1. Pertanyaan dari Bapak Muhammad Aqshal Madani
Kenapa GPM sangat jarang sekali mendapatkan 50%? Apa saja penyebabnya, baik dari internal maupun eksternal? Apakah hal itu terjadi juga Kontraktor Proyek?
Jawaban: Karena gross profit margin itu dikuranginnya dengan biaya langsung perusahaan. Biasanya memang sangat jarang karena biaya itu biasanya lebih besar daripada 50%, baik penyebabnya internal maupun eksternal, tapi mungkin lebih banyak penyebabnya adalah penyebab eksternal karena ini berhubungan dengan harga bahan mentah, harga tenaga kerja. Harga tenaga kerja sudah ada UMR-nya, ada standar dari pemerintahnya kita tidak bisa mengurangi biaya tersebut di bawah dari UMR. Sehingga bisa jadi itu bagian besar daripada biaya dari perusahaan kita. Atau misalnya memang bahan bahan bakunya juga lebih mahal sehingga memang jarang sekali gross profit margin itu untuk dapat 50%, kebanyakan memang dibawah 50%.
Kalau kontraktor proyek itu saya kurang punya informasi lebih lengkap. Bisa jadi hal tersebut juga terjadi di sana, Jadi pada dasarnya kontraktor juga harus bayar biaya-biaya langsung tadi, baik buruhnya, pekerjanya, maupun biaya bahan-bahan untuk infrastrukturnya minta itu semen, batu dan lain-lain. Jadi ini bisa terjadi juga pada kontraktor, karena kontraktor itu kalau di Bursa Efek Indonesia itu ada di Wika, Hutama Karya itu semuanya ada di Bursa Efek Indonesia. Kemudian kalau dari analisisnya memang untuk GPM itu jarang yang mendapat 50%. Itu terjadi hampir di semua sektor, Jadi bukan hanya di sektor-sektor tertentu juga termasuk di kontraktor proyek.
2. Pertanyaan dari Bapak Awan Triyogo
1) Untuk membandingkan EPS perusahaan yang belum Go Public, bagaimana cara melakukannya? Terutama, tatkala hendak membandingkan dengan kompetitor atau industri sejenis.
2) Untuk mendapatkan Data EPS seperti dicontohkan tadi tahun 2016, bagaimana kita bisa dapatkan?
Jawaban:
1) Untuk bandingkan EPS untuk perusahaan yang belum go public, jadi earning per share-nya memang Belum ada harga sahamnya. Karena memang kita belum punya informasinya untuk harga saham kita, tapi perusahaan Bisa menghitung sebenarnya harga sahamnya, kita membandingkan dengan book valuenya tadi yang ada di perusahaan. Jadi kita hitung-hitungan, kurang lebih itu harganya seberapa, itu harga ketika memang belum kita keluarkan, istilahnya belum go public. Ketika go public banyak faktor-faktor lain seperti ekspektasi daripada investornya, ekspektasi pasarnya seperti apa. Jadi pada dasarnya kita membandingkan dengan hitung-hitungan yang ada di perusahaan kita. Ini juga sebenarnya terjadi ketika? Seperti Bukalapak, GoTo. Di awal mereka ekspektasinya tinggi, jadi ekspektasi dari perusahaannya jauh melebihi tinggi daripada ekspektasi dari pasarnya. Saking percaya dirinya Karena ekspektasinya sangat tinggi Diana Roma harganya juga tinggi di PO. Pertama-tama dibeli kemudian sempat naik beberapa saat, kemudian turun karena ternyata ekspektasi dari pasarnya tidak sejalan dengan ekspektasi dari perusahaannya. Ketika perusahaan melakukan valuasi terhadap nilai dari perusahaan itu sendiri, bagaimana dia valuasinya. Nilai valuasi nya itu lah kira-kira yang akan digunakan nanti untuk EPS-nya itu.
2) Earning per share itu saya dapatkan dari Bursa Efek Indonesia dan itu sebenarnya data tidak dengan mudah kita dapatkan. Tapi kalau misalnya mas Awan ingin tahu harga EPS, mas Awan bisa subscribe atau berlangganan stockbit, dari situ bisa terlihat data dari setiap perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Ciri ada data-data tentang earning per share-nya itu, jadi itu adalah data-data yang wajib ada untuk perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jadi itu ada datanya, mas Awan bisa ke BEI-nya, kalau saya waktu itu karena saya gunakan untuk disertasi saya jadi pakai orang dalam, bisa juga mengambil pakai data mining, EPS dari setiap perusahaan yang ada di Bursa Efek Indonesia. Tapi saya belum melihat ada sekumpulan yang sudah di ringkas, dari setiap sektornya, dari setiap perusahaannya, itu tidak ada, saya belum pernah menemukan itu, ada juga satu persatu, jadi kita harus buat summary sendiri.
3. Pertanyaan dari Bapak Irfan Dwi Prasetyo
Boleh minta tolong diulangi kembali, bagaimana cara menghitung EACS?
Jawaban: EACS itu adalah earning available for common stockholders, informasinya ada di laporan laba rugi, di laporan laba rugi itu selalu ada penjualan, penjualan itu kemudian dikurangi oleh COGS atau harga pokok penjualan nanti dapat laba kotor. Dari laba kotor kemudian dikurangi dengan overhead atau disebut dengan biaya operasional. Ada biaya operasional, biaya administrasi dan lain-lain. Laba kotor dikurangi overhead jadi laba operasional, laba operasional dikurangi dengan bunga kemudian dikurangi dengan pajak, kemudian nanti dikurangi dengan bunga dan pajak. Nanti jadi EAIT atau earning after interest and taxes, ini dikurangi lagi dengan pembayaran deviden untuk saham istimewa, atau untuk preferred stock lalu kemudian dapat EACS. EACS ini adalah laba yang bisa dibagikan ke pemegang saham atau kepada partner kita, kalau kita pakai bagi hasil.
4. Pertanyaan dari Bapak Boni Laksito
1) Setahu saya, Ratio seperti ini ada yang Rasio. Misalkan, Rasio Aset dengan Utang yaitu misalnya yang bagus itu minimal 2 banding 1 kalau tidak salah. Apakah itu standar yang harus dipenuhi, kalau dikatakan Rasio seperti itu bagus? Apakah kalau misalnya 1 ½ banding 1 itu dikatakan tidak bagus? Atau seperti apa?
2) Kalau yang lainnya, apakah ada standar-standar yang dikatakan Rasio itu bagus? Termasuk, yang hari ini dibahas.
Jawaban: Kalau standar sebenarnya, kalau misalnya dia adalah perusahaan perbankan itu ada standarnya, karena OJK menentukan standarnya sendiri, Bank Indonesia mempunyai standarnya. Misalnya untuk aset dan hutang harus berapa persen berapa persen, jadi kalau untuk industri perbankan itu memang lebih strict harus ada standarnya, kalau dibawah standar itu tidak boleh jadi bisa di blacklist. Tapi kalau untuk industri-industri yang di luar itu setahu saya standarnya itu tidak ada, standarnya itu adalah standar yang kita anggap biasa saja, jadi bukan standar aturan, kalau yang tipe industri perbankan itu dia punya aturan, aturannya itu berdasarkan standar-standar tadi. Kalau untuk industri yang lain tidak ada karena tidak terlalu berpengaruh terhadap dananya orang banyak, cuma berpengaruh pada pembelian dari konsumen saja. Kalau misalnya industrinya tersebut juga bukan industri yang strategis sekali atau yang berhubungan dengan azas hidup orang banyak mungkin itu juga tidak dibuat standar oleh pemerintah. Kalau untuk perusahaan itu sendiri, kalau misalnya rasio aset terhadap hutangnya hutangnya lebih banyak, hutangnya tinggi sekali, selama hutangnya bisa dia bayar dan efisien ya it's ok. Tetapi kalau misalnya hutangnya tidak bisa dibayar dan tidak efisien yang bangkrut adalah perusahaan itu sendiri, tidak mempengaruhi asas hidup orang banyak yang tadi itu. Jadi itu nasib perusahaan itu sendiri. Jadi tidak ada standar standarnya. Seperti standar-standar sekarang untuk standar-standar keuangan secara regulasi tidak ada, cuman kita sebagai investor dan analis keuangan kita punya satu angka tertentu dan satu angka itu bisa dikatakan sifatnya tidak absolut karena itu untuk masing-masing industri punya karakteristik sendiri-sendiri. Walaupun untuk laba untuk industri juga memiliki karakter sendiri-sendiri, untuk retail, perusahaan konstruksi, itu memiliki "kebiasaan" untuk mendapatkan labanya seberapa mudah mereka. Jadi secara standar peraturan tidak ada, tapi standar-standar tersebut bisa kita buat menjadi standar, ketika kita bicaranya di industrinya. Kita harus bandingkan dengan industri sejenisnya, kita juga harus bandingkan di periode mana. Karena misalkan 10 tahun yang lalu, 20 tahun lalu pasti komposisi dari standar-standar tadi, rasio-rasio tadi itu pasti berbeda dengan sekarang. Kita harus bandingkan dengan perusahaan-perusahaan sejenis di periode yang sama.
Profil InstrukturDr. Sinta Aryani, ST, MAIS, IPU
Dosen Teknik Industri Telkom University
Deskripsi Pemateri:
PENDIDIKAN
S1, Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung, 1992
S2, Bisnis dan Ekonomi, Oregon State University, 2000
S3, Ilmu Manajemen, Institut Teknologi Bandung, 2021
PEKERJAAN
·Part-time Faculty at School of Business and Management, August 2016 – Now
·Full-time Faculty at Telkom University, January 2015 – Now
·New Business Starter/Owner: Bandung-Lembang, December 2009 – 2016
·Industry Advisor at SENADA Indonesia Competitiveness, a program funded project by USAID, Bandung-Jakarta, June 2007 - July 2009
·Relationship Manager at SENADA Indonesia, a competitiveness program funded project by USAID, Bandung, May 2006 - May 2007