1. Pertanyaan dari Bapak Farid Affandi
Bagaimana untuk Manage Cost Estimate untuk Proyek EPC, di mana kondisi harga fluktuasi karena Covid Geopolitik?
Jawaban: Tadi saya sudah paparkan, kita ini ada yang uncertain ada yang certain, yang tidak ditentukan itu masalah moneter, moneter dunia atau ekonomi makro, ekonomi mikro. Mungkin di proyek-proyek yang lain kita tidak memperhitungkan itu tetapi sebagai PM EPC karena kita berkaitan dengan pabrikan, Principal-Principal luar negeri itu kita harus banyak menggali informasi mungkin dari link-link yang sudah ada maupun link-link yang baru dari Principal dan pabrikan-pabrikan misalkan di bagian peraturan-peraturan. Misalnya Uni Eropa mengeluarkan peraturan moneterinya seperti apa, kalau kita impor dari Inggris, Jerman, Belanda, dll, itu dari awal kita harus identifikasi dulu itu semua. Jadi tidak bisa kita menerima penawaran dari mereka dengan term of condition, itu term of condition dari penawaran harga proposal yang diajukan mereka itu tidak detail menyatakan dalam masalah-masalah moneter juga. Fluktuasi-fluktuasi moneter, biasanya setiap perusahaan itu ada yang mengkaji itu, mengkaji iklim moneter dunia, sehingga di bulan keberapa nanti akan terjadi kenaikan kurs, perubahan kurs akibat-akibat dari percaturan politik dunia. Itu memang agak dalam kajiannya, tidak hanya menerima proposal langsung "Oh sekian pembayarannya, 15 bulan lagi" 15 bulan lagi kita sudah bisa forecast. Forecast pembiayaannya dengan iklim moneteri dunia dan perjalanan fluktuasi kurs yang sering saya bilang tadi, nilai tukar tadi terhadap iklim monitoring dunia. Proyek EPC ini memang agak dalam kajian-kajian perencanaan biayanya, dalam menentukan biaya itu sangat detail sekali, kemudian ekonomi tekniknya pun sangat banyak digunakan di sini.
2. Pertanyaan dari Bapak Rahmat Hidayat
Sejauh pengalaman Pak Mairizal, berapa persen Intangible atau Tactical Cost terhadap Overall Cost dan Fee EPC Project?
Jawaban: Kalau yang saya jalani ini tidak lebih dari 3% dari bayar cost, idealnya dibawah 2. Kalau kita level kan item pekerjaan itu dengan biaya-biaya itu sampai 7 sampai 8 digit kebelakang itu detail sekali, itu akan terlihat nanti. Itu nanti kontigensi nya pun, biaya-biaya yang muncul di akibatkan apa saja. Dari uncertain itu akan kelihatan disitu tapi idealnya dibawah 2.
3. Pertanyaan dari Bapak Rudi Adolf Sihombing
Schedule vs. Cost selalu terkait, Pak. Cepat Cost, Lambat Cost. Dan tidak ada proyek yang dapat tepat 100%. Berapa toleransi Cost yang dapat diterima untuk ini?
Jawaban: Biaya toleransi itu biasanya standarnya itu yang menentukan perusahaan, masing-masing perusahaan memiliki standar yang berbeda-beda. Mungkin ada yang mentoleransikan 5%, ada yang mentoleransikan 3%, itu kebijakan direksi direksi perusahaan masing-masing, karena mereka sudah mencadangkan toleransi itu terhadap deviasi yang muncul, maupun terhadap waktu, pembiayaan, itu menyangkut terhadap polisi Manajemen perusahaan. Jadi tidak ada yang standar secara umum misalnya standar 5% itu tidak ada.
Kalau dari institusi kalau kita mengacu kepada PMBOK itu nilainya 1 misalnya, atau schedule ahead berarti indeksnya dibawah 1, misalnya seperti itu, jadi hubungannya tidak linear, berbanding terbalik antara cost dan schedule, berbanding terbalik indeksnya.
4. Pertanyaan dari Ibu Nadhifah Hidayati
Bilamana proyek berjalan secara Lumpsum, terdapat perubahan desain di lapangan terhadap Gambar Approval yang berakibat pembengkakan Cost, apakah bisa mengajukan kerja tambah? Dengan kata lain, apakah Proyek Lumpsum bisa mengklaim kerja tambah kepada Owner?
Jawaban: Kalau lumpsum mau lebih mau kurang itu sudah diikat di dalam lumpsum itu tergantung jenis kontraknya, kalau kontrak lumpsum idealnya tidak bisa mengajukan tambah kurang kecuali dia unit price. Kalau lumpsum itu kita sudah harus pintar-pintar jangan sampai lebih, dari 1 LS itu kita harus pintar-pintar, secara engineering kita melakukan value engineering di dalamnya, dll. Optimasi desain sangat berperan di situ karena dia lumpsum. Karena lumpsum-nya itu, biasanya kontrak EPC dia mengacu kepada output dari produk kita, outputnya apa, misalnya pembangkit dalam megawatt, semen dalam ton per hour. Misalnya pabrik kelapa sawit mengacu pada ton per hour produksinya, ada item-item yang di lumpsum-kan itu pintar pintarnya engineers kita melakukan value engineering dan optimasi.
5. Pertanyaan dari Bapak Agung Suryolaksana
Tadi secara statistik 30% Project EPC itu ada Cost Over Run. Faktor dominan apa terbesar, Pak? Mohon pencerahan.
Jawaban: Berdasarkan data McKinsey sudah menghimpun dari berbagai belahan dunia terhadap research mereka, terhadap cost overrun itu over budget itu biasanya yang pertama adalah exchange rate situasi politik dunia. Seperti sekarang ini politik dunia, kalau pandemic kita tidak pernah mengestimasi sebelumnya, tapi yang paling banyak exchange rate ini pengaruh-pengaruh dari politik dunia, kiprah kiprahnya negara adidaya, adikuasa, membuat suatu kebijakan moneter itu berdampak kepada exchange, jadi dari yang saya tahu perubahan terbesarnya itu dari exchange rate. Yang kedua dari perubahan-perubahan spesifikasi yang tadi Pak Rahmat sampaikan tadi, juga merupakan komponen pembengkakan biaya yang muncul dalam perjalanan proyek, karena ada perubahan-perubahan spesifikasi yang mengacu pada teknologi-teknologi yang di insert atau yang di develop selama pekerjaan, yang mana DED itu di review ulang kemudian akan terjadi penambahan biaya, dari situ perubahan spesifikasi atau improvement-improvement yang dilakukan terhadap critical-critical equipment. Kalau yang aksesoris mungkin tidak terlalu nambah tapi critical equipment dari setiap proyek-proyek itu biayanya cukup besar, terutama kalau critical equipment mechanical itu bisa saja ada yang 30%, atau 20% sendiri biayanya, kalau itu berubah sangat amat dahsyat pengaruhnya terhadap manajemen pembiayaan proyek.
6. Pertanyaan dari Ibu Berliana Cahya
Seberapa detail Level Breakdown untuk Schedule Proyek agar Cost dapat terkontrol dengan efektif, Pak? Alias, tidak kecolongan Cost tidak terduga.
Jawaban: Ada proyek itu yang common, yang common itu sampai diturunkan WBS-nya menjadi 7, 7 level dari schedule. Tapi ada juga untuk melihat secara mendalam, bisa diturunkan sampai level 8, dia perlu melihat beberapa digit terakhir yang tidak terlihat. Misalkan kita biasanya dalam ratusan ribu rupiah, kita bisa detailkan lagi sampai level 8 mungkin dalam pembiayaan-pembiayaan secara jam kejam setiap harinya terhadap pengguna sumber daya.
7. Pertanyaan dari Bapak Rahmat
Berapa KPI yang bisa kita set di awal jika kita ingin menentukan bahwa lokal konten kita itu tidak lebih dari target yang ditentukan? Anggaplah kita mengambil contoh Proyek Migas. Aturan minimal lokal konten kita untuk nilai yang berapa Juta Dolar, anggaplah 30%. Kalau yang Ratus Dolar harus 70%. Sejauh pengalaman Pak Mairizal, terkait dengan Tactical dan Intangible Cost ini menyentuh angka 2% itu, apakah sudah aman untuk lokal konten? Karena itu akan diaudit lebih detail lagi sampai dengan ke BPK, bahkan sampai ke Auditor Independen.
Jawaban: Seperti yang Bapak sebut di Migas itu, setiap kelompok orang luar, barang impor terhadap lokal konten itu ter-klasterisasi. Tapi sepanjang yang saya tahu yang ter-klasterisasi itu tidak ada indeks vektor yang dijadikan standar, tapi itu berdasarkan kalkulasi yang dibuat oleh analis keuangan perusahaan masing-masing. Saya tidak terlalu mendalami masalah peraturan lokal konten TKDN yang diterapkan oleh Kementerian Perdagangan, Saya juga tidak ingat lagi karena sudah lama. Kalau secara regulasi memang ada, tapi yang secara regulasi itu tidak mentah-mentah diaplikasikan di setiap perusahaan, pasti perusahaan melakukan analisis-analisis lagi pada kebijakan itu terhadap dampa- dampak keuangan yang terjadi di Perusahaan. Bisa 2% itu aman atau tidak belum tahu juga, contohnya dari klasterisasi material apa, atau intangible-intangible yang ditimbulkan dari misalkan semakin rendah lokal konten, yang pasti intangible-intangible yang akan muncul itu dari risiko biaya itu akan lebih tinggi. Jadi saya belum melihat standar indeks yang merupakan standar yang digunakan seragam di seluruh perusahaan, tidak pernah saya melihat yang seperti itu.
8. Pertanyaan dari Bapak Mesra Eza
Kalau EPC itu tagihan dari Kontraktor ke Owner seperti apa?
Jawaban: Menagihnya biasanya mereka ada per-milestone dari parsial sistem, ada yang mantri juga. Tapi yang common rata-rata melakukan secara mantri, ada juga secara milestone, kalau milestone belum tercapai dia belum boleh nagih tergantung kriteria-kriteria klausul pembayaran yang dibuat dalam proyek.
Tanggapan dari Bapak Mesra Eza: Item-item pekerjaan seperti apa yang biasanya ditagihkan Mantri? Pekerjaan seperti apa yang ditagihkan itu dasarnya masuk?
Jawaban: Kalau mantri ini biasanya pekerjaan pendukung, kalau pekerjaan utama biasanya milestone, kalau dia belum komplit dia tidak bisa dibayarkan kalau milestone, karena dia tidak bisa difungsikan secara parsial.
9. Pertanyaan dari Bapak Mesra Eza
Kalau EPC Kontrak ini, Mostly Owner-nya tidak punya Knowledge yang cukup untuk Konstruksi. Bagaimana mengakomodir keinginan-keinginan Owner? Apakah semua itu melewati EPC Kontraktor? Tapi, menyiapkan semua sewaktu mereka Tender EPC itu berarti mereka meng-Hire Konsultan lagi?
Jawaban: Ada juga yang menggunakan konsultan tetapi itu pun dia biasanya mereka merencanakan sebuah preliminary design dalam bentuk Time of reference atau thor, mereka menggunakan jasa institusi maupun jasa individu dari advertise.
Pengalaman saya ada owner itu meng-hire, pertama mungkin meng-hire sebagian kecil dari yang prinsip-prinsip untuk melahirkan thor dan preliminary design. Lalu sepanjang perjalanan proyek juga ada meng-hire expert atau institusi bilamana resource yang ada tidak cukup untuk kontrol dan monitoring, jadi tidak baku, tergantung kemampuan owner dalam mempekerjakan, biasanya merekrut non permanen dalam waktu tertentu, tapi hanya memantau secara garis besar, tapi dalam perjalanannya melakukan pengujian dengan lembaga sertifikasi dari output-output yang terjadi secara parsial maupun secara komplit sistem.
Profil InstrukturDr.-Eng. Ir. Mairizal, ST., MT., IPU., CSO., ASEAN Eng.
Practitioner, Researcher, & Lecturer
Deskripsi Pemateri:
Education :
Bachelor Degree in Civil Engineering (Univ. Bung Hatta), 1995
Master Degree in Industrial Engineering (Inst. Sains & Tek. Nasional), 2016
Engineering Doctorate in Civil Engineering (Univ. Teknologi Malaysia), 2020
Experiences :
* University of Indonesia as Associate Lecturer
* Pamulang University as Lecturer & Researcher
* Universiti Teknologi Malaysia as Researcher & Asst. Professor
* Universiti Tun Hossein Onn Malaysia as Visiting Lecturer & Co-Supervisor
* Politeknik Negeri Malaysia as External Examiner
* Emerald Insight Publisher as Q1 Scopus Reviewer
* Malaysian Construction Research Journal as Q4 Scopus Reviewer
* Various positions in various companies since 1985