Mengenal Keanekaragaman Hayati atau Biodiversitas (Ancaman hingga Batas Analitikal)

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi

09 Juni 2024, 13.35

Sumber: pinterest

Ancaman

Pada tahun 2006, banyak spesies secara resmi diklasifikasikan sebagai spesies langka atau genting atau terancam; para ilmuwan juga memperkirakan bahwa jutaan spesies lainnya memiliki risiko yang belum diakui secara formal. Sekitar 40 persen dari 40.177 spesies yang dinilai menggunakan kriteria Daftar Merah IUCN sekarang terdaftar sebagai terancam punah, totalnya yaitu 16.119.

Jared Diamond menggambarkan "Kuartet Jahat", yaitu pengrusakan habitat, pemburuan berlebihan, spesies pendatang, dan kepunahan sekunder. Edward O. Wilson lebih memilih akronim HIPPO, yang merujuk pada pengrusakan habitat (habitat destruction), spesies invasif (invasive species), polusi, overpopulasi manusia, dan panen berlebih (over-harvesting) Klasifikasi yang paling otoritatif yang digunakan saat ini adalah Klasifikasi Ancaman langsung IUCN (versi 2.0 dirilis pada 2016) yang telah diadopsi oleh organisasi konservasi internasional utama seperti The Nature Conservancy AS, World Wildlife Fund, Conservation International, dan BirdLife International.

Ada 11 ancaman langsung utama terhadap konservasi, yaitu:

  1. Pengembangan tempat tinggal dan area komersial (area perumahan dan daerah perkotaan, area komersial dan industri, serta area pariwisata dan rekreasi).
  2. Kegiatan pertanian dan akuakultur.
  3. Pertambangan dan produksi energi.
  4. Transportasi dan layanan koridor.
  5. Penggunaan sumber daya hayati (perburuan, pembunuhan, penebangan, dan kegiatan perikanan).
  6. Intrusi dan aktivitas manusia yang mengubah, menghancurkan, atau mengganggu habitat dan spesies dari kecenderungannya menunjukkan perilaku alami (kegiatan rekreasional, perang, dan aktivitas ilegal).
  7. Modifikasi sistem alami (pengelolaan air, penciptaan api, dan proyek lainnya seperti reklamasi).
  8. Spesies, patogen, dan gen yang invasif dan bermasalah.
  9. Pencemaran.
  10. Kejadian geologis yang merusak (gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor).
  11. Perubahan iklim.
  • Pengrusakan habitat

Kerusakan habitat berperan penting dalam kepunahan, terutama terkait dengan kerusakan hutan tropis. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap hilangnya habitat meliputi overkonsumsi, overpopulasi, berubahnya penggunaan tanah, penggundulan hutan, pencemaran (pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah), dan pemanasan global atau perubahan iklim.

Ukuran habitat dan jumlah spesies saling berkaitan secara sistematis. Spesies yang fisiknya lebih besar dan spesies yang tinggal di lintang rendah atau di hutan atau lautan lebih sensitif terhadap pengurangan area habitat. Konversi ke ekosistem standar yang "sederhana" (misalnya pembuatan monokultur setelah penggundulan hutan) secara efektif menghancurkan habitat beragam spesies yang telah menempati lokasi tersebut sebelum konversi. Bahkan bentuk-bentuk pertanian yang paling sederhana pun memengaruhi keanekaragaman, melalui pembersihan atau pengeringan lahan, mencegah gulma dan hama, serta hanya mendorong sejumlah spesies tumbuhan dan hewan tertentu secara terbatas. Di sejumlah negara, hak milik atau lemahnya penegakan hukum dikaitkan dengan penggundulan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Sebuah studi pada 2007 yang dilakukan oleh Yayasan Sains Nasional menemukan bahwa keanekaragaman hayati dan keanekaragaman genetik bersifat kodependen, artinya keanekaragaman di antara spesies membutuhkan keanekaragaman dalam satu spesies, dan sebaliknya. "Jika salah satu tipe dihapus dari sistem, siklusnya dapat rusak dan komunitas menjadi didominasi oleh satu spesies."Saat ini, ekosistem yang paling terancam merupakan ekosistem air tawar, menurut Penilaian Ekosistem Milenium pada 2005, yang dikonfirmasi oleh "Penilaian Keragaman Hewan Air Tawar", yang diselenggarakan oleh platform keanekaragaman hayati, dan Institut Prancis, Institut de recherche pour le développement.

Kepunahan bersama adalah salah satu bentuk kerusakan habitat. Hal ini terjadi ketika kepunahan atau penurunan pada satu spesies menyertai proses serupa pada spesies lainnya, seperti pada tumbuhan dan kumbang.

Sebuah laporan pada 2019 mengungkapkan bahwa lebah dan serangga penyerbuk lainnya telah dihilangkan dari hampir seperempat habitat mereka di Britania Raya. Kecelakaan populasi telah terjadi sejak 1980-an dan memengaruhi keanekaragaman hayati. Peningkatan pertanian industri dan penggunaan pestisida, yang dikombinasikan dengan penyakit, spesies invasif, dan perubahan iklim, mengancam masa depan serangga ini dan pertanian yang mereka dukung.

  • Spesies pendatang dan invasif

Penghalang seperti sungai, laut, samudra, gunung, dan gurun yang besar mendorong keanekaragaman dengan memungkinkan evolusi independen di kedua sisi penghalang tersebut, melalui proses spesiasi alopatrik. Istilah spesies invasif diberikan pada spesies yang menembus penghalang alami yang biasanya membuat mereka terkekang. Tanpa adanya penghalang, spesies tersebut menempati wilayah baru, sering kali menggantikan spesies asli dengan menduduki relung mereka, atau dengan menggunakan sumber daya yang biasanya akan mempertahankan kehidupan spesies asli.

Jumlah spesies invasif telah meningkat setidaknya sejak awal 1900-an. Berbagai spesies semakin banyak dipindahkan oleh manusia (sengaja dan tidak sengaja). Dalam beberapa kasus, spesies yang berpindah mengakibatkan perubahan drastis dan kerusakan pada habitat baru mereka (misalnya kerang zebra dan kumbang Agrilus planipennis di wilayah Danau-Danau Besar dan ikan singa atau lepu di sepanjang pantai Atlantik Amerika Utara). Beberapa bukti menunjukkan bahwa spesies invasif lebih kompetitif di habitat barunya mereka karena mereka lebih sedikit mengalami gangguan oleh patogen. Studi lainnya melaporkan bukti yang membingungkan yang kadang-kadang menunjukkan bahwa komunitas yang kaya spesies memiliki banyak spesies asli dan eksotik secara bersamaan, sementara beberapa studi mengatakan bahwa ekosistem yang beragam lebih tangguh dan tahan terhadap tumbuhan dan hewan invasif. Pertanyaan pentingnya adalah, "Apakah spesies invasif menyebabkan kepunahan?" Banyak penelitian mengutip dampak spesies invasif pada spesies asli, tetapi tidak mengakibatkan kepunahan. Spesies invasif tampaknya meningkatkan keanekaragaman lokal (yaitu keanekaragaman alfa), yang mengurangi pergantian keanekaragaman (yaitu keanekaragaman beta).

Keanekaragaman gama secara keseluruhan dapat diturunkan karena spesies akan punah akibat sebab lainnya. Meskipun demikian, bahkan beberapa pendatang yang paling berbahaya (misalnya penyakit elm Belanda, kumbang penggerek abu zamrud, kumbang penggerek kastanye di Amerika Utara) tidak menyebabkan spesies inangnya punah. Kepunahan lokal, penurunan populasi, dan homogenisasi keanekaragaman hayati regional jauh lebih umum ditemukan. Aktivitas manusia sering kali menjadi penyebab spesies invasif melintasi penghalang mereka, yang memindahkan mereka untuk dimakan atau untuk keperluan lainnya. Oleh karena itu, aktivitas manusia memungkinkan spesies untuk bermigrasi ke daerah baru (dan dengan demikian menjadi invasif) terjadi pada skala waktu yang jauh lebih pendek dibandingkan waktu alami yang diperlukan bagi suatu spesies untuk memperluas jangkauannya.

Tidak semua spesies pendatang bersifat invasif, atau semua spesies invasif tidak sengaja didatangkan. Dalam kasus-kasus seperti kerang zebra, invasi saluran air AS terjadi tanpa disengaja. Dalam kasus lain, seperti garangan di Hawaii, perpindahan dilakukan dengan sengaja tetapi tidak efektif (tikus yang nokturnal tidak rentan terhadap garangan yang diurnal). Dalam kasus lain, seperti kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia, perpindahan menghasilkan manfaat ekonomi yang substansial, tetapi manfaat tersebut disertai dengan konsekuensi mahal yang tidak diinginkan.

Pada akhirnya, spesies pendatang mungkin secara tidak sengaja merugikan spesies yang tergantung pada spesies yang digantikannya. Di Belgia, tanaman perdu Prunus spinosa dari Eropa Timur membentuk daun lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya di Eropa Barat sehingga mengganggu kebiasaan makan kupu-kupu Thecla betulae (yang memakan daun). Kedatangan spesies baru sering mengakibatkan spesies endemik dan spesies lokal lainnya tidak dapat bersaing dengan spesies eksotik dan tidak dapat bertahan hidup. Organisme eksotik dapat berupa predator, parasit, atau hanya mengalahkan spesies asli untuk mendapatkan nutrisi, air dan cahaya.

Saat ini, beberapa negara telah mengimpor begitu banyak spesies eksotik, terutama tanaman pertanian dan tanaman hias, sehingga fauna atau flora asli mereka mungkin kalah jumlah. Misalnya, pengenalan kudzu dari Asia Tenggara ke Kanada dan Amerika Serikat telah mengancam keanekaragaman hayati di wilayah tertentu.

  • Pencemaran genetik

Spesies endemik dapat terancam punah melalui proses pencemaran genetik, yaitu persilangan, introgresi, dan kelebihan genetik yang tidak terkendali. Pencemaran genetik menyebabkan homogenisasi atau penggantian genom lokal sebagai hasil dari keuntungan numerik dan/atau kesesuaian dari suatu spesies pendatang. Persilangan dan introgresi merupakan efek samping dari kedatangan dan invasi. Fenomena ini dapat sangat merugikan spesies langka yang terpapar dengan spesies yang lebih berlimpah. Spesies yang berlimpah dapat kawin silang dengan spesies langka dan membanjiri lungkang gennya. Masalah ini tidak selalu terlihat dari pengamatan morfologis (penampilan luar) saja. Beberapa tingkat aliran gen merupakan adaptasi normal, dan tidak semua konstelasi gen dan genotipe dapat dilestarikan. Namun, persilangan dengan atau tanpa introgresi dapat mengancam keberadaan spesies langka.

  • Eksploitasi berlebihan

Eksploitasi berlebihan terjadi ketika sumber daya dikonsumsi pada tingkat yang tidak berkelanjutan. Hal ini terjadi di darat dalam bentuk perburuan dan penebangan kayu yang berlebihan, konservasi tanah yang buruk di bidang pertanian, dan perdagangan satwa liar ilegal. Sekitar 25% perikanan dunia saat ini ditangkap secara berlebihan sampai pada titik ketika biomassa mereka saat ini berada di bawah tingkat yang memaksimalkan keberlangsungan mereka.

Hipotesis perburuan berlebihan, yaitu suatu pola kepunahan hewan besar yang dihubungkan dengan pola migrasi manusia, dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa kepunahan megafauna dapat terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat.

  • Persilangan, pencemaran/erosi genetik, dan keamanan pangan

Dalam pertanian dan peternakan, Revolusi Hijau memopulerkan penggunaan persilangan konvensional untuk meningkatkan hasil produksi. Sering kali keturunan hasil persilangan berasal dari negara-negara maju dan selanjutnya disilangkan dengan varietas lokal di negara berkembang untuk menciptakan galur berproduksi tinggi yang tahan terhadap iklim dan penyakit setempat. Pemerintah dan industri lokal telah mendorong persilangan. Sebelumnya, lungkang gen yang sangat besar dari keturunan liar dan keturunan asli telah runtuh dan menyebabkan erosi genetik dan pencemaran genetik yang luas. Hal ini mengakibatkan hilangnya keanekaragaman genetik dan keanekaragaman hayati secara keseluruhan.

Organisme termodifikasi secara genetika memiliki materi genetik yang diubah oleh rekayasa genetik. Tanaman rekayasa genetik telah menjadi sumber umum bagi pencemaran genetik, tidak hanya pada varietas liar tetapi juga pada varietas domestik yang berasal dari persilangan klasik.

Erosi genetik dan pencemaran genetik berpotensi menghancurkan genotipe unik, sehingga bisa menciptakan ancaman terhadap ketahanan pangan. Penurunan keanekaragaman genetik melemahkan kemampuan tanaman dan ternak untuk disilangkan dalam rangka melawan penyakit dan bertahan hidup dari perubahan iklim.

  • Perubahan iklim

Pemanasan global merupakan ancaman besar bagi keanekaragaman hayati global. Misalnya, terumbu karang—yang menjadi titik panas keanekaragaman hayati—akan hilang pada abad ini jika pemanasan global terus berlanjut dengan laju saat ini.

Perubahan iklim terbukti memengaruhi keanekaragaman hayati. Peningkatan karbon dioksida di atmosfer pasti memengaruhi morfologi tumbuhan dan mengasamkan samudra, sementara perubahan suhu memengaruhi jangkauan hidup spesies fenologi, dan cuaca, tetapi, untungnya, dampak utama yang diprediksi masih merupakan potensi yang akan muncul di masa depan. Kepunahan besar belum diprediksi, bahkan ketika perubahan iklim secara drastis mengubah biologi banyak spesies.

Pada tahun 2004, sebuah studi kolaboratif internasional di empat benua memperkirakan bahwa 10 persen spesies akan punah pada tahun 2050 karena pemanasan global. "Kita perlu membatasi perubahan iklim atau kita akan berada dalam kesulitan bersama banyak spesies lain, mungkin punah," kata Dr. Lee Hannah, salah satu penulis makalah dan kepala ahli biologi perubahan iklim di Pusat Ilmu Pengetahuan Keanekaragaman Hayati Terapan di Konservasi Internasional.

Sebuah penelitian pada 2015 memperkirakan bahwa hingga 35% karnivora dan ungulata terestrial dunia akan menghadapi risiko kepunahan yang lebih tinggi pada tahun 2050 akibat efek perubahan iklim ditambah penggunaan lahan yang diprediksi dengan skenario laju pembangunan manusia masa kini.

Perubahan iklim telah mengubah waktu ketika kelelawar ekor bebas Brasil (Tadarida brasiliensis) muncul untuk mencari makan menjadi senja hari. Perubahan ini diyakini terkait dengan pengeringan daerah akibat kenaikan suhu. Kemunculan yang lebih awal ini membuat kelelawar menjadi pemangsa yang lebih besar dan meningkatkan persaingan dengan serangga lain yang mencari makan pada waktu senja atau siang hari.

  • Overpopulasi manusia

Populasi dunia berjumlah hampir 7,6 miliar pada pertengahan 2017 (kira-kira satu miliar lebih banyak dibandingkan tahun 2005) dan diperkirakan akan mencapai 11,1 miliar pada tahun 2100. Sir David King, mantan kepala penasihat ilmiah untuk pemerintah Inggris, mengatakan pada parlemen: "Sudah jelas bahwa pertumbuhan populasi manusia secara besar-besaran selama abad ke-20 berdampak lebih besar pada keanekaragaman hayati dibandingkan faktor tunggal lainnya." Paling tidak sampai pertengahan abad ke-21, hilangnya keanekaragaman hayati murni di seluruh dunia mungkin akan sangat bergantung pada tingkat kelahiran manusia di seluruh dunia. Ahli biologi seperti Paul R. Ehrlich dan Stuart Pimm mencatat bahwa pertumbuhan populasi manusia dan konsumsi berlebihan adalah pendorong utama kepunahan spesies.

Menurut sebuah studi pada tahun 2014 oleh WWF, populasi manusia global sudah melebihi biokapasitas planet; dibutuhkan 1,5 kali biokapasitas Bumi untuk memenuhi kebutuhan kita saat ini. Laporan lebih lanjut menunjukkan bahwa jika semua orang di planet ini memiliki jejak kaki dari rata-rata penduduk Qatar, kita akan membutuhkan 4,8 Bumi dan jika kita menjalani gaya hidup penduduk AS yang khas, kita akan membutuhkan 3,9 Bumi.

  • Kepunahan Holosen

Tingkat penurunan keanekaragaman hayati dalam kepunahan Holosen (kepunahan massal keenam) setara atau melebihi tingkat penuruhan pada lima peristiwa kepunahan massal sebelumnya menurut catatan fosil. Hilangnya keanekaragaman hayati menyebabkan hilangnya modal alami yang menyediakan kebutuhan barang dan layanan pada ekosistem. Dari perspektif metode yang dikenal sebagai Ekonomi Alam, nilai ekonomi dari 17 layanan ekosistem untuk biosfer Bumi (dihitung pada tahun 1997) diperkirakan memiliki nilai US Rp534.418,50 triliun (3,3x1013) per tahun.

Pada tahun 2019, Platform Kebijakan-Ilmu Pengetahuan Antar Pemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem menerbitkan Laporan Penilaian Global tentang Keanekaragaman Hayati dan Layanan Ekosistem, sebuah studi terbesar dan paling komprehensif hingga saat ini mengenai keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem. Laporan ini dibuat sebagai ringkasan bagi para pembuat kebijakan. Kesimpulan utamanya yaitu

Selama 50 tahun terakhir, keadaan alam telah memburuk pada tingkat yang semakin cepat dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Penggerak utama kemunduran ini adalah perubahan dalam penggunaan lahan dan laut, eksploitasi makhluk hidup, perubahan iklim, polusi, dan spesies invasif. Kelima pendorong ini, pada gilirannya, disebabkan oleh perilaku sosial, dari konsumsi hingga tata kelola.
Kerusakan ekosistem mengacaukan 35 dari 44 target PBB yang dipilih, termasuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Majelis Umum PBB untuk kemiskinan, kelaparan, kesehatan, air, iklim kota, lautan, dan tanah. Hal ini dapat menimbulkan masalah persediaan makanan, air, udara umat manusia.

Untuk mengatasi masalah ini, umat manusia akan membutuhkan perubahan transformatif, termasuk pertanian berkelanjutan, pengurangan konsumsi dan limbah, kuota perikanan, dan pengelolaan air kolaboratif. Pada halaman 8, laporan ini mengusulkan ringkasan "memungkinkan visi tentang kualitas hidup yang baik yang tidak memerlukan konsumsi bahan yang terus meningkat" sebagai salah satu langkah utama. Laporan tersebut menyatakan bahwa "Beberapa jalur dipilih untuk mencapai tujuan yang terkait dengan energi, pertumbuhan ekonomi, industri dan infrastruktur, konsumsi dan produksi berkelanjutan (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 7, 8, 9, dan 12), serta target terkait dengan kemiskinan, ketahanan pangan, dan kota (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 1, 2 ,dan 11), dapat memiliki dampak positif atau negatif yang substansial pada alam dan pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan lainnya".

Konservasi

Biologi konservasi mulai matang pada pertengahan abad ke-20 ketika ahli ekologi, naturalis, dan ilmuwan lain mulai meneliti dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan penurunan keanekaragaman hayati global.

Etika konservasi menyarankan pengelolaan sumber daya alam untuk mempertahankan keanekaragaman hayati dalam spesies, ekosistem, proses evolusi, serta budaya manusia dan masyarakat.

Biologi konservasi mengalami perubahan terkait rencana strategis yang akan diambil untuk melindungi keanekaragaman hayati. Melestarikan keanekaragaman hayati global merupakan prioritas dalam rencana konservasi strategis yang dirancang untuk melibatkan kebijakan publik dan isu yang berpengaruh di dalam masyarakat, ekosistem, dan budaya dalam skala lokal, regional dan global. Rencana aksi yang disusun mengidentifikasi cara mempertahankan kesejahteraan manusia menggunakan modal alam, modal pasar, dan layanan ekosistem.

Dalam Pedoman Uni Eropa 1999/22/EC, kebun binatang digambarkan memiliki peran dalam pelestarian keanekaragaman hayati hewan liar dengan melakukan penelitian atau berpartisipasi dalam program pemuliaan.

  • Teknik perlindungan dan pemulihan

Penghilangan spesies eksotik akan memungkinkan spesies yang telah terdampak negatif oleh mereka untuk memulihkan relung ekologinya kembali. Spesies eksotik yang telah menjadi hama dapat diidentifikasi secara taksonomi (misalnya dengan Sistem Identifikasi Otomatis Digital [DAISY], dengan menggunakan kode batang kehidupan). Secara praktis, penghilangan hanya dilakukan pada kelompok individu besar karena pertimbangan biaya ekonomi.

Ketika populasi spesies asli yang tersisa di suatu daerah dapat hidup berkelanjutan dan hidupnya menjadi terjamin, spesies yang "hilang" yang menjadi kandidat untuk reintroduksi (pendatangan kembali) dapat diidentifikasi menggunakan basis daya seperti Encyclopedia of Life dan Fasilitas Informasi Keanekaragaman Hayati Global.

  1. Perbankan keanekaragaman hayati menempatkan nilai moneter terhadap keanekaragaman hayati. Salah satu contohnya adalah Kerangka Kerja Pengelolaan Vegetasi Asli Australia.
  2. Bank gen merupakan kumpulan spesimen dan materi genetik. Beberapa bank bermaksud untuk memperkenalkan kembali spesies ke ekosistem (misalnya melalui pembibitan pohon).
  3. Pengurangan dan penargetan pestisida yang lebih baik memungkinkan lebih banyak spesies yang mampu bertahan hidup di daerah pertanian dan perkotaan.
  4. Pendekatan spesifik lokasi mungkin kurang berguna untuk melindungi spesies yang bermigrasi. Salah satu pendekatan lain adalah membuat koridor satwa liar yang sesuai dengan pergerakan hewan. Batas-batas nasional dan batas lainnya dapat mempersulit pembuatan koridor.
  • Alokasi sumber daya

Investasi sumber daya yang difokuskan pada area terbatas dengan potensi keanekaragaman hayati yang lebih tinggi diperkirakan membawa hasil yang lebih besar dan cepat dibandingkan menyebarkan sumber daya secara merata atau berfokus pada area yang keanekaragamannya rendah. Strategi kedua berfokus pada area yang mempertahankan sebagian besar keanekaragaman asli mereka, yang biasanya hanya membutuhkan sedikit restorasi atau bahkan tidak ada. Area ini biasanya merupakan area nonperkotaan dan nonpertanian. Daerah tropis sering kali cocok dengan kedua kriteria tersebut, mengingat keanekaragaman aslinya yang tinggi dan pembangunan yang relatif kurang.

Kawasan perlindungan

Kawasan perlindungan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan pada hewan liar dan habitatnya yang juga mencakup cagar hutan dan cagar biosfer. Kawasan perlindungan didirikan di seluruh dunia dengan tujuan spesifik untuk melindungi dan melestarikan tumbuhan dan hewan. Beberapa ilmuwan meminta komunitas global untuk menetapkan 30 persen dari Bumi sebagai kawasan perlindungan pada tahun 2030 dan 50 persen pada tahun 2050, untuk mengurangi hilangnya keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh manusia.

  • Taman nasional

Taman nasional adalah area yang dipilih oleh pemerintah atau organisasi swasta untuk melindungi area tersebut secara khusus dari kerusakan atau degradasi dengan tujuan konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap. Taman nasional biasanya dimiliki dan dikelola oleh pemerintah nasional atau negara bagian. Jumlah pengunjungnya dibatasi, terutama untuk memasuki area rapuh tertentu. Para pengunjung hanya diizinkan masuk untuk tujuan belajar, budaya, dan rekreasi. Operasi kehutanan, penggembalaan hewan, dan perburuan hewan diatur, sementara eksploitasi habitat atau satwa liar dilarang.

  • Cagar alam dan suaka margasatwa

Cagar alam dan suaka margasatwa (wildlife sanctuaries) hanya bertujuan untuk mengonservasi spesies dan memiliki karakteristik:

  1. Batas-batasnya tidak dibatasi oleh peraturan suatu negara.
  2. Pembunuhan, perburuan, atau penangkapan spesies apa pun dilarang kecuali oleh atau di bawah kendali otoritas tertinggi di departemen yang bertanggung jawab atas pengelolaan suaka.
  3. Kepemilikan pribadi dapat diizinkan.
  4. Kegiatan kehutanan dan penggunaan lainnya juga bisa diizinkan.
  • Hutan lindung

Hutan memainkan peran penting untuk menyimpan berbagai spesies flora dan fauna, termasuk spesies endemik. Spesies tumbuhan dan hewan yang terbatas pada wilayah geografis tertentu disebut spesies endemik. Pada hutan yang dilindungi, hak untuk melakukan beberapa kegiatan seperti berburu dan merumput kadang-kadang diberikan kepada masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan, yang mempertahankan mata pencaharian mereka sebagian atau seluruhnya dari sumber daya hutan atau produknya. Hutan yang tidak diklasifikasikan memiliki karakteristik berupa hutan besar yang tidak dapat diakses, banyak di antaranya yang tidak dihuni, dan dinilai kurang penting secara ekologis dan ekonomis.

  • Kebun binatang

Di kebun binatang, hewan hidup dipelihara untuk tujuan rekreasi, pendidikan, dan konservasi. Kebun binatang modern memiliki layanan kedokteran hewan, memberikan peluang bagi spesies terancam untuk berkembang biak di penangkaran, dan biasanya membangun lingkungan yang mensimulasikan habitat asli hewan dalam lingkungan perawatan mereka. Kebun binatang memainkan peran utama dalam membangun kesadaran masyarakat tentang perlunya melestarikan alam.

  • Kebun botani

Di kebun botani atau kebun raya, tumbuhan ditanam dan dipajang terutama untuk tujuan ilmiah dan pendidikan. Mereka terdiri dari koleksi tanaman hidup yang ditanam di luar ruangan atau di bawah kaca pada rumah kaca dan konservatori. Kebun botani juga dapat mencakup koleksi tumbuhan kering atau herbarium dan fasilitas seperti ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, museum, dan penanaman eksperimental atau penelitian.

Status hukum

  • Internasional

Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB (1992) dan Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati;

  1. Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka (CITES);
  2. Konvensi Ramsar (lahan basah);
  3. Konvensi Bonn tentang Spesies yang Bermigrasi;
  4. Konvensi Warisan Dunia (secara tidak langsung dengan melindungi habitat keanekaragaman hayati)
  5. Konvensi regional, misalnya Konvensi Apia
  6. Perjanjian bilateral, misalnya Perjanjian Burung Migrasi Jepang-Australia.

Kesepakatan global seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati, memberikan "hak nasional yang berdaulat atas sumber daya hayati" (bukan properti). Perjanjian tersebut mengikat suatu negara untuk "melestarikan keanekaragaman hayati", "mengembangkan sumber daya untuk keberlanjutan", dan "berbagi manfaat" yang dihasilkan dari penggunaannya. Negara dengan keanekaragaman hayati yang memungkinkan untuk melakukan pencarian hayati atau mengumpulkan produk alami, mengharapkan untuk mendapat sebagian manfaat alih-alih membiarkan individu atau lembaga yang menemukan sumber daya tersebut hanya untuk keperluan pribadi mereka. Pencarian hayati dapat menjadi salah satu jenis pembajakan hayati ketika prinsip-prinsip tersebut tidak dihormati.

Prinsip kedaulatan dapat mengandalkan pada apa yang dikenal sebagai Perjanjian Berbagi Akses dan Perjanjian (ABAs). Konvensi Keanekaragaman Hayati menyiratkan persetujuan antara negara sumber dan kolektor, untuk menentukan sumber daya mana yang akan digunakan dan untuk apa, serta untuk menciptakan perjanjian yang adil mengenai pembagian keuntungan.

Uni Eropa

Pada bulan Mei 2020, Uni Eropa (UE) menerbitkan Strategi Keanekaragaman Hayati untuk tahun 2030. Strategi ini merupakan bagian penting dari strategi mitigasi perubahan iklim Uni Eropa. Dari 25% anggaran Eropa yang akan digunakan untuk memerangi perubahan iklim, sebagian besar akan digunakan untuk mengembalikan keanekaragaman hayati dan solusi berbasis alam.

Strategi Keanekaragaman Hayati UE untuk tahun 2030 mencakup target berikutnya:

  1. Melindungi 30% wilayah laut dan 30% wilayah daratan, terutama hutan berumur tua.
  2. Menanam 3 miliar pohon pada tahun 2030.
  3. Mengembalikan setidaknya 25.000 kilometer sungai, sehingga mereka akan mengalir bebas.
  4. Mengurangi penggunaan pestisida hingga 50% pada tahun 2030.
  5. Meningkatkan pertanian organik. Dalam program EU terkait, yaitu dari Sawah ke Garpu Fork disebutkan bahwa targetnya adalah membuat 25% pertanian UE menjadi organik pada tahun 2030.
  6. Meningkatkan keanekaragaman hayati di bidang pertanian.
  7. Memberikan € 20 miliar per tahun untuk masalah ini dan menjadikannya bagian dari praktik bisnis.

Menurut halaman strategi tersebut, sekitar setengah dari PDB global bergantung pada alam. Di Eropa, banyak unsur ekonomi yang menghasilkan triliunan € per tahun, tergantung pada alam. Manfaat Natura 2000 saja di Eropa berkisar antara € 200 hingga € 300 miliar per tahun.

  • Hukum tingkat nasional

Keanekaragaman hayati dipertimbangkan dalam beberapa keputusan politik dan hukum:

  1. Hubungan antara hukum dan ekosistem telah ada sejak zaman kuno dan berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati. Hal ini terkait dengan hak milik pribadi dan publik. Hukum dapat menentukan perlindungan bagi ekosistem yang terancam, serta berbagai hak dan kewajiban masyarakat (misalnya hak memancing dan berburu).
  2. Hukum yang mengatur spesies muncul belakangan. Hukum ini mengatur spesies apa saja yang harus dilindungi karena mereka mungkin terancam punah. Undang-Undang Spesies Terancam AS adalah contoh dari usaha untuk mengatasi permasalahan "hukum dan spesies".
  3. Hukum yang mengatur lungkang gen baru muncul sekitar seabad terakhir. Domestikasi dan pemuliaan tanaman bukanlah hal baru, tetapi kemajuan dalam rekayasa genetik menyebabkan diciptakannya hukum yang lebih ketat yang di antaranya mengatur distribusi organisme termodifikasi secara genetik, paten gen, dan paten proses. Pemerintah masih belum memutuskan dengan pasti apakah akan berfokus pada, misalnya, gen, genom, atau organisme dan spesies.

Akan tetapi, keseragaman standar hukum yang mengatur penggunaan keanekaragaman hayati belum tercapai. Bosselman berpendapat bahwa keanekaragaman hayati tidak boleh digunakan sebagai standar hukum dan mengklaim bahwa masih ada area ketidakpastian ilmiah yang menyebabkan tidak efisiennya administrasi dan meningkatkan litigasi meningkat tanpa mempromosikan tujuan pelestarian.

India meloloskan Undang-Undang Keanekaragaman Hayati pada tahun 2002 untuk mengonservasi keanekaragaman hayati di India. Undang-undang ini juga mencakup mekanisme pembagian manfaat secara adil dari penggunaan sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional.

Batas analitikal

  • Hubungan antara taksonomi dan ukuran

Dari semua spesies yang telah dideskripsikan, kurang dari 1% yang telah diteliti lebih lanjut dari sekadar mencatat keberadaan mereka.Sebagian besar spesies Bumi merupakan mikrob. Fisika keanekaragaman hayati kontemporer dianggap "terpaku tegas pada dunia yang terlihat [makroskopik]". Sebagai contoh, kehidupan mikrob secara metabolik dan lingkungan lebih beragam dibandingkan kehidupan multiseluler (misalnya pada ekstremofil). "Pada pohon kehidupan, didasarkan pada analisis subunit kecil RNA ribosom, kehidupan yang terlihat oleh mata hanya meliputi ranting kecil yang hampir tak terlihat. Hubungan terbalik antara ukuran makhluk hidup dan populasinya berulang lebih tinggi pada tangga evolusi "pada perkiraan pertama, semua spesies multiseluler di Bumi adalah serangga". Tingkat kepunahan serangga yang tinggi mendukung hipotesis kepunahan Holosen.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/