[Tanya Jawab] Financial Statement
1. Pertanyaan dari Ibu Dessy Indie
Saham reference itu besaran per tahunnya bagaimana cara menghitungnya? Ketika kapan dikeluarkan?
Jawaban dari Nara Sumber: Jadi saham reference itu tergantung dari perusahaannya, jadi dia mau mengeluarkan seberapa besar. Jadi ketika Perusahaan kita perlu modal, perusahaan kita punya dua, bisa pinjam atau bisa mengeluarkan saham, ketika mengeluarkan saham itu juga ada pilihannya. Pilihannya adalah kita mengeluarkan saham reference atau mengeluarkan saham biasa (common stock) tentunya besarnya saham ini tergantung dari kebijakan perusahaan, tadi kita melihat struktur kapital dari perusahaan dekomposisinya mau sebesar apa. Jadi kita mau lihat nanti apakah banyak di hutang jangka panjangnya atau di saham referencenya atau di saham biasanya, itu harus dihitung oleh perusahaan supaya mendapatkan biaya yang paling murah. Cost of capital tadi harus murah, cost of capital dihitung dari capital structure-nya tadi. Salah satu pembentuk capital structure adalah saham reference ini, jadi tentunya hitungannya tidak semudah itu. Jadi kita harus hitung dulu sebenarnya kita ingin punya cost of capital berapa, target perusahaan ingin punya cost of capital berapa setelah itu baru kita adjust ke struktur capital kita, yang mana struktur capital yang bisa menunjang cost of capital yang diinginkan oleh perusahaan. Jadi hitungannya tergantung dari seberapa besar cost of capital yang ditetapkan oleh perusahaan, ada hitungannya tetapi saya tidak mengajarkan hitungannya di sini tetapi mungkin di pertemuan berikutnya di training berikutnya untuk cost of capitalnya karena lumayan panjang cukup memakan waktu. Kapan dikeluarkan? Mungkin ini devidennya, kalau bayar di devidennya itu tiap tahun harus dikeluarkan tergantung dari perusahaannya. Jadi perusahaan memiliki kebebasan untuk mengeluarkan deviden itu sepanjang tahun, jadi bisa bulan Maret, April atau November itu terserah kepada perusahaan tetapi satu tahun sekali. Jadi tergantung kepada perusahaan tetapi biasanya setahun sekali, jadi tiap-tiap perusahaan itu punya kebiasaan jadi bulan membayarnya bisa berbeda-beda.
2. Pertanyaan dari Ibu Dessy Indie
Maksud saya seperti ini, jadi si pemberi saham itu pastinya mengharapkan pengembalian dari apa yang dia taruh, itu pengembalian dari perusahaannya itu dicicil tahunan ataukah begitu ada keuntungan langsung dibayar semuanya?
Jawaban dari Nara Sumber: Bedanya tadi hutang dengan saham referensi ini atau saham, jadi kalau saham ini baru dibayar kalau ada keuntungan. Jadi kalau perusahaan punya keuntungan baru dibayar, kalau kita lihat laporan tadi dari laba rugi ini setelah perusahaan bayar pajak, perusahaan wajib bayar reference jadi kalau masih ada uangnya atau masih ada labanya itu harus dibayar dulu ke saham reference. Kalau misalkan perusahaan tidak ada labanya untuk saham reference berarti dia ditunda, jadi tahun ini tidak dikeluarkan dulu jadi ditunggu sampai perusahaan mempunyai laba yang cukup untuk membayar saham referencenya, jadi nanti sifatnya akumulasi. Misalnya Bu Desi memegang saham referensi dari 1 perusahaan, misalkan tahun ini tidak dibayar nanti tahun depan itu dibayar dua kali untuk tahun yang belum dibayar dan tahun yang sedang berjalan. Jadi kalau saham reference selalu akumulasi, kalau perusahaan tidak berhasil membayar di tahun yang sedang berjalan ditunda sampai tahun berikutnya berbeda dengan saham biasa. Kalau saham biasa perusahaan tidak mempunyai kewajiban untuk bayar, kalau tidak ada laba tidak dibayar dan pemegang saham biasa juga tidak mempunyai hak untuk menuntut harus dibayar itu tidak ada di aturannya hanya untuk saham referensi saja. Jadi ketika perusahaan mempunyai laba, kalau misalkan tidak ada itu ditunda.
3. Pertanyaan dari Bapak Satria Budiman
Adakah pengaruh dari perubahan nilai saham (ekuitas) perusahaan yg naik atau turun terhadap kondisi keuangan atau operasional perusahaan?
Misalnya ada isu atau rumor yang berpengaruh besar terhadap nilai saham hingga nilai saham jatuh bebas.
Jawaban dari Nara Sumber: Kalau pengaruhnya dari nilai saham ini kalau sudah dijual beli di luar sudah masuk ke pasar sekunder, secara operasionalnya jadi sebenarnya uang itu sudah ada di perusahaan ini cuma sifatnya menjadi nilai dari perusahaannya. Ini kita berbicara tentang nilai perusahaannya, jadi kalau kita bicara tentang saham yang naik turun itu kita berbicara tentang nilai perusahaannya. Jadi kita bisa menilai perusahaan itu tergantung dari investornya tergantung dari pasarnya, kalau pasarnya sangat confident terhadap suatu perusahaan sangat senang dengan suatu perusahaan sehingga harga sahamnya bisa naik karena orang sangat suka adanya saham tersebut akhirnya nilai sahamnya naik, kalau nilai sahamnya naik flow perusahaannya juga akan jadi naik itu berbicara tentang nilai. Kalau kita berbicara tentang operasional itu berbeda dengan nilai perusahaannya yang tadi, operasional itu operasional sendiri jadi ini istilahnya seperti kita mengimajinasikan terhadap suatu barang, kita bisa melihat barang itu sebagai over value atau under value jadi kita bisa naikkan harganya, ini barang terlalu murah harganya harusnya sekian itu kita berbicara tentang sahamnya nilai dari perusahaannya tapi kalau kita berbicara tentang operasionalnya itu berbeda lagi. Operasionalnya itu sebenarnya bicara tentang nilai sebenarnya atau Book value-nya nilai sebenarnya dari perusahaan tersebut. Jadi tidak ada hubungannya dengan naik turunnya saham tetap saja perusahaan harus beroperasi dari situ dengan dana-dana yang ada, jadi dari sudut pandang yang berbeda yang satu kita melihat nilainya dan satu lagi kita melihat operasionalnya.
4. Pertanyaan dari Ibu Chauliah Fatma Putri
Bagaimana tentang value atau lebih kepada image perusahaan, apakah dapat dimasukkan ke dalam laporan keuangan sebagai suatu bentuk asset yang dilaporkan secara annual?
Jawaban dari Nara Sumber: Jadi perusahaan itu ada dua, ketika kita ingin value perusahaan itu ada yang disebut dengan book value berdasarkan benar-benar kinerja perusahaan tadi laporan keuangannya yang tadi itu adalah book valuenya, ada tadi image dari orang dari investor dari pemegang saham itu adalah value yang dilihat dari luar. Jadi perusahaan harus melaporkan book value nya, jadi yang sesungguhnya seperti apa sesuai dengan kinerja dari laporan keuangan yang tadi, laba ruginya, neracanya itu adalah yang disebut dengan laporan atau nilai perusahaan secara book value-nya. Sementara kalau tadi yang di luar tadi itu adalah image dari pasar bisa memiliki sentimen atau misalkan senang sekali atau tidak senang itu tergantung dari pasarnya dan itu juga bisa menaikkan image-nya menaikkan nilai dari perusahaannya itu sendiri.
5. Pertanyaan dari Ibu Wenny K
Mohon penjelasannya, kalau untuk perusahaan jasa yg assetnya mayoritas adalah SDM, kira-kira ratio apa yg paling penting untuk dianalisa? apakah ratio seperti ROA, total asset turnover juga penting?
Jawaban dari Nara Sumber: Jadi kalau yang mayoritas assetnya adalah SDM iya, SDM itu misalkan masuk ke dalam assetnya kita bisa melihat dari produktivitas dari SDM-nya, jadi seberapa besar kualitas dari SDM kita kemudian produktivitas output dari SDM kita itu bisa kita lihat disana. Walaupun sebenarnya ini untuk perusahaan jasa jadi kita melihatnya dari kualitas dan output dari SDM kita, jadi bisa menggunakan rasio seperti return on asset lalu total asset turnover juga penting dan itu juga semuanya tercatat dari output output yang dihasilkan oleh SDM kita seberapa banyak dan tentunya perusahaan-perusahaan itu punya target perencanaan. Misalkan tahun ini punya targetnya berapa itu kita bandingkan juga dengan targetnya itu selain dari dilihat dari rasio-rasionya tadi.
6. Pertanyaan dari Ibu Wenny K
Sebenarnya ingin tahu kalau misalnya misalnya mau membandingkan sesama perusahaan jasa dalam industri yang sejenis itu apakah cukup membandingkan rasio-rasio dari kinerja seperti profitability ratio, solvablitiry ratio, liquidity ratio atau ada hal-hal lain yang perlu dianalisa? Apakah cukup melihat rasio-rasio keungan ini saja atau perlu hal-hal lain yang perlu dilihat juga?
Jawaban dari Nara Sumber: Rasio-rasio ini tentunya kalau kita punya data dari perusahaan itu tentunya akan bagus sekali karena kita bisa jadi benchmark, yang masalahnya kadang-kadang kita tidak punya data dari perusahaan yang kita mau benchmark sehingga kita melakukan rasio juga agak sulit. Mungkin kita bisa menganalisis secara fisiknya saja kurang lebih seperti apa, jadi karena memang benar kalau misalkan ini datanya semuanya ada itu akan bagus sekali dan kita akan langsung bisa benchmark kita bisa membandingkan antara perusahaan kita dan perusahaan lain dan kompetitor kita, tapi kalau misalkan tidak ada artinya kita harus melakukan analisis dari sisi yang lain. Paling tidak kita melihat dari tingkat konsumennya atau pasar-pasarnya dia, seberapa besar pasar-pasar dia, seberapa banyak pegawainya dia itu bisa kita jadikan perbandingan. Tidak ada di analisis rasio keuangan kita tetapi kita melihat dari sisi yang lain yang kita bisa kita dapatkan datanya walaupun datanya itu kita lihat dari luar, kita bisa kira-kira.
7. Pertanyaan dari Bapak Harry Surwianto Sutomo
Apakah ada korelasi matematis hubungan antara ketiga jenis laporan keuangan tersebut?
Jawaban dari Nara Sumber: Kalau korelasi matematika ada pasti, jadi memang ada hubungannya antara neraca antara laba rugi, cash flow itu semuanya diturunkan dari laba rugi dan neraca, kemudian ada informasi dari neraca yang diambil juga dari laba rugi, jadi memang saling berhubungan tiga laporan tadi.
Profil InstrukturDr. Sinta Aryani, ST, MAIS, IPU
Dosen Teknik Industri Telkom University
Deskripsi Pemateri:
PENDIDIKAN
S1, Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung, 1992
S2, Bisnis dan Ekonomi, Oregon State University, 2000
S3, Ilmu Manajemen, Institut Teknologi Bandung, 2021
PEKERJAAN
·Part-time Faculty at School of Business and Management, August 2016 – Now
·Full-time Faculty at Telkom University, January 2015 – Now
·New Business Starter/Owner: Bandung-Lembang, December 2009 – 2016
·Industry Advisor at SENADA Indonesia Competitiveness, a program funded project by USAID, Bandung-Jakarta, June 2007 - July 2009
·Relationship Manager at SENADA Indonesia, a competitiveness program funded project by USAID, Bandung, May 2006 - May 2007