1. Pertanyaan dari (Tanpa Nama)
Bagaimana caranya meningkatkan omzet penjualan di era digitalisasi ini, terutama secara online?
Jawaban: Saya punya teorinya, punya konsepnya yang tepat. Karena saya di kuliner, kuliner ini sekarang di zaman digitalisasi kalau yang saya perhatikan yang paling sensitif adalah harga dan rasa. Saya dari Jakarta saya buka cabang di kampung saya di Lampung, saya pakai harga di Jakarta sepi, kalau di daerah itu rupanya orang tidak punya duit kata orang punya duit Akhirnya saya perhatikan Kenapa ini sepi. Saya turunkan harga mulai terlihat Dian saya ciptakan model-model, saya buka YouTube kuliner, saya ciptakan yang heboh-heboh itu, orang milenial ini kan sekarang senangnya yang heboh-heboh. Kemudian itu dulu yang kita ciptakan, harga, rasa, cara. Caranya itu Masuklah ke dunia digital, kita lihat dulu target market kita ini kelas mana, menengah bawah atau Menengah Atas, karena saya mengambil Yang menengah ke bawah maka menengah ke atas itu susah dimotivasi dengan harga murah, mereka bukan mengandalkan Harga tetapi mereka mengandalkan kualitas, kesehatan, kenyamanan dan seterusnya. Maka saya turunkan ke menengah ke bawah, saya ada 40 menu, contohnya saja ayam geprek, paket dengan ayam, tahu, tempe, lalap, sambal, nasi, es teh saya jual Rp35.000 Laris Manis, disini saya turunkan Rp30.000 sepi, saya turunkan lagi menjadi Rp25.000. Mulai datang, pecel lele, caranya banner raksasa saya pasang di depan, semua jus Rp10.000 kurang lebih 2 x 2 meter banner-nya itu juga membantu. Kemudian selama Ramadan ini saya pasang paket hemat sehat selama bulan Ramadan, 25 paket dengan berbagai macam, sup ikan, sup iga, lengkap dengan es teh dan segala macam. Itu adalah strategi-strategi yang harus kita, perilaku pasar ini bukan pasar umum, pasar target market kita, target market kita ini yang mana, Yang menengah ke bawah atau orang kampung atau orang perumahan, itu harus jelas. Jadi kalau sudah tahu target marketnya maka saya mengambil cara digitalnya Ada tiga cara, yang pertama bekerja sama dengan go-food, dengan go-food harganya naik sedikit tidak apa-apa, yang kedua dengan Facebook, yang ketiga dengan mengirimkan blasting email, kemudian yang keempat saya pasang menggunakan voucher diskon. Ada dua macam diskon yang pertama, datang pertama kali dia diskon 25%, kalau nanti datang yang kedua kali minimal belanja Rp100.000 diskonnya 35%, otomatis Setelah dia mendapatkan diskon yang pertama 25% wah ini dia memiliki diskon lagi 35% mau tidak mau dia datang untuk yang kedua kalinya. Jadi cara-cara seperti itu harus kita akali, jadi kita memanfaatkan berbagai macam kehebohan. Jadi heboh itu tidak hanya masakan, rasa, harga, tetapi caranya juga yang heboh, diskon yang luar biasa dan seterusnya. Hal-hal seperti ini perlu kita cermati, harus ada uji coba juga. Yang sudah menjadi pelanggan seharusnya dijaga, dikasih surat, dikasih email, dikasih menu baru, ditawarkan hal yang baru, dan seterusnya. Sedikit demi sedikit tetapi yang penting kalau yang namanya kuliner itu orang menjual Ingatan, menjual memori, memori rasa, memori harga, memori kenyamanan, memori itu penting. Bagaimana dia datang pertama kali, memori dia itu menangkap apa ini penting. Memori dia ini Menangkap apa, menangkap keramahtamahan tidak? menangkap layanan tidak? Memberikan suatu pengalaman-pengalaman yang luar biasa tidak? Itu penting karena setelah datang yang pertama kali dia tertarik dengan berbagai macam promosi, Begitu datang tidak ada memori yang masuk kepada dia itu berbahaya, jadi penting untuk mengelola memori customer. Ketika dia sudah datang pertama kali itu dijaga mati-matian, Bagaimana supaya dia itu terikat.
2. Pertanyaan dari Bapak Karya Sudarman
1) Di Era Revolusi Industri 4.0 ini, masing-masing cerdas sedang dan akan mendominasi pekerjaan yang selama ini ditangani oleh manusia. Bagaimana dengan kondisi SDM di Indonesia yang masih melimpah dan apa solusinya?
2) Konon SDM di Indonesia etos kerjanya belum menggembirakan dibandingkan negara-negara berkembang lainnya di Asia. Apa penyebab dan bagaimana solusinya?
Jawaban:
1) Saya kasih gambaran lulusan S1 Indonesia itu setiap tahun kurang lebih, jumlah total kita ini kurang lebih 9 juta pertahun, jadi kalau 9 juta masuk kemudian yang keluar berapa. Sementara kita lihat jumlah perusahaan, jumlah secara presentase, jumlah perusahaan besar itu kurang lebih hanya 2%. Yang mungkin masuk kedunia industri 4.0 itu hanya 2%, yang 98% itu masih tradisional, ini harus ditangkap, jadi jangan membayangkan seakan-akan 4.0 semua sudah begitu. Jadi yang sekian puluh juta perusahaan itu masih tradisional, jadi seperti Astra, Honda, pokoknya yang teknologi tinggi. Seperti McDonald masuk ke dunia digital dengan sistem online dengan segala macam tetapi itu juga masih banyak manusianya. Tetapi kalau perusahaan yang menengah ke bawah, yang jumlahnya puluhan juta, UKM saja sekitar 6 juta, itu semua membutuhkan tenaga kerja yang bagus untuk bisa membangun mereka. Jadi sebetulnya paradigma pencari kerja paradigma lulusan ini jangan terlalu ingin berorientasi masuk perusahaan besar, kenapa? Karena yang masuk perusahaan besar itu semua sudah mapan, ada lagi ruang untuk pembelajaran, tidak ada lagi ruang untuk rekayasa, tidak ada lagi ruang untuk bisa membuat sesuatu yang baru, tapi justru Masuklah ke perusahaan-perusahaan yang masih berantakan, kalau kita sudah lulus dengan kompetensi itu adalah peluang bagi kita, untuk bisa memenuhi supaya perusahaan itu besar dan di situlah kita berpeluang untuk menjadi orang hebat. Kalau kita masuk di perusahaan yang sudah mapan, sudah digantikan oleh otomatisasi dan digitalisasi segala macam yang mengurangkan tenaga kerja kita disitu hanya menjadi pembantu, pembantu mesin. Robot kerja kita lihatin, Kalau ada masalah kita bantu, ada mesin kerja kita lihatin, ada monitor alat produksi kita lihatin. Tetapi kalau perusahan-perusahan yang masih rendah, yang masih tingkat kompetensinya belum tinggi, belum canggih dalam memanfaatkan teknologi di situ masih banyak peluang untuk perbaikan. Lalu memandang bahwa dunia digitalisasi atau 4.0 ini sudah terjadi di Indonesia, itu belum terjadi, 98% itu masih tradisional.
2) Bayangkan ketika saya menjadi jalan sendiri rektor, cari dosen saja, saya perlu 4-5 dosen, namun saya undang sampai 1000, dari 1000 yang datang itu tidak ada satupun yang saya pilih, yang cocok, lebih banyak etos kerjanya yang saya permasalahkan, emosi, attitude. Seperti gaji berapa, ada libur tidak, kalau awal-awal sudah tanya gaji, liburnya, ini sudah etos kerja tidak akan pernah dipakai. Ketika saya menjadi general manager SDM di perusahaan perkapalan juga sama, banyak attitude-attitude yang membuat perusahaan itu menjadi terhambat untuk maju. Ketika saya ada di Indocement, Salim Grup dengan 6000 karyawan itu juga sama. Jadi pada waktu perusahaan ini dibangun, semua orang itu masuk tanpa seleksi yang ketat, begitu berjalan baru terlihat etos kerjanya, setengah mati, dalam arti orang ini masuk dalam kondisi attitude yang tidak baik, sehingga itu menjadi masalah yang besar bagi perusahaan. Itu sangat penting bagi perusahaan kalau ingin merekrut jangan dulu melihat kompetensi kerasnya, tapi lihat dulu kompetensi lunaknya, termasuk emosi, motivasi, itu penting, karena kalau sudah masuk kalau di keluarkan itu susah di Indonesia ini, padahal yang kita perlukan itu atasnya, itu benar-benar permasalahan besar di bangsa kita itu etos kerja. Sekarang pun karyawan Saya hanya berapa orang, itu yang saya pecat sudah berapa kali ganti-ganti, masih soal kebersihan WC, kebersihan dapur, itu susah diatur. Saya sudah memberi standar, Hotel standar seperti ini, Saya tidak mau ada sampah, dan lain-lain, namun tidak bisa mempertahankan itu. Jadi barangkali ini suatu standar-standar kehidupan yang terkait dengan bangsa kita yang susah untuk dibangun karena budayanya masih budaya yang betul-betul belum tingkat internasional.
3. Pertanyaan dari Bapak Suratno
Tadi dijelaskan ada 10 dimensi yang disebutkan mulai dari nomor urut pertama yaitu dimensi fisik hingga nanti dimensi ke-10. Apakah urutan tersebut menunjukkan urutan secara prioritas?
Jawaban: Kalau tampilan ini bukan urutan, Tetapi kalau kita sedang membangun prestasi, profesi, kita harus tahu urutannya. Jadi masing-masing orang itu tidak sama urutan prioritasnya. Saya mungkin tingkat pengetahuan Saya sudah penuh barangkali, berarti saya tidak bisa menempatkan itu diatas karena sudah penuh. Kalau dari sudut pandang prioritas pengembangannya, maka yang taruh di atas itu adalah yang harus saya kembangkan, penting bagi saya. Cara memandang urutan dan prioritas itu bisa bermacam-macam, bisa sebagai kebutuhan yang paling utama yang mana, bisa juga sebagai prioritas pengembangan yang didahulukan yang mana. Perusahaan juga sama, ketika dia mempekerjakan orang dia juga memiliki urutan prioritasnya. Misalnya Saya memerlukan orang yang dengan ego yang tidak terlalu tinggi. Masing-masing orang itu memiliki orientasi kebutuhan, kalau saya menjadi seorang direktur tingkat tinggi maka saya harus memperbaiki yang mana yang paling Perlu diperbaiki. Jadi dia bukan urutan, jadi ini sebagai satu cara melihat saja, tergantung pada kebutuhan kita dan kebutuhan perusahaan.
4. Pertanyaan dari Bapak Taufik
Apa yang harus dilakukan dan dikembangkan oleh kami sebagai mahasiswa untuk dapat bersaing dalam dunia kerja ke depannya?
Jawaban: Karena saya ini adalah mantan akademisi, mantan Rektor jadi saya tahu persis jumlah jurusan paling banyak di Indonesia itu adalah manajemen, ini sudah salah dari awal. Jadi jumlah jurusan yang paling banyak di Indonesia itu manajemen dan akuntansi. Itu orientasinya orientasi mencari kerja semua, mencari kerja dan mencari ijazah, dan itu sudah salah satu paradigma yang salah dari awal. Apalagi kalau kita lihat Indonesia Timur, saya tidak usah sebutkan daerah mana. "Saya tidak penting ilmu yang penting setelah mendapat ijazah saya mau melamar menjadi PNS", ini lebih parah lagi paradigmanya. Jadi bagaimana sekarang ketika kita kembalikan pada tiga stakeholder. Stakeholder yang pertama adalah pemerintah, pemerintah harus tahu kebutuhan nasional kita kompetensi itu yang mana, Jangan dibuka terus itu yang sudah banyak, dibuka lagi dan dibuka terus karena gampang. Jadi perguruan tinggi juga gampang untuk mencari misalnya untuk mengembangkan Prodi manajemen itu gampang. Dibuka lagi sampai akhirnya sekarang paling banyak pengangguran pertama dari hukum, yang kedua dari manajemen, ketiga dari akuntansi. Oleh karena itu dari pemerintah harusnya dia mengendalikan, dari Kementerian Pendidikan itu menutup semua prodi-prodi yang sudah penuh Jangan dibuka lagi dan dikasih lagi, dikurangi. Yang kedua dari perguruan tinggi, dia harusnya tahu misalnya menciptakan learning outcome, walaupun jurusannya misalnya sama manajemen, tetapi learning out kami harus spesifik. Kalau perguruan tinggi tidak paham dunia kerja, dia tidak tahu yang spesifiknya ini apa di dunia manajemen ini, maka semua Dikasih ilmu-ilmu umum semua, jadi tidak akan pernah ketemu dengan kebutuhan perusahaan. Maka dari itu bagi institusi pendidikan tinggi harusnya link and match, kalau dia buka Prodi manajemen dengan match, terjun ke perusahaan, di mana dia akan menaruh karyawan lulusan dia nanti masuk dalam manajemen yang mana. Dan itulah yang harusnya di perdalam dan dikembangkan dengan sangat luar biasa sehingga menjadi suatu diferensiasi sendiri bagi perguruan tinggi, sehingga nanti lulusannya akan dicari. Yang ketiga tentu saja dari sudutnya sidosen, dosen harus mengerti. Kebanyakan dosen ini yang ngelamar dari lulusan fresh graduate dari S1 lalu langsung masuk S2, lulus S2 langsung jadi dosen, jadi tidak pernah memiliki pengalaman kerja. Lalu mengajar manajemen, ya tidak akan pernah ketemu karena mengajari dari buku sementara perusahaan butuhnya bukan buku. Yang berikutnya dari mahasiswanya ini penting, ini paradigma mahasiswa, tidak bisa manusia ini tergantung dari perguruan tinggi, tidak bisa manusia tergantung pada dosen, tidak bisa manusia tergantung kepada perusahaan, manusia itu harus tergantung pada diri dia sendiri. Saya mau jadi apa, saya mau kerja di mana, Saya mau mencapai apa, Saya mau mendapatkan apa, itu juga harus memikirkan, karena itu dia Harus proaktif mencari apa informasi-informasi di pasar yang kira-kira ada posisi-posisi apa yang sulit dicari orang, saya akan isi itu, jangan cari yang gampang, cari posisi yang perusahaan sulit mencarinya dan saya masuk ke sana. Kita harus dibalik paradigmanya jangan cari yang gampang, cari gampang lulus tidak akan pernah dapat kerjaan, cari yang susah lulus karena dibutuhkan perusahaan dan sedikit untuk masuk ke sana.
5. Pertanyaan dari Bapak Ifan
Mengingat sekarang sedang berkembang era digitalisasi dan perkembangan teknologi dalam dunia kerja, apa menurut Bapak hal yang tepat apabila dilakukan pengurangan jumlah pekerja atau remunerasi? Mengingat, banyak kepentingan yang sudah dapat dikerjakan atau dipangkas dengan teknologi. Lalu, bagaimana caranya mengatasi masalah jumlah ketersediaan SDM yang tidak sebanding dengan jumlah beban kerjanya?
Jawaban: Sekarang ini kita kelebihan tenaga kerja, tetapi kelebihannya bukan kelebihan kompetensi tetapi kelebihan kepala. Kelebihan orang yang sudah lulus untuk bekerja, baik itu SMA atau SMK, Diploma maupun sarjana, tetapi ketika mereka akan mencari pekerjaan tidak langsung klop ketemu, bukan karena tidak ada lowongan, tetapi yang tidak ada adalah matchingnya, matching kebutuhan, jadi kebutuhannya A punyanya B, kebutuhannya 5 punyanya 2. Barangkali inilah yang menjadi satu persoalan bangsa kita, banyak orang 270 juta orang, tingkat pendidikan formalnya itu masih piramidanya piramida, dimana lebih banyak yang lulusan lulusan rendah, SD SMP SMA itu paling banyak. Perguruan tingginya itu paling banyak antara 4 sampai 5%, mungkin sekarang sudah naik, Katakanlah 9%. 9% dari jumlah mahasiswa di seluruh Indonesia perguruan tinggi itu ada 9 juta, setiap tahun itu lulusnya berapa, bayangkan, Apakah setiap tahun Perusahaan kita itu meningkat banyak-banyak seperti itu kan tidak, perusahaan jumlahnya tetap, jadi orang yang direkrut juga tetap. Apalagi zaman yang sedang serba sulit, tidak akan ada pertambahan tenaga kerja. Oleh karena itu jumlah lulusan semakin banyak, sehingga perusahaan itu akan mencari orang-orang yang hebat hebat, tetapi orang-orang yang hebat Ini Membutuhkan suatu daya tarik. Kita tidak boleh memukul rata bahwa di Indonesia dipukul rata harga tenaga kerja murah, itu tidak bisa. Orang-orang yang memiliki kompetensi dia jual akomodasi, dia menjual kompetensi, dia bukan mencari kerja. Ini berbeda ya, orang yang mencari kerja dan orang yang menjual Kompetensi ini adalah dua hal yang berbeda. Kita harus merubah paradigma saya menjual kompetensi kepada perusahaan, kalau perusahaan mau membeli belilah kompetensi saya, Jadi bukan saya mencari pekerjaan. Saya menjual kompetensi saya, Apakah anda butuh? Ini penting sekali bagi mahasiswa, mereka tempat tinggal dosen supaya mereka Memberikan suatu pengertian kepada mahasiswa. Apakah mereka butuh Kompetensi ini, Jadi sekarang siapa yang mau les kompetensi itu? Kita sendiri, menjaga mutu kompetensi kita supaya kita jualan kompetensinya itu laris, semua orang itu tidak sadar bahwa setiap orang itu berjualan kompetensi. Jangan menawarkan badan, jual kompetensi, kalau perusahaan itu merekrut orang yang kompeten. Kalau saya mencari pekerjaan, mohon sana mohon sini, kalau sudah mohon-mohon itu ya sudah bukan jualan, mau atau tidak saya bayar Cuma segini saja yang penting kamu dapat pekerjaan dan dapat makanan aja mau atau tidak, kalau sudah Begitu sudah susah karena dia tidak memiliki kompetensi. Jadi bukan kita tidak butuh tenaga kerja tetapi kita butuh orang-orang yang hebat yang bagus tetapi tentu saja sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Yang dicarinya itu adalah kendalanya banyak, tidak cocok tempat tidak cocok pekerjaan, tidak cocok situasi kondisi dan berbagai macam.
6. Pertanyaan dari Bapak Agus Purwono
Terkait etos kerja yang sudah Bapak sampaikan sebelumnya, ada data atau tidak terkait perihal etos kerja rendah itu atas pernyataan Bapak yang tadi disampaikan?
Jawaban: Karena kita ini orang intelektual dan segala sesuatu itu dasarnya adalah dasar research. Kita bisa research mikro dan makro. Sebagai dosen itu ada yang research makro, research umum, ada juga yang research micro yang dilakukan di suatu perusahaan. Kalau kita mau researchnya mikro, kita research di sebuah perusahaan, kita lihat antara aspek soft dan hard mana yang lebih penting bagi perusahaan, itu sudah dengan mudah dipantau, bisa mudah diukur bisa mudah dilihat. Kalau kebanyakan pembicara-pembicara umum, pembangun motivasi dan semua mengatakan etos kerjanya rendah di aspects soft. Barangkali ini bukannya terka terka, tetapi ini merupakan satu tesis, sesuatu yang sudah mendekati kebenaran bukan asumsi, satu tesis yang sudah mendekati kebenaran bahwa etos ini memang aspek mental bukan aspek fisik. Mental ini dalam 10, intelektual itu masih termasuk mental, pengetahuan itu mental, emosi itu mental, motivasi itu mental, ego itu mental, paradigma itu mental, spiritual itu mental. Jadi kalau dari sini saja sudah kelihatan, Jadi kalau membandingkan fisik paling-paling dengan pengetahuan dibanding dengan 8 yang mental, itu adalah perbandingannya. Logika berpikirnya bahwa, kalau kita bicara yang hak itu hanya fisik dengan pengetahuan, tetapi aspek yang lainnya Itu semuanya mental di situlah persoalannya.
7. Pertanyaan dari Bapak Imron Nasir
Menurut World Economic Forum, daya saing global dalam Global Competitiveness Report 2018 - 2019, trend rankingnya menurun dari urutan 45 menjadi 50. Dibanding Singapura, Malaysia yang semakin kompetitif, menurut Pak Willy faktor apa saja yang menyebabkan daya saing kita semakin merosot? Seberapa besar pengaruh Sertifikasi Kompetensi SDM yang sekarang sedang trend dapat Leveraged SDM Indonesia? Dan pola pikir yang bagaimana untuk menciptakan seorang profesional yang unggul?
Jawaban: Ini terkait dengan ekspor, kita harus tahu ketika kita bicara di ekonomi, ekonomi kita ini salah satunya adalah karena ekspornya, pemasukan devisa kena ekspor. Ekspor ini juga kita bisa bagi menjadi ekspor barang-barang tambang, mineral dengan barang-barang produksi. Kalau barang-barang tambang itu mungkin masalah kualitas itu bukan masalah yang terlalu signifikan, tapi kalau barang-barang produksi itu masalah kualitas itu termasuk hal yang sangat kritis. Kita harus melihat dalam totalitas Ekspor kita, paling banyak Kita mengekspor ke mana dan barang apa. Kalau kita bicara barang tambang itu kita berusaha singkirkan misalnya minyak, kayu, batubara, masalah mutunya barangkali ada tetapi tidak terlalu signifikan. Tetapi kalau masalahnya dia diekspor yang barang-barang buatan, produksi itu masalah kualitas. Misalnya hasil bumi, hasil produksi, hasil pengolahan, hasil proses, hasil laut, bahkan hasil laut pun itu adalah masalah kualitas itu penting. Indonesia termasuk negara yang kurang memperhatikan masalah kualitas, Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak memperhatikan kualitas. Jadi salah satunya adalah karena kita tidak bisa memenuhi kualitas waktu saya jadi konsultan banyak produk dikembalikan, retur, masalah kualitas, masalah keterlambatan. Bahkan barang teknologi seperti misalnya pintu masuk ke kapal itu, saya sampai di sewa sama perusahaan, pak ini tolong dibenahi masalah mutunya. Mengetahui ekspor itu masalah kualitas yang kedua tentu saja masalah biaya transportasi, kecepatan pengiriman, dan seterusnya. Karena itu ketika kita berbicara ekspor ke luar negeri yang terkait barang-barang itu nomor satu yang harus dijaga adalah kualitas, komitmen ketepatan waktu pengiriman, dan respon-respon. Respon-respon ini penting, karena begitu kita direspon, tidak menjawab, "Barang saya kok belum sampai-sampai bagaimana?" nunggu jawabannya saja harus tanya dulu ke mana, sudah terlambat orang sudah kesal, begitu sampai barangnya tidak sesuai spesifikasi. Dan itu adalah hal yang paling pokok Ketika kita bicara ekspor adalah kualitas, kualitas, kualitas. Karena itu kita harus tahu ketika berbicara Ekspor kita bicara ekspor yang mana. Apalagi kalau ekspornya itu ekspor dari UKM, itu lebih lagi, lebih parah lagi itu, karena mereka tidak ada mekanisme pengendalian mutu yang baik dan itu berbahaya, Oleh karena itu mereka tidak percaya. Oleh karena itu dulu ketika perusahaan-perusahaan masalah mutu ini banjir, masalah mutu ini sedang susah susahnya maka diwajibkan dengan ISO 9001, dst, karena mereka tidak mau rugi, daripada nanti perusahaan yang bermasalah menerima barang dari perusahaan yang tidak memiliki ISO jadi saya terima dari yang sudah memiliki ISO saja. Sekarang Coba Siapa yang bisa mengembangkan ISO dari 5 juta perusahaan Itu? Apa mampu atau tidak 5 juta barusan itu mengembangkan ISO semua? Kalau mereka mampu semua saya kalah karena saya konsultan ISO, jadi tidak mampu kan. Akhirnya masalah mutu ini menjadi masalah yang sangat mendasar bagi dunia produksi kita di Indonesia, kalau kita berbicara ekspor.
8. Pertanyaan dari (Tanpa Nama)
Terkait manajemen waktu, bagaimana caranya untuk bisa memanajemen waktu yang baik?
Jawaban: Kita berbicara tentang manajemen waktu ini dari sudut perusahaan dan sudut individu. Kalau dari sudut individu ini namanya tadi, Mengapa saya berbicara bahwa penting paradigma, itu paradigma itu Karena dia sudah menjadi navigasi kita. Jadi kalau paradigma kita sudah kita bangun dengan benar maka dia menjadi navigasi atau menjadi Kompas, mana yang penting dalam kehidupan saya, ada yang harus saya kerjakan, mana yang harus saya tinggalkan, mana yang harus saya prioritaskan, semua dijawab oleh paradigma kita, jadi tidak semua harus kita kerjakan karena kita punya paradigma, hidup saya ini untuk apa, tujuan hidup kita ini kemana, cita-cita saya apa. Apakah ini terkait dengan tujuan utama saya, kalau tidak buang, jadi kita harus punya paradigma dan paradigma itulah menjadi poin dimana kita memandang Segala persoalan yang kita hadapi dan disitulah kita bisa mengambil keputusan, mana yang harus saya prioritaskan. Waktu yang kita miliki semua itu sama, 1 orang itu 1 Hari 24 Jam, yang 8 jam tidur, yang 8 jam lagi untuk berbagai macam, berbagai macam itulah yang harus kita lihat satu persatu, yang satu lagi untuk profesi kita. Yang tidur sudah jangan diganggu gugat karena nanti tidak sehat, 7 jam tidur, yang macam-macam itu masak, ngobrol, nonton TV, dan lain-lain, yang profesi pun ada, 7 jam misalnya profesi, kalau saya seorang dokter 7 jam itu harus dimanfaatkan untuk belajar, melayani, segala macam. Sehingga kalau kita ingin mengelola waktu maka kelola lah yang memang bisa dikelola sesuai dengan paradigma kita untuk mengelolanya itu.
Profil InstrukturDr. Willy Susilo, S.Pd, MBA
Praktisi HRD
Deskripsi Pemateri: