1. Pertanyaan dari Bapak Basuki
Apakah ada Peraturan Pemerintah yang mengatur proses dan besaran pembayaran Kontraktor? Sebagai contoh untuk BUMN, untuk pengadaan barang skemanya 90% setelah barang jadi dan 10% setelah Commissioning. Sementara, Kontraktor harus melakukan 100% pembayaran di awal untuk pengiriman barang untuk mendapatkan pembayaran 90% ke Klien. Hal ini saya rasa tidak fair.
Jawaban: Kalau ini tentu mungkin sudah ada peraturannya. Saya sepakat dengan pendapatnya pak Basuki bahwa ini ada indikasi tidak fair. Kontraktor sudah menyelesaikan pekerjaan misalnya untuk 100% tapi baru dibayarkan 90% dan sisanya 10% setelah komisioning. Tapi ini tergantung dengan negosiasi di awal kontrak, terutama kalau misalnya ini sudah menjadi peraturan, artinya sudah proyek pemerintah, kemudian ada peraturan yang memang menegaskan hal tersebut untuk proyek pemerintah, mau tidak mau bagi kontraktor untuk memenuhi dan melaksanakan sesuai dengan peraturan tersebut. Kalau untuk peraturannya maaf saya belum mengecek, bisa jadi ini adalah mekanisme yang dilakukan oleh PPK nya atau memang sebenarnya sudah ada peraturan bahwa harus seperti itu. Tapi pada prinsipnya sebenarnya memang ini ada indikasi tidak fair karena seharusnya Apa yang di diterima, yang dibayarkan kepada kontraktor adalah apa yang sudah kontraktor lakukan di lapangan, sesuai dengan prestasinya. Tetapi kalau memang kita cek dan ada peraturannya seperti itu berarti memang, kemudian setelah dituangkan dalam kontraknya itu juga diikuti seperti itu berarti memang harus diikuti dan dilaksanakan. Kalau untuk proyek-proyek fakta, tentu ini tidak menjadi isu karena tidak ada peraturan yang terkait dengan itu. Tergantung dengan negosiasi di awal, semua kembali ke negosiasi di awal kontrak seperti apa untuk masalah pembayarannya ini. Seperti yang tadi telah saya sampaikan, umumnya yang fair adalah pembayaran dilakukan atas prestasi si kontraktor, apakah terkadang kemudian dilakukan pemotongan reduction, ini tentu juga disepakati di awal, kalau misalnya sudah sepakati di awal dan dan kemudian dituangkan di dalam kontrak maka kita tidak bisa lagi mengatakan itu fair atau tidak fair karena itu sudah disepakati di awal, sudah ditandatangani di dalam kontrak. Artinya bahwa kita mungkin di pihak luar mengatakan itu tidak fair, tetapi bagi kontraktor itu sudah mengetahui, sudah mengidentifikasi risiko terkait dengan pemotongan tersebut di dalam pembayarannya. Pada akhirnya si kontraktor akan tetap menerima 100% atas prestasi pekerjaannya. Seperti di pemaparan saya tadi bahwa masalah pemotongan ini benar-benar ditegaskan dan di clear-kan di awal pada saat negosiasi kontrak, misalnya besaran potongan, ditahan 10% dan lain sebagainya, ini sedikit banyak mempengaruhi cash flow kontraktor, kalau misalnya kontraktor nya itu besar dia punya pemodal besar, dia tidak terlalu terpengaruh dengan adanya reduction itu, toh pada akhirnya dia akan menerima 100%. Tetapi kalau untuk kontraktor kecil, kemudian dia melakukan proyek pemerintah ini akan sangat berpengaruh ke cash flownya dia. Negosiasi di awal diperjelas, ada aanwijzing ditanyakan maksudnya apa supaya clear, kalau sudah dijadikan kontrak kita tidak bisa ngapa-ngapain lagi, karena itu artinya bahwa kontraktor sudah menerima risiko, karena kontrak itu adalah distribusi risiko, bahwa ada risiko kontraktor untuk ditahan pembayarannya. Proyek itu beda-beda, unik, client juga beda-beda, stakeholder yang terlibat juga berbeda-beda, oleh karena itu peranan penting seorang ahli kontrak atau manajer untuk terlibat dari awal, ketika menegosiasikan kontrak itu, menerjemahkan dan mengidentifikasi risiko, kemudian mengalokasikan risiko itu di dalam kontrak seperti apa. Jangan sampai, ambil saja templates, sudah biasa pekerjaannya sama karena gedung templatenya sama, itu akan berimplikasi pada sengketa. Munculnya sengketa-sengketa yang sebenarnya kita bisa anulir pada saat awal kita negosiasi kontrak.
2. Pertanyaan dari Bapak Rahmadani Ikhlasul
Saya pernah menawarkan jasa pengetesan NBP sebuah perusahaan NBP, jasa pengetesan NBP ke sebuah perusahaan Subkontraktor di Tuban. Dan Direktur dari perusahaan NBP ini menolak mengambil Project yang ditawarkan oleh PTPI lewat Subkontraktor, dengan alasan pengetesan hilang 50%, apabila dari PTPI langsung kami akan mendapatkan harga 8 juta, apabila melewati Subkontraktor mendapatkan 4 juta. Jadi kalau boleh tahu, faktor apa yang membuat harganya turun menjadi 50%?
Jawaban: Ini dapurnya orang saya kurang tahu. Tentu ada banyak faktor, kalau misalnya kita bicara, yang namanya pengetesan juga ada sifat market, yang namanya market itu sifatnya kompetitif. Company 1 bisa menawarkan harga yang lebih bersaing dibandingkan dengan yang lain, dalam hal ini subcont-nya menawarkan melakukan pengetesan dengan harga yang lebih rendah dengan perusahaan yang melakukan pengetesannya langsung. Terkait dengan pengetesan itu juga harus dituangkan di dalam spec (standar pengetesan), apakah standarnya itu. Bisa jadi subcont-nya yang menawarkan lebih murah itu, memang dilakukan pengetesan tetapi tidak sesuai dengan yang diharapkan, pengetesan itu tidak sesuai dengan standar. Mungkin alat uji nya tidak dikalibrasi, atau kalibrasinya sudah mati berapa lama, kemudian pengetesannya tidak runtut atau tidak lengkap, itu akan mempengaruhi biaya pengetesannya. Namun saran saya pengetesan itu sebaiknya dilakukan oleh pihak ketiga, subcont, subcont itu bekerja di main kont, kalau saya sebagai konsultan MK tidak akan menerima penawaran dari subcont untuk melakukan pengetesan itu karena masih subcont si kontraktor. Jadi sebaiknya dilakukan oleh pihak ketiga yang memang sifatnya lebih objektif, tentu kita meminimalkan adanya kongkalikong terkait dengan hasil pengetesan supaya hasil pengetesannya ini benar, ini terkait dengan terpenuhinya aspek mutu di dalam pekerjaan. Kalau misalnya ada kongkalikong yang kita khawatirkan ini seharusnya pengetesannya tidak masuk tapi kemudian di dokumentasinya dianggap masuk. Ini tentu membahayakan dari aspek mutu, termasuk unsur penipuan juga dan kalau dibuktikan akan menjadi ranah perdata. Tapi terkait kalau misalnya itu harga dari dua pihak, pihak ketiga yang berbeda itu tentu biasa, itu terkait dengan bagaimana kita kemudian menyeleksi vendor, perusahaan yang akan melakukan pengetesan mana penawaran yang lebih baik sesuai dengan standarnya.
3. Pertanyaan dari Bapak Adi Sujoko
Mohon pencerahan, jika ada cacat bersifat Major, sebaiknya posisi Employer menerima hasil pekerjaan dengan catatan diperbaiki di masa pemeliharaan atau kerjaan tidak diterima dengan konsekuensi Kontraktor menyelesaikan pekerjaan dengan perpanjangan waktu, namun Kontraktor dikenakan denda keterlambatan?
Jawaban: Ini tergantung sekali dengan kebijakan dari si pemilik proyeknya, umumnya kalau secara kontekstual atau secara kontrak, kita tidak bisa menerima cacat pekerjaan major dan akibatnya tentu kontraktor dianggap tidak selesai tepat waktu dan kemudian diberlakukanlah metodologis, denda keterlambatan, sampai akhirnya kontraktor bisa memperbaiki cacat tersebut, dan cacat tersebut diterima. Karena sebenarnya cacat itu adalah syarat dikeluarkannya DST, tapi terkadang ada kebijakan dari pemilik proyek, mungkin dari bawahnya juga sudah sering bekerjasama dengan kontraktornya, atau kontraktor ini adalah kontraktor yang sudah ternama, ada trust. Industri konstruksi itu memang terkadang ada trust, orang orangnya itu-itu saja, kalau ada trust, dengan adanya kebijakan dari pemilik proyek boleh saja dilakukan BAST, kemudian cacat tersebut diperbaiki pada saat masa pemeliharaan, itu boleh-boleh saja tapi tentu harus dituangkan di dalam BAST, bahwa ada kondisi nyata ini harus diperbaiki pada saat masa pemeliharaan.
4. Pertanyaan dari Bapak Gunawan Tjahjadi
Apakah ada pelatihan pembuat kontrak kerja ini?
Jawaban: Untuk kontrak kerja secara umum ada, kalau untuk kontrak kerja konstruksi itu bisa ke IQSI, setahu saya di IQSI mereka melakukan pelatihan-pelatihan dan ada SKHnya juga termasuk salah satu aspeknya itu adalah kontrak. Dilihat saja di websitenya IQSI terkait dengan kontrak konstruksi. Terkait dengan procurement umum juga sebenarnya ada juga di Indonesia, pelatihan untuk kontrak pengadaan, yang mengadakan pengadaan barang dan jasa pemerintah tapi itu umum.
5. Pertanyaan dari Bapak Rian Harmono
Mohon arahan, tindakan awal agar tidak terjadi Kontrak Step Out di tengah Project berjalan, parameter apa saja yang harus dituangkan di PKS?
Jawaban: Semuanya, ujung-ujungnya berhubungan dengan nilai, waktu dan mutu. Waktu ada implikasinya, kontraktor tidak dapat menyelesaikan tepat waktu, mau step out juga bisa. Pada akhirnya akan ada pelanggaran kemudian determinasi, baik itu secara sepihak maupun belah pihak, parameternya semua aspek. Yang saya bahas di sini ada 3, biaya, mutu dan waktu, tetapi tentu ada aspek-aspek lain yang bisa mempengaruhi keputusan seorang kontraktor itu kemudian step out dari proyek.
6. Pertanyaan dari Bapak Basuki Winarno
Terkadang Klausul Kontrak itu dalam arti lebih banyak menekan Subkontraktor, sementara kita juga butuh pekerjaan, takutnya perusahaan lokal menjadi tereliminasi oleh sistem yang ada.
Jawaban: Ini masih budaya di Indonesia, artinya yang punya uang siapa, kalau emplayer dia menekan main cont, kalau main cont dia akan menekan subcont, ini masih budaya yang sebenarnya akan menjadi tidak fair kalau misalnya kita teruskan, itu adalah kondisi yang harus diperbaiki sedikit demi sedikit melalui materi MKK. Sebenarnya yang kita mau itu bukan masalah menekan, adanya pressure dalam pelaksanaan sebuah pekerjaan konstruksi, tapi pekerjaan itu selesai tepat waktu, mutu dan budget, sebaik-baiknya dan semua pihak puas dengan hasil pekerjaan, kontraktor menerima imbalan, subcont menerima imbalan yang sesuai, employer menerima hasil pekerjaannya. Dengan adanya peraturan yang lebih baik, adanya materi materi pelatihan mkk dapat mengubah itu, karena implikasinya itu sangat banyak, terkait dengan dampak buruk dari siapa yang bicara mengenai uang.
7. Pertanyaan dari Bapak Gunawan Tjahjadi
1) Pekerjaan yang seperti apa saja yang cocok Critical Part dinyatakan dengan Gantt Chart, Usual Block Diagram, dan Time Schedule Block Diagram?
2) Apakah diperlukan sebaiknya pernyataan dagang Flowchart tentang implementasi pelaksanaan proses konstruksi pra pekerja?
Jawaban:
1) Sebenarnya tidak ada, ini adalah teknik, seperti gantt chart, block diagram dan lain sebagainya adalah teknik untuk menyajikannya saja, dan itu tergantung dengan kebiasaan si scheduler, yang penting teknik itu menampilkan, menyajikan critical part yang bisa dibaca, yang bisa dipahami, yang benar. Tekniknya bisa gantt chart, dan lain-lain. Mungkin kalau untuk pekerjaan yang sangat kompleks, yang melibatkan item-item aktivitas pekerjaannya, paling tepat adalah gantt chart, karena dia akan memudahkan untuk dilihat dan bisa dibuat ms.project atau primavera, terlihat batang-batang merah. Tapi itu ada implikasinya juga tidak bisa dicetak, cetaknya tidak mungkin berlembar-lembar yang harus digabungkan, itu biasanya secara aplikasi, lewat app-nya. Tetapi itu lebih memudahkan dibandingkan kalau kita harus membuat diagram yang ada finish, restart, yang bulat-bulat gitu dan ada garis-garisnya.
2) Sebaiknya dilampirkan, itu sebenarnya bagian dari programming dari pekerjaan kontraktor. Program ini menurut saya bukan membuat program tetapi merencanakan pelaksanaan pekerjaan, scheduling and programming. Ini umumnya sudah menjadi dokumennya kontraktor, kalau misalnya rencana awal berarti itu menjadi bagian dari dokumen kontrak yang diminta. Masalah scheduling dan programming ini kadang diabaikan padahal itu penting, master atau deadline program ini penting untuk melihat dan mengecek diawal ini seharusnya seperti apa, kemudian nanti pada saat kita klaim ini aktivitas yang berubah yang mana, durasi yang berubah yang mana. Seharusnya dari awal itu benar-benar diserahkan, supaya dokumentasi awal dengan pada saat diajukan klaim kita bisa membandingkannya, kalau tidak, kita tidak tahu kontraktor mungkin mengutak-ngatik di awal seperti apa, jadi sebaiknya memang perlu dilampirkan dari awal.
8. Pertanyaan dari Bapak JB Visnu Sulistyawan
Apakah realisasi percepatan pembayaran Main Kontraktor atau Subkontraktor juga dibahas dengan Vidic? Bagaimana aspek finansialnya?
Jawaban: Setahu saya ada tetapi untuk di Vidic itu, Vidic bermacam-macam ada yang red book untuk konvensional, dari employer ke main cont kemudian ada silver untuk design and build dan ada green book itu untuk subcont. Setahu saya ada terkait dengan klausul percepatan juga tetapi di buku yang berbeda dengan yang saya tadi sampaikan, jadi kita harus melihat ke green book sepertinya istilahnya, itu untuk yang main count ke sub cont di Vidic.
9. Pertanyaan dari Bapak Gunawan Tjahjadi
Apakah pemilihan penentuan Subkontraktor sebaiknya mendapat restu dari Pihak MK dan/atau Employer atau Owner?
Jawaban: Umumnya itu sudah dinegosiasikan diawal dan dituangkan di dalam kontrak bahwa subcont itu perlu mendapat persetujuan atau tidak dari konsultan MK-nya. Di Vidic pun dijelaskan ketentuan tersebut, artinya ketika masa penyeleksian untuk subcont kemudian nama-nama ini diajukan ke konsultan MK. Tapi ini umumnya akan disetujui karena ini adalah ranah pengelolaan si maincont-nya, kenapa itu penting setidaknya untuk diinfokan, di notifikasi ke employer, karena bisa jadi employer memiliki pengalaman buruk dengan 1 subcont, kemudian dia tidak setuju apabila dipakai. Ini penting oleh karena itu ada pemberitahuan tersebut kepada employer dari maincont, tetapi untuk ranahnya apakah akan diterima atau tidak ini sebenarnya dituangkan di dalam kontrak, kalau memang jelas dituangkan di dalam kontrak bahwa untuk persetujuan subcon itu harus mendapatkan restu dari employer maka harus mendapatkan persetujuan tetapi kalau tidak ada itu dikembalikan ke main cont untuk pengelolaan subcon nya.
10. Pertanyaan dari Bapak Gunawan Tjahjadi
Kapan sebaiknya mulai dibuat rancangan kontrak kerja konstruksi antara pihak-pihak terkait atau Stakeholder?
Jawaban: Ini masuknya pada saat negosiasi kontrak diawal, tentu pada saat pra kontrak. Kontrak itu siklus hidupnya ada pra kontraknya ada penyusunan kontraknya, dan ada post kontraknya. Rancangan kontrak dibuat setelah prakontrak, pada saat tahap penyusunan kontraknya, tahap penyusunan kontraknya ini dimulai dari membuat rancangan kontraknya, draf kontrak kemudian negosiasi antara para pihak kemudian kalau dia sistemnya tender, maka ada prosedur tender kemudian ada tahap aanwijzing nya, klarifikasi kemudian ada tahap pemilihan pemenangnya, kemudian tandatangani lah dan selesai tanda tangan kontrak. Rancangan kontrak kerja ini sebenarnya dari awal, setelah inisiasi proyek selesai, setelah ada konseptual growing, kemudian engineering growing sudah ada maka bisa dilakukan dokumentasi sebelum proses tender dimulai, jadi sudah ada rancangannya dulu. Itu kalau misalnya sistem penyeleksian melalui tender. Pada saat aanwijzing ataupun tender itu sudah ada template kontraknya, nanti akan di klarifikasi pada saat tender dan aanwijzingnya umumnya sudah ada, termasuk dokumen-dokumen lainnya, ada BQ, RAB, specnya nanti kemudian diklarifikasi pada saat tender.
11. Pertanyaan dari Bapak Gunawan Tjahjadi
Mengenai Contigency Plan dan Force Majeureity dibahasnya di mana di dalam Kontrak?
Jawaban: Mungkin sesi berikutnya, itu akan berpengaruh pada addendum terutama pada saat ada force majeure seperti covid. Ini ada implikasi yang berbeda lagi, karena ini adalah natrol yang diluar kendali para pihak ini memang adalah hal yang berbeda lagi, itu termasuk natrol corse untuk keterlambatan yang disebabkan oleh force majeure. Macam-macam implikasinya, di klausul di kontrak itu ada, peristiwa-peristiwa apa saja yang termasuk force majeure kemudian bagaimana prosedur force majeure.
12. Pertanyaan dari Bapak Heru Nurcahyo
Saat ini perusahaan khususnya yang sudah Go Publik mensyaratkan Kesesuaian ESD (Environment Social Government) atau istilahnya di Indonesia Lingkungan Sosial dan Tata Kelola. Poin-poin apa saja dalam Kontrak yang bisa mewakili Fungsi ESD ini?
Jawaban: Ada aspek-aspek lainnya termasuk aspek sustainability, aspek bisnis, aspek ekonomi dan aspek tata kelola dari sebuah kontrak. Namun sayangnya tidak kita bahas hari ini, namun memang ini ada, misalnya saja terkait dengan penemuan arkeologis, itu di singgung di dalam klausul Vidic, bagaimana penanganan terhadap penemuan arkeologis. Kemudian lingkungan, ada Green contract, kontrak-kontrak yang hijau itu bagaimana mereka menekankan pengurangan jejak karbon melalui reduce, impor material, tetapi kita menggunakan source yang lokal dan lain sebagainya ada. Jadi isu-isu terkait dengan ini benar yang disampaikan Pak Heru Nurcahyo, semakin lama semakin digaungkan, semakin perlu menjadi perhatian bersama, tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh employer dan kontraktor yang swasta.
13. Pertanyaan dari Bapak JB Visnu Sulistyawan
Apakah Pengakhiran Kontrak terkait dengan Aspek Biaya, Mutu, dan Waktu perlu dituangkan dalam Addendum Penutupan Kontrak?
Jawaban: Tergantung, addendum itu artinya memang disepakati, kalau kedua belah pihak mereka akan melakukan addendum kemudian ditandatangani sebagai perpanjangan dari kontrak awal. Tapi kalau misalnya ada pelanggaran yang kemudian itu mengakibatkan penafsiran secara sepihak, sudah tidak perlu lagi ada addendum. Atau mungkin pengakhiran yang memang dia sudah kontraknya selesai, tepat waktu, semua sesuai mutu dan sudah sesuai itu berarti pengakhiran secara awal performa. Jadi memang sesuai dengan original kontraknya sudah tidak perlu ada addendum, Jadi tergantung sebab-sebab perlu dilakukan addendum atau tidak.
14. Pertanyaan dari (Tanpa Nama)
Apakah Covid Pandemi itu termasuk Force Majeure?
Jawaban: Saya sudah sempat melakukan artikel yang sudah dipublish, apakah pandemi covid ini termasuk force majeure? Termasuk force majeure define, kita tidak bisa memungkiri itu adalah force majeure define karena sudah diatur di dalam KUHP perdata apa yang dimaksud force majeure. Covid itu memenuhi semua persyaratan, syarat yang dimaksud dengan definisi force majeure. Namun, kita perlu memahami bahwa, bahkan di dalam klausul Vidic, terkait dengan force majeure atau klausul force majeure disemua kontrak, tidak serta merta sebuah peristiwa Force majeure itu memberikan implikasi bahwa kontraktor berhak atas klaim perpanjangan waktu, karena ada prosedur-prosedur yang memang harus dilakukan oleh kontraktor agar dia berhak mengajukan klaim tersebut. Misalnya dia sudah melakukan mitigasi, melakukan pencegahan untuk dampak meluas dari pandemi dan lain sebagainya, memberikan notifikasi dan lain sebagainya. Setelah itu dilakukan baru itu memiliki kontrak penting hak tentang mengajukan klaim, kalau dia tidak melakukan itu dan hanya mengandalkan satu dan 2 dokumen, ada peraturan dari pemerintah seperti ini, tidak bisa juga, itu hanya mengatakan bahwa itu adalah benar itu adalah peristiwa force majeure tapi apakah kontraktor sudah memenuhi kewajibannya untuk meminimalkan dampak dari force majeure itu yang penting di dalam klausul kontraknya.
Profil InstrukturSeng Hansen, S.T, M.Sc, Ph.D
Dosen Manajemen dan Rekayasa Konstruksi Universitas Agung Podomoro
Deskripsi Pemateri:
Pendidikan:
• S.T. in Civil & Environmental Engineering (Universitas Gadjah Mada)
• M.Sc. in QS/CCM (Universiti Teknologi Malaysia)
• Ph.D. in Built Environment/Construction Management (RMIT University)
Pengalaman:
• Construction: PT. Waskita Karya (2008 - 2014)
• Academic: Lecturer and researcher at Podomoro University (present)
• Association: KMKKI, IQSI
• Others:
• Writer of several books
• Reviewer for IJCM, JLADR, etc.