juni 2024, 09.35

Sumber: itdp-indonesia.org

Pada bulan Desember 2022, sebuah persimpangan jalan tol baru dibuka di pinggiran selatan Jakarta, yaitu persimpangan Krukut, yang menghubungkan Jalan Tol Cinere - Jagorawi dan Jalan Tol Antasari - Depok1. Persimpangan ini menciptakan alternatif baru bagi para komuter dari Depok dan Bogor menuju Jakarta untuk menghindari jalur yang sudah macet di Jalan Tol Jagorawi sepanjang Cibubur hingga Cawang.

Setelah pembukaannya, beberapa pengemudi menyatakan bahwa jalur baru ini tidak secara signifikan meningkatkan waktu tempuh dibandingkan dengan perjalanan komuter yang biasa dilakukan melalui Jalan Tol Jagorawi2,3. Selain itu, beberapa pengemudi yang menggunakan Jalan Tol Antasari-Depok sebelum pengoperasian simpang susun baru mengalami kondisi lalu lintas yang lebih buruk4. Meskipun pemerintah telah memutuskan untuk membuka gerbang di Gerbang Tol Cilandak untuk pengemudi yang menuju ke Antasari5, kemacetan lalu lintas masih belum dapat dicegah.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Mengapa para komuter tidak mengalami peningkatan setelah jalur baru dibuka?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat ditemukan dalam fenomena "Tragedi Kesamaan "6 . Kita semua ingin pergi ke tempat yang kita tuju dengan cepat dan nyaman; bagi banyak dari kita, itu berarti menggunakan mobil atau sepeda motor. Namun, ketika semua orang berpikir dan melakukan hal yang sama, yaitu menggunakan kendaraan bermotor pribadi, dan semua orang menggunakan sumber daya bersama, dalam hal ini jalan raya, maka akan mengakibatkan penggunaan kendaraan bermotor pribadi yang berlebihan, yang menyebabkan kemacetan, peningkatan polusi udara, dan risiko terhadap kesehatan serta keselamatan pengguna jalan lainnya.

Kemacetan sering dianggap sebagai biaya tambahan dalam hal waktu dan bahan bakar yang dihabiskan, dan risiko kesehatan merupakan eksternalitas7 yang tidak diperhitungkan oleh kota-kota yang tidak menerapkan sistem transportasi perkotaan yang berkelanjutan. Konsekuensi eksternal dari kemacetan mungkin tidak dirasakan secara langsung oleh mereka yang mengemudikan kendaraan. Namun, pengguna jalan lainnya akan merasakannya - termasuk kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, dan masyarakat miskin, yang sering terpapar polusi knalpot di pinggir jalan. Studi terbaru menunjukkan polusi udara menyebabkan lebih dari 10.000 kematian, 5.000 rawat inap, dan 7.000 anak-anak mengalami berbagai masalah kesehatan setiap tahunnya di Jakarta, dengan biaya triliunan rupiah.

Menghitung biaya eksternal menggunakan road pricing

Lalu, apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasinya? Salah satu solusinya adalah dengan membuat kota lebih sadar akan biaya eksternal dari penggunaan kendaraan bermotor pribadi yang berlebihan, seperti emisi dan risiko kesehatan. Di sinilah road pricing berperan. Sebagai salah satu contoh dari "kebijakan pendorong" dalam strategi Manajemen Permintaan Transportasi (TDM), road pricing adalah sebuah kebijakan ekonomi yang menambahkan biaya eksternal dari penggunaan kendaraan pribadi ke dalam biaya transportasi secara keseluruhan, sehingga menjadi pilihan yang kurang menarik. Tujuannya adalah untuk memberikan insentif kepada pengendara kendaraan bermotor untuk memilih moda transportasi alternatif, yang dapat mengurangi kemacetan dan polusi.

Pendekatan ini telah berhasil diterapkan di Singapura, Stockholm, Gothenburg, London, dan Milan. Membebankan biaya kepada pengendara kendaraan bermotor untuk menggunakan jalan tertentu atau memasuki zona tertentu akan mendorong mereka untuk berpikir dua kali untuk menggunakan mobil dan motor. Hal ini akan mengurangi jumlah kendaraan bermotor di jalan, mengurangi kemacetan, dan menciptakan sistem transportasi yang lebih lancar dan sehat bagi semua orang.


Tabel 1. Dampak dari kebijakan jalan berbayar di Singapura, London, Stockholm, Milan, dan Gothenburg
*ALS: Skema Perizinan Area, adalah kebijakan pembatasan kendaraan di area CBD dimana kendaraan yang memasuki area tersebut diwajibkan untuk memiliki izin tambahan dengan membayar biaya tertentu. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang mendahului ERP pada tahun 1998.

Namun demikian, kebijakan road pricing sering kali mendapat penolakan dari masyarakat, khususnya pengguna mobil dan sepeda motor. Pada kebanyakan kasus, penolakan ini terutama disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan konsep biaya eksternal dan persepsi bahwa jalan raya adalah barang publik. Sebuah studi oleh Gu dkk. (2018) mengidentifikasi empat alasan mengapa masyarakat menolak skema jalan berbayar8:

Road pricing secara langsung meningkatkan biaya transportasi bagi pengendara kendaraan bermotor
Road pricing dianggap sebagai bentuk pengucilan sosial, karena membatasi akses ke area atau layanan tertentu berdasarkan kemampuan membayar, sehingga lebih berdampak pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi
Adanya kekhawatiran mengenai privasi dan kompleksitas sistem penetapan harga, termasuk kekhawatiran mengenai pengumpulan data dan pengawasan yang diperlukan untuk menerapkan kebijakan kemacetan dan kesulitan untuk memahami dan mematuhi skema penetapan harga yang kompleks
Ketidakpastian tentang bagaimana pendapatan dari road pricing akan digunakan
Persepsi Keadilan dan Kemauan Politik

Isu-isu di atas menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat terhadap skema road pricing terkait erat dengan persepsi kesetaraan dan keadilan sosial. Untuk meningkatkan penerimaan, penting untuk memahami manfaat dari road pricing. Perencanaan jalan berbayar harus mempertimbangkan analisis dampak sosial-ekonomi. Idealnya, kebijakan road pricing mengikuti pendekatan biaya sosial marjinal, namun hal ini sulit untuk diimplementasikan karena kompleksitasnya. Oleh karena itu, metode lain yang menjunjung tinggi prinsip keadilan namun praktis biasanya digunakan. Proses politik juga mempengaruhi pengembangan kebijakan road pricing. Perencanaan harus menyelaraskan manfaat sosial dengan pertimbangan politik.

Langkah pertama adalah menetapkan tujuan konkrit dari kebijakan road pricing. Diskusi antara pembuat kebijakan dan tim teknis harus dilakukan untuk menentukan fokus utama, seperti mengatasi kemacetan atau polusi udara. Tim teknis harus menilai validitas dari isu-isu tersebut.

Selanjutnya, rancang skenario kebijakan road pricing, termasuk lokasi, tarif, dan jenis kendaraan yang terkena biaya. Area tersebut harus mempertimbangkan moda alternatif dan batas-batas yang ada. Penetapan tarif juga harus dioptimalkan, misalnya, tarif jalan harus lebih tinggi dari angkutan umum untuk mendorong perpindahan moda.

Analisis dampak sosial-ekonomi sangat penting dalam merancang kebijakan yang adil. Hal ini termasuk memperkirakan dampak lalu lintas, emisi gas rumah kaca, dan distribusi manfaat di berbagai kelompok sosial-ekonomi.

Setelah skenario yang sesuai diidentifikasi, pendapatan dari road pricing harus dialokasikan untuk meningkatkan layanan transportasi umum. Hal ini akan meningkatkan aksesibilitas dan dukungan publik.

Road pricing adalah salah satu dari banyak solusi untuk masalah mobilitas perkotaan. Kebijakan jalan berbayar yang berhasil harus berfokus pada keadilan, kesetaraan, dan investasi pada transportasi umum yang berkualitas tinggi.

1Uji Coba Fungsional Tol Cijago Seksi 3A Kukusan-Krukut, Gratis Selama Nataru. Republika (Desember, 2022).

2Potret Jalur Neraka ke Jakarta. Kompas (Februari, 2023).

3Macet Jakarta Pagi Ini Sudah Lebih Buruk dari 2019. DetikOto (Februari, 2023).

4Macet Panjang di Tol Desari, Tersendat di Gerbang Pembayaran. Kumparan (Januari, 2023). 

5Tol Depok-Antasari Pakai Sistem Terbuka, Cek Tarif Terbarunya! Bisnis (Maret, 2023). 

6Tragedi The Commons: Apa Itu dan 5 Contohnya. Harvard Business School Online.

7Eksternalitas: Apa Artinya dalam Ekonomi, dengan Contoh Positif dan Negatif. Investopedia.

8Studi Baru: Aksi Udara Bersih di Jakarta Dapat Melindungi 10.000 Jiwa dan Menghemat Miliaran Pengeluaran Kesehatan. Strategi Vital (Februari, 2023).
 

Disadur dari:  itdp-indonesia.org