Pada hari Minggu sore di bulan September lalu, sekitar 30 orang, termasuk di dalamnya sekelompok ibu-ibu dari 9 kelurahan di wilayah Jakarta dan sekitarnya, bergabung dengan para aktivis masyarakat, perwakilan LSM yang berfokus pada masyarakat miskin kota, dan para ahli polusi udara untuk berpartisipasi dalam sebuah Learning Circle yang diselenggarakan oleh Clean Air Catalyst, sebuah proyek yang didanai oleh USAID dan dipimpin oleh WRI Indonesia. Lokakarya ini terdiri dari dua hari pembelajaran mengenai pentingnya kualitas dan pemantauan udara, dan satu hari kunjungan lapangan ke empat kampung.
Kualitas udara Jakarta menjadi berita utama di berbagai media ketika tingkat polusi melonjak menjadi salah satu yang tertinggi di dunia pada musim kemarau tahun 2023. Bagi para perempuan ini, menghirup udara kotor adalah hal yang biasa.
"Polusi udara bukanlah isu baru di Jakarta, tetapi menjadi sangat hangat akhir-akhir ini," jelas Mutiara Kurniasari, Analis Keadilan Sosial WRI Indonesia. "Sayangnya, belum banyak diskusi mengenai bagaimana polusi udara berdampak pada kelompok rentan, termasuk perempuan, anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, dan masyarakat berpenghasilan rendah, dan belum ada ruang inklusif untuk melakukan diskusi ini."
Lokakarya ini mengungkap dampak kesehatan dan ekonomi yang tidak proporsional dari polusi udara, seperti peningkatan risiko penyakit pernapasan oleh masyarakat yang terpinggirkan dan keterkaitannya dengan isu-isu pembangunan perkotaan yang lebih luas. Penelitian ini juga mengungkapkan kebutuhan mendesak akan strategi yang tidak hanya efektif dalam memerangi polusi udara, tetapi juga memprioritaskan kesejahteraan masyarakat setempat.
Udara Bersih Merupakan Bagian Integral dari Lingkungan yang Sehat, Aman, dan Layak Huni
Pembicaraan tentang kualitas udara cenderung berfokus pada apa yang terjadi di langit, dan mengabaikan faktor-faktor yang menyebabkan polusi udara di lapangan di lingkungan sekitar Jakarta. Gang Lengkong adalah salah satu kampung yang menjadi contoh bagaimana polusi udara tidak bisa dilepaskan dari isu-isu seperti akses terhadap hunian yang aman dan terjangkau, sengketa lahan, mobilitas, dan pekerjaan. Banyak warga Gang Lengkong yang telah tinggal di daerah tersebut sejak tahun 1980-an digusur secara paksa ketika perusahaan logistik truk pindah untuk membangun lahan parkir untuk kontainer pengiriman pada tahun 2017. Karena sengketa lahan tersebut, warga yang sebagian besar merupakan pedagang kaki lima kehilangan akses ke mata pencaharian mereka. Mereka yang masih bertahan, seperti Nurhayati, kini hidup dengan truk-truk yang melintas setiap setengah jam sekali di kampung mereka, menebarkan debu dari jalan yang belum diaspal dan menimbun puing-puing di mana-mana.
Kemudian, karena lokasinya, kampung Gang Lengkong memiliki aksesibilitas yang terbatas terhadap transportasi umum. Akibatnya, warga terpaksa sangat bergantung pada sepeda motor, yang bisa sangat berbahaya karena seringnya kendaraan besar melintas di sekitarnya. Selama Lingkar Belajar, Nurhayati dan warga kampung lainnya dapat berdiskusi tentang isu-isu seperti ini dengan organisasi-organisasi yang berpartisipasi, termasuk Rujak Center for Urban Studies (RCUS), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), dan Urban Poor Consortium (UPC). Mereka sepakat untuk terus memperjuangkan hak-hak warga untuk mendapatkan lingkungan yang layak huni, lebih aman dari ancaman penggusuran dan kecelakaan lalu lintas, dengan ruang terbuka hijau yang cukup, dan aksesibilitas terhadap transportasi umum.
Konsekuensi yang Tidak Diinginkan dari Zona Rendah Emisi
Kampung Susun (hunian vertikal) Kunir, yang terletak di Kota Tua, muncul dari penggusuran paksa warga Kampung Kunir pada tahun 2015 untuk merevitalisasi kawasan bantaran sungai. Kampung Susun Kunir dulunya adalah sebuah kampung yang dihuni oleh 77 keluarga, namun setelah penggusuran, banyak dari mereka yang pindah ke Marunda dan Kampung Balokan di Jakarta Utara. Saat ini, hanya tersisa 33 keluarga.
Kedua kampung tersebut telah terpengaruh oleh penerapan Zona Emisi Rendah (LEZ) di dekatnya. LEZ, yang dimaksudkan untuk mengatasi polusi udara, telah membawa masalah yang tidak terduga bagi masyarakat, termasuk kemacetan yang lebih parah, mengganggu kehidupan sehari-hari warga, dan mengurangi ruang bermain bagi anak-anak. Namun, dampaknya lebih dari sekedar ketidaknyamanan: kendaraan-kendaraan yang melintasi kampung-kampung untuk menghindari larangan KEK, membawa polusi udara langsung ke masyarakat. Jaenah, seorang warga dari Kampung Balokan, menjelaskan bagaimana KEK telah mempengaruhi komunitasnya.
Kampung memainkan peran yang beragam, seperti menyediakan perumahan yang terjangkau dan mengembangkan jaringan ekonomi informal, seperti warung, atau warung makan. Di Kampung Balokan, banyak perempuan - seperti Jaenah - telah mendirikan warung di depan rumah mereka dan di gang-gang - dan cenderung bekerja di kampung, di mana mereka menyiapkan dan menyajikan makanan setiap hari untuk pelanggan yang sebagian besar terdiri dari tetangga mereka, sambil melakukan pekerjaan rumah tangga untuk mengurus rumah, anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Warung-warung tersebut berada di lokasi yang strategis, namun kini terkena dampak dari peningkatan polusi udara akibat kendaraan roda dua yang menggunakan gang-gang untuk menghindari LEZ, sehingga berdampak negatif terhadap lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja mereka. Terlepas dari konsekuensi kesehatan, paparan polusi udara yang berkepanjangan dapat mempengaruhi kualitas makanan, berdampak pada penjualan dan menciptakan tantangan siklus di mana upaya ekonomi terhambat oleh kondisi lingkungan.
Karena mandat KEK yang ada saat ini dikembangkan tanpa melibatkan penduduk di desa-desa sekitar, pembangunannya membuat masyarakat rentan dan terpapar polusi udara. Lokakarya Learning Circle melibatkan masyarakat yang terdiri dari tatanan sosial di daerah tersebut untuk memastikan KEK di masa depan dan pembangunan serupa ditopang oleh pendekatan kolaboratif, termasuk pendekatan dari bawah ke atas untuk memastikan pembangunan di masa depan mempertimbangkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat setempat.
Akses yang Tidak Merata terhadap Data Polusi Udara dan Dampaknya di Jakarta
Warga kampung menyadari isu polusi udara yang berkembang dan dampaknya yang merugikan, dan menyadari bahwa sumber polusi udara termasuk pembakaran kendaraan dan limbah di lingkungan mereka. Namun, mereka tidak memiliki cara untuk mengukur paparan polusi udara secara pribadi.
Dengan menggunakan sensor berbiaya rendah milik perusahaan sensor berbiaya rendah Indonesia, Nafas, para peserta diundang untuk mengamati data kualitas udara secara real-time di rumah mereka sendiri. Pada hari terakhir lokakarya, para peserta berbagi cerita tentang bagaimana sensor rumah tangga mengungkapkan tingkat polusi yang berbeda sepanjang hari. Sementara itu, di Gang Lengkong, sensor menampilkan warna merah yang konsisten sepanjang percobaan, yang memperingatkan para peserta akan tingkat polusi yang tinggi di lingkungan tersebut. Warga tidak terlalu terkejut dengan hal ini; temuan ini sesuai dengan kepercayaan mereka, memvalidasi kekhawatiran mereka tentang polusi udara di lingkungan mereka dan memperkuat perlunya upaya yang terinformasi dan terarah untuk mengatasi tantangan yang sedang berlangsung ini.
Seorang wanita dengan masker memegang alat pengukur kualitas udara saat berbicara dengan sebuah kelompok.
Meskipun banyak kota sekarang memiliki penyedia indeks kualitas udara dan berbagi informasi di media sosial yang memudahkan masyarakat untuk tetap mendapatkan informasi, masih banyak yang tidak dapat mengakses informasi tentang polusi udara. Menurut peserta Learning Circle, televisi masih menjadi sumber informasi utama bagi banyak rumah tangga di Jakarta, seperti yang dikuatkan oleh Nielsen Consumer and Media View 2022 yang menyebutkan bahwa pemirsa berusia 40-49 tahun dan 50+ merupakan bagian yang signifikan dari pemirsa TV; tidak menggunakan televisi untuk berbagi data polusi udara berarti tidak mengikutsertakan generasi yang lebih tua yang masih bergantung pada televisi. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa kesenjangan gender dalam literasi digital di antara populasi lansia di Indonesia lebih menonjol dibandingkan kelompok usia lainnya, membuat perempuan lansia dikecualikan dari informasi digital. Hambatan informasi bahkan lebih tinggi lagi bagi penyandang disabilitas karena berbagi informasi sangat bergantung pada ketersediaan praktik komunikasi yang inklusif.
Perwakilan dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dan Difapedia yang mengikuti lokakarya Lingkar Belajar mengangkat isu tentang bagaimana mengkomunikasikan informasi tentang polusi udara kepada para penyandang disabilitas. Mereka menyoroti pentingnya grup WhatsApp di antara komunitas penyandang disabilitas di Jakarta, sebuah platform yang lebih banyak digunakan untuk berbagi informasi dibandingkan dengan platform media sosial berbasis visual seperti Instagram dan TikTok.
Seseorang yang menunjukkan pengukuran kualitas udara 283 sementara orang lain di dekatnya menggunakan ponsel pintar untuk mengambil gambar pengukuran tersebut.
Kesenjangan dalam sumber informasi ini berarti bahwa masyarakat yang paling terpinggirkan di Jakarta tidak memiliki waktu atau sarana untuk memeriksa indeks polusi udara. Ketika tingkat polusi meningkat, beberapa orang tahu bagaimana melindungi diri mereka sendiri sementara yang lain melanjutkan rutinitas mereka seperti biasa di bawah langit yang tercemar.
Kesenjangan ini memiliki konsekuensi kehidupan nyata, seperti yang diungkapkan oleh sebuah studi pada tahun 2023. Di Jakarta, polusi udara bertanggung jawab atas lebih dari 7.000 gangguan kesehatan pada anak-anak, lebih dari 10.000 kematian dini, dan lebih dari 5.000 rawat inap per tahun. Kerugian ekonomi akibat PM2.5 dan kematian serta penyakit yang berkaitan dengan ozon mencapai sekitar 2% dari PDB provinsi Jakarta. Selain itu, dampak polusi udara lebih terasa tergantung pada faktor sosial dan ekonomi, termasuk kesenjangan berbasis gender dalam jenis pekerjaan dan ketidaksetaraan pendapatan; dan faktor kerentanan, seperti kesehatan fisik, lingkungan tempat tinggal, aksesibilitas data, sumber daya perawatan kesehatan, dan cakupan asuransi.
Grafik yang menggambarkan sumber informasi tingkat polusi udara.
Terjemahan grafik: Di mana Anda biasanya mendapatkan informasi tentang tingkat polusi udara? 9 orang mengatakan "Melihat secara langsung"; 10 orang mengatakan "Dari situs web/aplikasi yang menyediakan informasi tentang kualitas udara"; 18 orang mengatakan "media sosial"; 1 orang mengatakan "grup WhatsApp."
Melibatkan Semua Orang: Menyebarkan Berita tentang Polusi Udara
Selama diskusi, para peserta bertukar pikiran tentang cara-cara untuk meningkatkan kesadaran tentang polusi udara dan memastikan para pengambil keputusan memahami keprihatinan mereka. Salah satu ide menonjol yang muncul adalah kekuatan dari percakapan antargenerasi. Chadirin, seorang warga Kampung Balokan, berbagi beberapa pemikiran mendalam:
"Kami memiliki cerita tentang bagaimana polusi udara mempengaruhi kami. Kami khawatir dengan anak-anak kami, mereka akhirnya bermain di pinggir jalan, terpapar bahaya lalu lintas dan polusi. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Generasi muda, teman-teman kita, dapat menyampaikan kekhawatiran ini kepada pihak berwenang karena mereka tahu bagaimana cara menyelesaikannya."
Gagasan ini mendapat tanggapan positif dari para peserta seperti Katarina Mada, yang berbagi pengalaman advokasinya dan menekankan perlunya memastikan bahwa cerita-cerita ini sampai ke para pembuat kebijakan dan mendorong perubahan positif.
Kolaborasi antargenerasi yang serupa terjadi di Gang Lengkong, di mana lanskap konflik lahan yang kompleks melawan perusahaan logistik telah menyatukan generasi muda dan tua. Mereka bekerja sama untuk mengumpulkan wawasan dan cerita-cerita lingkungan, dengan dukungan administratif dari liga aktivis muda yang mendokumentasikan gerakan tersebut. Para aktivis ini merupakan bagian dari Jaringan Muda Kampung Kota (JMMK) yang secara rutin mengikuti pertemuan rutin Jaringan Masyarakat Miskin Kota (JMK) dan Konsorsium Masyarakat Miskin Kota (KMK) untuk mendiskusikan isu-isu yang ada di kampung mereka.
Generasi muda ini memiliki kemampuan pengorganisasian dan meningkatkan kesadaran warga akan hak-hak hukum mereka, yang semuanya diarahkan untuk berkolaborasi dalam mengamankan hak atas tanah. Mereka juga secara aktif menghadapi stigma negatif yang umum, seperti kekurangan ekonomi dan infrastruktur yang kurang memadai yang terkait dengan kampung dengan membuat narasi alternatif melalui Lokakarya Video Etnografi; program ini berupaya menyoroti kekayaan budaya, ketangguhan masyarakat, dan kisah-kisah perubahan yang ada di kampung-kampung tersebut.
Marsha, seorang warga di Kampung Susun Kunir mengenang kampungnya yang "memiliki banyak pepohonan, udara yang segar, dan banyak burung," cerita yang dibagikan oleh Lokakarya Video Etnografi dalam proyek video mereka.
Dalam perjuangan Jakarta yang sedang berlangsung melawan polusi udara, kenangan-kenangan ini, yang diwariskan dari generasi ke generasi, menenun narasi nostalgia, mengikat komunitas, masyarakat sipil, dan para pengambil keputusan dalam upaya bersama untuk udara yang lebih bersih dan masa depan yang lebih sehat.
Disadur dari: urban-links.org