1. Pertanyaan dari Bapak Bernath Turnip
1) Scope Kontrak itu menyangkut apa saja? Misalnya, biaya, quality, prosedur kerja, serah terima proyek delivery.
2) Apa dasarnya agar kontrak disetujui dari segi Engineering-nya? Seperti, persiapan dokumen, kalkulasi engineering, dan biaya.
3) Apa beda Kontrak dan Tender?
Jawaban:
1) Scope kontrak sangat besar, manajemen kontrak konstruksi itu mengelola keseluruhan pekerjaan di proyek tapi tentu secara administrasi kontraktualnya yang dikelola. Kalau misalnya di manajemen konstruksi secara umum tentu dia akan mengelola aktual di lapangan. Scope-nya meliputi biaya, quality, waktu, dll, jadi semua yang terkait dengan administrasi kontrak menjadi scope dari manajemen kontrak tersebut.
2) Dasar kontrak itu disetujui karena ada kesepakatan antara kedua belah pihak, kalau dari sisi engineering tentu, pekerjaan konstruksi itu melibatkan mereka yang memang ahli di bidangnya. Tidak hanya satu ahli yang terlibat tapi melibatkan ahli struktur, ahli arsitek, ahli MEP, para ahli ini mereka akan membuat dokumen kontrak terutama terkait dengan menyusun spek dan gambar. Kemudian oleh manajer kontrak itu diatur hierarkinya, diatur penggunaannya, diatur prosedur-prosedur untuk bagaimana penggunaan masing-masing dokumen, itu diatur oleh manajer kontrak di dalam kontrak konstruksi itu. Itu menjadi dasar dari sisi engineering bagaimana kontrak itu disetujui, para pihak harus menyepakati yang mana saja dokumen yang menjadi bagian dari kontrak. Terkait dengan gambar, spek, Itu sudah pasti menjadi bagian dari dokumen kontrak dan itu sudah umum ditaruh di dalam isi perjanjian, terutama di dalam hierarki kontraknya.
3) Tender itu sebenarnya adalah proses untuk menyeleksi, mengevaluasi, mana kontraktor yang kemudian layak untuk dinyatakan sebagai pemenang dan untuk melakukan pekerjaan di lapangan. Yang punya uang tentu adalah pemilik proyek tapi dia menawarkan selaku pemilik proyek punya uang, punya modal, punya tanah di lokasi ini saya mau membuat sebuah Mall katakanlah atau kantoran serta hotel. Saya tentu harus tahu, memilih mana kontraktor yang kemudian dapat bekerjasama dengan saya untuk melaksanakan pembangunan maka dilakukanlah proses tender. Tender ini bisa jadi tidak diperlukan kalau misalnya penunjukan langsung, jadi memang sudah tahu, sudah biasa dengan satu kontraktor, atau mungkin dia subsidi dari perusahaan ini. Proses tender itu proses untuk mengevaluasi dan memilih dari sekian banyak potensial kontraktor untuk dilihat mana dari penawaran yang diberikan oleh kontraktor ini yang paling layak. Proses tender itu sendiri tidak hanya di lihat dari mana yang paling murah, tidak hanya dari nilai yang ditawarkan tapi juga dari kelogisan metode dan schedule program yang diajukan oleh masing-masing kontraktor.
2. Pertanyaan dari Bapak Arjuna
Kalau ada Force Majeure, seperi gempa bumi yang luar biasa besar, bukankah itu adalah hal yang memaksakan ending of contract? Tetapi, kalau Owner Proyek tidak setuju bagaimana? Apakah harus pengadilan yang memutuskan?
Jawaban: Ini memang terkait dengan force majeure, ini agak rumit. Yang pertama mengapa saya bilang rumit karena tidak semua yang terlibat dalam kontrak itu aware dengan klausul force majeure, klausul force majeure ini sebenarnya klausul yang membebaskan salah satu pihak dari kewajiban mereka untuk melakukan kewajiban mereka dalam kontrak. Misalnya kondisinya para pihak pada saat negosiasi kontrak dia tidak aware dengan pentingnya klausul force majeure bisa jadi dikontrak itu sama sekali tidak ada klausul force majeure itu menjadi problem kalau misalnya terjadi peristiwa force majeure soalnya seperti gempa bumi atau covid itu berpotensi sekali untuk menjadi sengketa.
Yang kedua, kalaupun kedua belah pihak itu sudah aware dengan adanya pentingnya force majeure ini, mereka akan memasukkannya dalam kontrak, tapi seberapa aware mereka. Umumnya di dalam kontrak kalau subkontrak itu dijelaskan force majeure itu apa dan peristiwanya itu seperti apa, tapi mungkin mereka akan silap dalam hal tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Kalau misalnya sudah terjadi force majeure seperti apa, prosedurnya seperti apa. Kalau misalnya mengacu ke fidic itu dijelaskan prosedur kalau misalnya terjadi force majeure, dan di data itu pun tidak langsung menegaskan bahwa kalau misalnya terjadi peristiwa force majeure, katakanlah gempa bumi, kerusuhan, covid (pandemi) itu tidak serta-merta salah satu pihak diberikan kewenangan untuk mengakhiri kontrak. Klausul force majeure ini adalah klausul yang berpotensi untuk mengakhiri kontrak, tapi apakah itu langsung? Tidak, ada prosedur yang harus dilalui. Prosedurnya seperti apa, misalnya di dalam fidic itu dijelaskan apabila terjadi force majeure maka salah satu pihak misalnya kontraktor itu boleh untuk tidak menunda pekerjaan sampai force majeure itu lewat. Atau misalnya setelah 84 hari force majeure itu terjadi terus dan terpaksa pekerjaan di suspend, maka itu memberikan kewenangan bagi salah satu pihak untuk mengakhiri kontraknya, karena selama 3 bulan ini tidak melakukan apa-apa, tidak ada progres apa-apa dan tidak dapat disalahkan kepada salah satu pihak baik itu kontraktor maupun employer. Terkait dengan klausul force majeure ini kalau misalnya terjadi effect itu ada beberapa prosedur yang harus diketahui, disepakati dulu. Saya anggap dari pertanyaan Pak Arjuna ini katakanlah sudah ada klausul force majeurenya, sudah lengkap ada prosedurnya dijelaskan di dalam kontraknya. Tapi kemudian ketika kontraktor mengajukan untuk mengakhiri kontrak, determinate kontraknya, tapi owner tidak setuju. Di dalam kontrak sudah dijelaskan secara clear proses prosedurnya, kemudian salah satu pihak disini kontraktor mau mengakhiri karena suspend, sampai kapan Ini suspend-nya. Kemudian oleh owner jangan di suspend kita lihat saja dulu, tapi bagi kontraktor tentu keberatan karena selama force majeure ini mereka harus memberikan proteksi terhadap pekerjaan di lapangan. Karena mereka masih bertanggung jawab terhadap proyek di lapangan, mungkin proyeknya baru 40%, mereka harus memiliki biaya-biaya Idol dan mereka itu keberatan untuk mengeluarkan itu semua karena itu tanpa kejelasan sampai kapan ini di suspend. Dan ini berkembang menjadi sengketa dan harus diselesaikan melalui jalur penyelesaian sengketa, terkait dengan jalur penyelesaian sengketa apakah harus dilakukan langsung ke pengadilan yang memutuskan tidak, jadi tergantung dari ketentuan di dalam kontraknya, untuk penyelesaian sengketanya ini apakah disertai arbitrase atau langsung melalui pengadilan, atau mediasi dan lain-lain. Kalau melalui arbitrase menunjuk ke penyelesaian melalui arbitrase, kalau pengadilan ya pengadilan yang akan memutuskan.
3. Pertanyaan dari Bapak Jeskrin Abel
Terkait masa berlaku kontrak, bila sudah disebutkan bahwa masa durasi hingga tanggal 22 Mei 2022, namun pekerjaan belum juga selesai, apakah kontrak masih dinyatakan valid dan semua klausal dalam kontrak masih dianggap berlaku? Atau harus dilakukan adendum kontrak? (Terlepas dari adanya kendala, baik dari sisi Kontraktor ataupun Owner terkait pelaksanaan pekerjaan di lapangan).
Jawaban: Ya tentu, kalau misalnya kita sudah aware bahwa kontrak akan berakhir sebentar lagi 22 Mei, berarti 11 hari lagi, ini harus segera dilakukan klarifikasi dan negosiasi seperti apa. Dan kita sudah tahu bahwa misalnya kontraktor tidak akan selesai sesuai dengan waktu yang disepakati, maka perlu dilakukan addendum perpanjangan kontrak, tentu untuk perpanjangan ini harus ada perhitungannya, analisisnya, seperti saya tadi bilang harus ada dasar untuk perpanjangan kontrak, kalau misalnya tidak ada dasar artinya memang, kontrak itu harusnya selesai 22 Mei, kemudian kontraktor itu ternyata proyeknya itu tidak sampai memenuhi target katakanlah baru 80% sisa 20% dan itu semua tidak ada catatan, tidak ada dokumentasi bahwa, ini keterlambatan disebabkan oleh siapa dan ini adalah kelalaian kontraktor. Kontraktor itu kalau misalnya terjadi keterlambatan itu harus membuat dokumentasi secara benar, supaya kita dapat membuat analisis keterlambatan, analisis keterlambatan ini fungsinya untuk misalnya sudah tahu ini tidak akan selesai kita bisa mengajukan addendum, untuk mengajukan addendum perpanjangan ini harus ada dasarnya dari dokumen-dokumen keterlambatan. Keterlambatan ini disebabkan oleh supplier, ini menjadi hak bagi kontraktor untuk mengajukan perpanjangan. Keterlambatan ini disebabkan oleh kontraktor, kontraktor tidak berhak untuk mengajukan pertanyaan, kalau katakanlah ini kelalaian kontraktor agar sama sekali tidak melakukan dokumentasi, tidak ada dokumentasi terkait penyebab keterlambatan dan lain-lain, maka ini indikasinya tidak dapat dilakukan perpanjangan, saya sebagai owner saya tidak akan menyetujui dilakukan addendum. Saya tetap meminta ini selesai sesuai dengan waktunya 22 Mei, kalau misalnya belum selesai maka akan dikenakan denda keterlambatan sesuai dengan berapa persen di dalam kontrak yang disepakati. Sampai ternyata katakanlah 22 Mei kemudian di dalam kontrak itu ada klausul dikenakan denda 1 permil per hari sampai dengan 5% ternyata sampai 1 bulan kedepan dan progresnya masih 90% dan sudah mencapai 5% dari nilai keterlambatan, maka itu menjadi hak bagi employer untuk mengakhiri secara sepihak. Ini tentu ada implikasinya untuk mengakhiri secara sepihak, bagian proyek tentu misalnya akan blacklist kontraktor untuk pekerjaan berikutnya, dan lain-lain. Kalau misalnya keterlambatannya ini tidak jelas dapat dianggap bahwa ini kelalaian oleh kontraktor tentu tidak berhak kontraktor untuk mengajukan addendum.
4. Pertanyaan dari Bapak Rahim Isnan Al Hilman
Jadi, kita sudah terikat kontrak pembangunan dan ditengah pekerjaan terjadi Covid seperti kemarin yang berakibat mundurnya schedule dan progress yang kurang lebih berjalan dua tahun lebih. Setelah dua tahun lebih dan kondisi normal, proyek dimulai lagi namun terjadi perubahan harga barang di pasar, sementara di kontrak proyek masih menggunakan harga dua tahun lalu. Jika tidak ada kesepakatan di kontrak mengenai perubahan harga, bagaimana baiknya untuk menyesuaikan harganya Pak? Karena, jika tetap diteruskan maka proyek akan rugi.
Jawaban: Seharusnya kalau kita mengacu ke fidic, adanya kejadian force majeure otomatis kalau misalnya sudah di suspend selama 80 per hari atau dikontrak disebutkan suspend selama 3 bulan Itu otomatis akan berakhir, artinya salah satu pihak boleh untuk mengakhiri kontrak. Kalau misalnya itu terjadi, kalau saya sebagai kontraktor saya akan mengakhiri, sudah 3 bulan dari covid terjadi, saya akan mengakhiri kontrak, seharusnya kita mengakhiri kontrak sebenarnya kontrak itu seharusnya diakhiri karena tidak dapat dilakukan misalnya. Kemudian bagaimana kedepannya employer-nya masih mau kamu untuk jadi kontraktor, saya akan menjawab kita akan melakukan kontrak baru pada saat memang situasi sudah normal, ternyata 2 tahun kemudian situasi baru normal baru dilakukan perhitungan ulang lagi terhadap harganya, harga satuan, dan nanti tetap ke nilai kontrak secara keseluruhan. Langkah yang benarnya harusnya seperti itu. Tapi kalau kita baca dari cerita ini kemungkinan besar ini tidak dilakukan, artinya tidak dilakukan terminasi kontrak di awal. Kontrak awal waktu sudah ditandatangani kemudian terjadi covid kemudian dibiarkan saja selama 2 tahun dam tidak ada proses pemberitahuan, tidak ada upaya pengakhiran kontrak selama 2 tahun ini. Bagaimana ini terkait dengan harga-harga yang sudah naik, ini sebenarnya dapat dilakukan kembali ke negosiasi kedua belah pihak seperti apa, ini sebenarnya berpeluang menjadi sengketa, kalau tidak mau menjadi sengketa tentu baiknya dilakukan negosiasi antara kontraktor dengan pemilik proyek terkait dengan perubahan harga dan kemudian mereka melakukan addendum, karena tidak lagi kontrak baru tapi mereka masih dalam kontrak lama namun harganya berbeda maka dilakukanlah addendum.
Kalau misalnya pemilik proyek tidak mau harganya berubah karena masih mau harga yang sama, padahal di sisi lain kontraktor tidak mungkin melakukan pekerjaan yang rugi maka ini tetap berpotensi menjadi sengketa, dan diselesaikanlah melalui jalur sengketa entah itu arbitrase maupun pengadilan. Karena kalau harganya terlalu banyak yang berubah pasti merugi bagi kontraktor. Kalau misalnya tidak ada addendum, amandemen kontrak berpotensi menjadi sengketa. Penyelesaian sengketa kalau tentu yang diharapkan kontraktor adalah penyesuaian harga, kalaupun tidak pasti berakhir saja tidak dilakukan pekerjaan itu.
5. Pertanyaan dari Bapak Rahim Isnan Al Hilman
Kontraktor kan bekerja dengan Subkontraktor, apakah kontrak antara Kontraktor dengan Klien bisa dijadikan acuan utama kontrak untuk kontrak antara Kontraktor dengan Subkontraktor? Supaya risiko dapat dibagi antara Kontraktor dengan Subkontraktor.
Jawaban: Ini adalah prinsip back to back contract, jadi prinsip dimana kontrak utama itu adalah kontrak antara employer dengan kontraktor. Kemudian pelaksanaan pekerjaan di lapangan tentu kontraktor dibantu oleh subkontraktor, subkontraktor itu banyak tidak hanya satu, untuk tanah, untuk pancang, dll. Kontrak memang paling benar itu adalah harusnya back to back artinya dia mengacu pada kontrak utama, supaya pekerjaan antara subkontraktor dengan kontraktor utama itu in line. Meskipun antara kontrak sub dengan kontrak utama itu dua entitas yang berbeda, karena kontrak utama itu mengatur hubungan kontraktual antara employer dengan kontraktor, sedangkan kontrak sub itu mengatur hubungan kontraktual antara kontraktor utama dengan subkontraktor, kedua kontrak ini berbeda, berdirinya berbeda, tapi kontraktor di sini harus memainkan peranan penting dalam hal untuk mendistribusikan risikonya, tidak semua risiko harus ditanggung oleh kontraktor. Ada risiko-risiko yang memang kemudian dialihkan kepada subkontraktornya sesuai dengan scope pekerjaan subkontraktornya. Misalnya pekerjaan piling pancang, di dalam kontrak akan ada klausul terkait dengan cacat, keberterimaan dari pile misalnya seperti apa. Itu akan mengacu kepada kontrak utamanya seperti apa, kalau keterlambatan pekerjaan pile karena pekerjaan pondasi itu sangat terpengaruh, keterlambatan di pekerjaan pondasi itu sangat besar mempengaruhi keterlambatan proyek. Kontraktor utama harus melihat bahwa kalau dia dikenakan denda keterlambatan sebesar 1 per mil dia akan mengenakannya juga sama mungkin bahkan lebih tergantung kesepakatan antara subkontraktor dengan kontraktor utamanya. Artinya wajar saja dilakukan oleh kontraktor utama.Risiko harus didiskusikan secara merata, merata itu artinya bukan 50 50, merata itu artinya ke semua pihak yang memang dapat menanggung risiko tersebut. Kontraktor utama itu sudah membayar pekerjaan si subkontraktor, harus menerima risikonya. Sebenarnya risiko itu tidak berarti harus kerugian, risiko itu akan menjadi kerugian apabila itu tidak dapat ditangani, kalau misalnya risiko itu dapat ditangani dapat diantisipasi tentu menjadi opportunities, menjadi benefit.
6. Pertanyaan dari Bapak Jose Rempe'
Pada dasarnya kan proyek konstruksi memiliki banyak risiko yang dapat merugikan kedua belah pihak. Untuk itu, biasanya ada asuransi yang menjamin keberjalanan proyek. Pertama, apabila asuransi ini dibayarkan oleh Kontraktor, dapatkah klaim asuransi tersebut dialihkan kepada pemilik proyek? Dan dalam hal apa dapat dialihkan? Kemudian, pada umumnya apakah asuransi ini mencakup seluruh tahapan konstruksi atau hanya pada tahap tertentu saja?
Jawaban: Umumnya di pekerjaan konstruksi itu kita memakai CR, semua mencakup pekerjaan awal sampai akhir, di dalam dokumen asuransinya sudah dijabarkan apa saja event-event yang kemudian dapat menjadi event yang dapat diklaim sebagai event asuransi. Artinya benefitnya, benefitnya ini justru diambil oleh pemilik proyek, sebenarnya sah-sah saja, karena sebenarnya yang membayar asuransi itu adalah dibayar uang yang diputar dari pekerjaannya, uang dari pemilik proyek. Karena sebenarnya untuk proyek itu adalah yang diasuransikan adalah proyek itu, dan yang membayar proyek itu sebenarnya adalah pemilik proyek. Klaim asuransi terutama unconditional itu bisa memberikan hak bagi pemilik proyek untuk mengklaim asuransi ke pihak penjamin asuransi, pihak bank ataupun pihak lembaga asuransinya untuk meminta. Misalnya kontraktor ini tidak perform, karena yang biasanya memegang form insurance saya itu adalah employer, ini memang wajar dan terjadi. Sebenarnya itu sudah dituangkan dulu di dalam perjanjian asuransinya, sifatnya ini seperti apa, kalau misalnya sifatnya unconditional maka pemilik proyek dapat sewaktu-waktu tanpa ada persetujuan dari kontraktor itu untuk mencairkan klaim asuransinya apabila memang sudah terindikasi dan dapat dibuktikan bahwa kontraktor itu melanggar. Kalau misalnya sifatnya itu conditional, maka employer tidak dapat serta-merta sewenang-wenang untuk mencairkan asuransinya karena harus ada kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi sebelum pencairan klaim asuransi. Misalnya ada persetujuan dari kontraktor, dan lain-lain. Klaimnya itu kapan, dalam hal apa dapat dicairkan, atau dalam hal terkait dengan adanya pelanggaran adanya hal-hal yang kemudian menjadi indikasi dan prestasi dari pihak kontraktor ataupun pihak lainnya. Kontraktor itu misalnya dia tidak bisa menyelesaikan proyek tepat waktu dan kontrak itu akan diakhiri secara sepihak oleh pemilik proyek, oleh karena itu kalau ada asuransinya maka akan diambil.
Kemudian kalau misalnya force majeur atau oleh event-event yang bukan disebabkan oleh kelalaian kedua belah pihak tentu akan ada perhitungannya akan berbeda. Seperti apa yang akan dicairkan oleh asuransi.
7. Pertanyaan dari Bapak Sigit
Bagaimana menyikapi pasal karet dalam Kontrak EPC, di mana Klausul Lumpsum dipakai oleh Owner sebagai senjata untuk meminta penambahan spesifikasi atau volume atau add work untuk menunjang performa/hasil akhir?
Jawaban: Perlu diperjelas dulu lumpsum-nya seperti apa, oleh karena itu di dalam kontrak kalau secara umum lumpsum itu adalah klausul yang memang itu akan memberikan risiko-risiko yang lebih besar kepada kontraktor karena perhitungan lumpsum itu nilai kontrak itu diikat, kalau misalnya unit cost tergantung dengan volume jadi nilai kontrak akhirnya itu masih bisa berkembang atau berubah, tapi kalau lumpsum itu nilai kontraknya diikat sehingga tidak bisa itu harus diubah sehingga kemudian itu menjadi senjata. Maka dari itu pengertian lumpsum dibatasi bahwa memang nilai kontraknya itu tidak boleh berubah tapi sepanjang memang tidak ada juga perubahan terkait dengan scope, terkait dengan spec, atau pekerjaan tambah kurang, karena lumpsum sebaiknya untuk kontrak yang memang sudah fix perhitungannya, gambarnya juga sudah fix baru digunakan lumpsum. Lumpsum ini memang ada plus minus-nya, bagus dalam hal memberikan kepastian bagi employer, saya cuma butuh uang segini untuk proyeknya jadi, bagi kontraktor saya dapat uang segini tergantung saya bagaimana mengelola risiko di dalamnya. Ini menjadi klausul karet kalau misalnya definisi lumpsum-nya itu menjadi kabur. Kalau secara internasional sebenarnya lumpsum itu sudah jelas, cuman di Indonesia itu tidak tahu kenapa masih saja menjadi definisinya itu dikabulkan padahal secara umum kalau misalnya kita merujuk definisi yang benar dia tidak bisa meminta pekerjaan tambah kurang meskipun dia lumpsum. Kalau misalnya dia sistem kontraknya lumpsum kemudian EPC, dan ada negosiasi dan kesepakatan bahwa memang harus ada pekerjaan tambah untuk prospek yang ditambahkann. Maka dari sini sebenarnya masih dapat nilai kontrak itu berubah, tentu berubah dengan melalui addendum, jadi tidak saklek benar-benar harus nilai kontraknya itu tidak boleh berubah. Yang minta penambahan spesifikasi itu siapa, yang meminta pekerjaan tambah itu siapa, sifatnya sesuai saja yang di tegakkan, kontraktor itu mencari uang untuk melakukan pekerjaan, employer juga butuh kontraktor untuk mereka menyelesaikan pekerjaannya, itu akan menjadi aset bagi employer, kalau dia semakin memperlambat pasti akan merugi.
8. Pertanyaan dari Bapak Yallbert Kudus
Mohon pencerahannya terkait kontrak yang Klausalnya berupa "sapu jagat" yang pada umumnya memberatkan Kontraktor, namun ketika adanya Contract Discussion di awal proyek dan rata-rata Client atau Owner keberatan untuk merevisi kontrak tersebut karena berisiko terhadap Client/Owner.
Jawaban: Ini sebenarnya dinamis, owner itu yang memiliki uang dan di Indonesia itu owner masih harus pengertian, pengertian distribusi risiko itu masih belum dipahami. Kalau saya bilang ini sangat bergantung kepada masing-masing pihak, maka dari itu sebenarnya kontraktor itu pun wajib aware dengan kontrak konstruksi, mungkin mereka harusnya kepada tahap negosiasi kontrak itu melibatkan ahli kontrak konstruksi untuk negosiasi kontraknya. Owner juga harus diberikan pengertian bahwa kalau mereka misalnya mendistribusikan semua risiko kepada kontraktor tidak serta merta menjamin mereka akan bebas dari risiko, risiko utamanya employer itu adalah proyek itu tidak selesai tepat waktu dan mereka juga yang akan rugi, lost opportunities dari mereka akan mendapatkan penghasilan resinya dari aset yang seharusnya sudah bisa berjalan. Kontrak itu salah satu tugasnya fungsinya adalah mendistribusikan risiko kepada pihak yang sesuai yang dapat menanganinya. Tidak semua risiko itu harus ditanggung oleh kontraktor, kamu kalau misalnya employer kemudian menang dan memberikan semua risiko kepada kontraktor, saya selaku kontraktor either saya tidak akan mengambil proyek itu atau saya akan mengambil proyek itu dengan me-mark up nilai yang saya tawarkan. Kalau misalnya mereka membaca dari dokumen, ini semuanya dialihkan ke kontraktor pasti mereka akan me-mark up nilai tendernya dan itu akan merugikan employer-nya juga karena dia tidak akan mendapatkan harga tawaran yang kompetitif, maka dari itu ini perlu dipahami oleh employer maupun kontraktor. Dan disinilah peranan alih-alih kontrak konstruksi, teman-teman di sini semua yang belajar kontrak konstruksi sebenarnya seperti apa, tidak ada klausul sapujagat sebenarnya di internasional itu akan merugikan salah satu pihak, pada akhirnya akan memberikan indikasi proyek itu tidak akan selesai.
9. Pertanyaan dari Ibu Fadela Yunian Astianto
Pak, ada contoh draft kontrak yang bagus? Karena saya pernah kerja sama dengan Kontraktor untuk membangun rumah saya, akan tetapi waktu berjalan waktu, struktur, bentuk, dll. sudah di luar kesepakatan. Akan tetapi, karena kita orang yang tidak enakan, kita kasih surat pemberitahuan, kemudian sepakat dengan design baru sesuai struktur yang sudah jadi. Di dalam kontrak baru membatalkan kontrak lama, saya tidak setuju, dan saya minta ganti rugi, dll. tapi malah menghilang itu Kontraktornya.
Jawaban: Kalau saya simak ini mungkin kontraktornya itu adalah kontraktor perorangan atau mandor karena ini menyelesaikan satu rumah dia. Employer itu adalah masyarakatnya sendiri, dia meng-hire mandor dan sebagainya itu banyak terutama di daerah-daerah memang begitu, kontraktornya kontraktor mandor yang mungkin cluster kecil, ini masih bagus karena ada kontraknya kadang itu tidak ada kontak sama sekali. Artinya hanya kesepakatan lisan saja itu tidak bisa, kesepakatan kontrak secara lisan ini kalau kita bangun kecil-kecil seperti ini memang yang paling utama itu adalah trust prinsip kepercayaan, artinya pemilik proyek itu percaya dengan si ini, dia akan mengerjakan proyeknya rumahnya ini dengan baik, dengan spek awal dan sebagainya. Kalau misalnya sudah ada indikasi kemudian katakanlah kondisinya seperti ini, tidak sesuai dengan ketentuan di dalam kontrak di awalnya, gambarnya berubah speknya berubah menjadi lebih buruk bukan berubah menjadi lebih baik ini tentu saya selaku pemilik proyek meskipun pemilik proyek perorangan saya akan menghentikan bahwa saya tidak akan membayar pekerjaan, misalnya saya ada rugi tentu apakah bisa disengketakan ke pengadilan, bisa saja kalau memang sudah ada kontraknya hitam diatas putih. Kalaupun tidak ada kontrak hitam diatas putih mau disengketakan juga bisa saja tetapi tentu proses pengerjaannya akan semakin lama. Umumnya yang terjadi sayangnya itu ini terjadi dan yang dirugikan adalah pemilik proyek termasuk misalnya mandornya menghilang kemudian pekerjaan mandornya itu tidak dibayar oleh si mandor kemudian mereka merusak propertinya ini yang rugi adalah pemilik rumah.
Kalau sudah selesai sudah jelas dia lokasinya di mana bisa dicari atau diminta pertanggungjawabannya karena lokasinya sudah tahu di mana, orangnya di mana. Kalau dia sudah badan hukum itu tentu lebih enak apalagi ada kontraknya, kontrak disengketakan jadi dapat diselesaikan secara hukum diminta ganti rugi bahwa si kontraktor harus membayar ganti rugi pemilik proyek, baik ganti rugi materiil maupun immateriil. Biasanya kerugian materiil berapa ratus juta dan kerugian immateriil bisa sampai miliar. Pentingnya tahap tender itu dilakukan untuk mengevaluasi apakah kontraktor ini beneran, abal-abal atau bagaimana.
10. Pertanyaan dari Bapak Indra Prasetyo
Seringkali salah satu pengertian Keadaan Memaksa atau Force Majeure disebutkan "keadaan atau peristiwa yang memenuhi batasan keadaan memaksa". Apa yang dimaksud keadaan memaksa tersebut? Siapa yang berhak dan kompeten untuk menyatakan keadaan memaksa? Apakah Pandemi Covid-19 termasuk contoh keadaan memaksa tersebu? Apakah di FIDIC ada Klausul-klausul perihal Pandemi karena penyakit yang berpengaruh ke penyelesaian?
Jawaban: Kalau di FIDIC itu sudah ditentukan bahwa pandemi ini adalah force majeure, yang menentukan adalah kedua belah pihak pada saat kontrak karena, biasanya ada klausul force majeure diuraikan apakah ini termasuk force majeure atau tidak. Banyak sekali kontrak itu yang klausul force majeurenya itu misalnya kerusuhan, gempa bumi dan sebagainya memasukkan klausul wabah sebagai peristiwa force majeure, dan ini bagaimana siapa yang menentukan, ini kembali kemudian ke pengertian force majeure itu apa. Kalau misalnya covid ini ternyata memenuhi unsur-unsur peristiwa force majeure maka dia dapat dianggap sebagai peristiwa force majeure, dan berlakulah prosedur force majeure. Itu sudah ditentukan dari awal oleh kedua belah pihak, kalau misalnya kedua belah pihak masih ribut bahwa ini bukan force majeure, di Indonesia kita menganut hukum sipil, itu kita mengacu ke KUH Perdata di dalam sana itu sudah dijelaskan apa yang dimaksud dengan force majeure. Dan kalau misalnya masih sengketa diputuskan oleh pengadilan, hakim yang akan memutuskan ini force majeure atau tidak.
11. Pertanyaan dari Bapak Rahmat Adiwiryanto
Pada saat klarifikasi kontrak biasanya jawaban-jawaban Client mengembalikan kepada Kontraktor, seperti memberikan beban yang banyak seperti tidak ada spesifikasi kita minta dan mereka jawab akan "dibahas pada detail Enginineering", sehingga sangat berisiko terhadap Kontraktor. Bagaimana strategi kontrak untuk kasus Client seperti ini? Bagaimana Risk Management sangat berpengaruh dengan strategi kontrak?
Jawaban: Kalau saya pribadi jika itu diserahkan kembali ke kontraktor bagaimana baiknya itu lebih enak bagi kontraktor kemudian dapat lebih leluasa untuk mengatur terkait dengan permasalahan yang terjadi di lapangan harusnya itu malah justru lebih enak bagi kontraktor. Ini dapat menjadi risiko kalau misalnya kontraktor itu tidak melakukan dokumentasi ataupun notice dengan baik. Kalau misalnya terjadi seperti ini, ini akan sangat enak kalau misalnya kontraktor sudah memiliki sistem dokumentasi dan notifikasi yang baik, pasti dia memberikan pemberitahuan, ini akan dibahas pada detail engineering misalnya, ada indikasi delay atas instruksi. Tinggal diberikan pemberitahuan saja, kontraktor memberikan pemberitahuan bahwa progres pekerjaan ini akan menunggu pembahasan instruksi lebih lanjut dari konsultan MK pada saat detail engineering itu. Itu yang akan menjadi kemudian dasar bagi kontraktor untuk mengklaim biaya extra akibat keterlambatan yang disebabkan oleh kelalaian employer. Kalau saya lihat ini lebih kepada administrasi kontraknya si kontraktor, harus tetap dilakukan administrasi kontrak sesuai dengan porsinya mereka. Strateginya tetap jalankan administrasi kontrak dengan baik. Tentu risk management berpengaruh karena kontrak itu memuat risiko-risiko dan bagaimana distribusi risiko. Notifikasi ini adalah salah satu teknik untuk mendistribusikan risiko itu tadi, menjabarkan dan mendistribusikan risiko ini kepada siapa.
Profil InstrukturSeng Hansen, S.T, M.Sc, Ph.D
Dosen Manajemen dan Rekayasa Konstruksi Universitas Agung Podomoro
Deskripsi Pemateri:
Pendidikan:
• S.T. in Civil & Environmental Engineering (Universitas Gadjah Mada)
• M.Sc. in QS/CCM (Universiti Teknologi Malaysia)
• Ph.D. in Built Environment/Construction Management (RMIT University)
Pengalaman:
• Construction: PT. Waskita Karya (2008 - 2014)
• Academic: Lecturer and researcher at Podomoro University (present)
• Association: KMKKI, IQSI
• Others:
• Writer of several books
• Reviewer for IJCM, JLADR, etc.