Teknologi manufaktur AI

Perencanaan Kota Algoritmik: Tinjauan Sistematis terhadap AI untuk Pembangunan Cerdas dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 14 November 2025


Metodologi dan Kebaruan

Sesuai dengan tujuannya untuk memetakan sebuah bidang yang sedang berkembang, penelitian ini mengadopsi metodologi tinjauan literatur sistematis yang ketat. Untuk memastikan proses yang transparan dan dapat direplikasi, penulis secara eksplisit mengikuti protokol PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses).   

Proses metodologisnya melibatkan penggunaan kombinasi kata kunci pencarian yang beragam untuk mengidentifikasi dan mengumpulkan dokumen-dokumen yang relevan dari berbagai basis data akademis. Kebaruan dari karya ini terletak pada sintesisnya yang komprehensif. Alih-alih berfokus pada satu teknologi AI atau satu masalah perkotaan, studi ini memberikan pandangan menyeluruh yang menghubungkan berbagai teknologi AI dengan domain perencanaan spesifik, dan secara kritis mengevaluasi kesenjangan antara apa yang mungkin secara teoretis dan apa yang terjadi dalam praktik.   

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis sistematis terhadap literatur yang ada menghasilkan empat wawasan utama yang mendefinisikan kondisi pemanfaatan AI dalam perencanaan kota saat ini :   

  1. Peran Para Pengadopsi Awal: Aplikasi AI di dunia nyata oleh para early adopters (pengadopsi awal) di pemerintahan daerah terbukti berhasil dan kini membuka jalan bagi adopsi yang lebih luas di tingkat lokal.   

  2. Kolaborasi sebagai Prasyarat: Pencapaian adopsi AI yang lebih luas dalam perencanaan kota bukanlah sekadar tantangan teknis, melainkan tantangan kolaboratif. Hal ini menuntut adanya kemitraan yang erat antara para pemangku kepentingan utama.   

  3. Sentralitas Big Data: Ditemukan bahwa big data adalah elemen integral dan prasyarat absolut untuk pemanfaatan AI yang efektif dalam perencanaan. Tanpa data yang berkualitas dan dapat diakses, potensi algoritma AI tidak dapat terwujud.   

  4. Konvergensi Manusia-Mesin: Studi ini menyimpulkan bahwa solusi terbaik tidak datang dari AI saja, melainkan dari konvergensi antara kecerdasan buatan (AI) dan kecerdasan manusia (HI). Kolaborasi antara kekuatan analitis AI dan kearifan kontekstual perencana manusia sangat penting untuk mengatasi masalah urbanisasi secara memadai.   

Lebih lanjut, tinjauan ini mengkategorikan aplikasi AI ke dalam beberapa domain perencanaan spesifik. Dalam domain analitik data perkotaan dan dukungan keputusan, machine learning dan deep learning digunakan untuk tugas-tugas seperti mendeteksi perubahan penggunaan lahan dari data penginderaan jauh  dan mengukur persepsi manusia terhadap suatu wilayah perkotaan.   

Dalam domain manajemen perkotaan dan infrastruktur, AI diterapkan sebagai alat pendukung perencanaan untuk mendesain jaringan jalan , memperkirakan jumlah pejalan kaki menggunakan computer vision , dan memprediksi pola pergerakan sepeda (bike-sharing). Terakhir, dalam manajemen lingkungan dan bencana perkotaan, AI digunakan untuk mengembangkan solusi perencanaan yang dapat mengoptimalkan kualitas udara lokal.   

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Keterbatasan utama yang diidentifikasi oleh studi ini adalah adanya kesenjangan yang signifikan antara penelitian (teori) dan praktik. Meskipun literatur akademis penuh dengan model AI yang canggih dan berpotensi besar, adopsi aktual dan implementasi teknologi ini oleh lembaga perencanaan di pemerintahan daerah masih terbatas. Banyak perencana kota masih belum memahami dengan baik apa itu AI dan bagaimana memanfaatkannya.   

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, penelitian ini menegaskan adanya konsensus kuat di antara para peneliti mengenai pentingnya bagi para perencana dan pembuat kebijakan untuk mulai secara serius memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh AI guna meningkatkan pembangunan kota yang berkelanjutan. Implikasi utamanya adalah perlunya "membuat perencanaan menjadi lebih cerdas" (making planning smarter) melalui adopsi metode analitik data yang canggih.   

Untuk penelitian di masa depan, karya ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk studi yang berfokus pada penjembatani kesenjangan antara riset dan praktik. Selain itu, peningkatan kesadaran publik mengenai potensi AI dalam perencanaan juga diidentifikasi sebagai faktor pendukung penting untuk mendorong implementasi praktik perencanaan terbaik di masa depan.   

Sumber

Son, T. H., Weedon, Z., Yigitcanlar, T., Sanchez, T., Corchado, J. M., & Mehmood, R. (2023). Algorithmic urban planning for smart and sustainable development: Systematic review of the literature. Sustainable Cities and Society, 94, 104562.    

Selengkapnya
Perencanaan Kota Algoritmik: Tinjauan Sistematis terhadap AI untuk Pembangunan Cerdas dan Berkelanjutan

Analisis Data

Dasbor yang Mati: Mengapa Kita Salah Mengukur Keselamatan Jalan (dan Bagaimana Seharusnya)

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025


Bayangkan Anda seorang dokter. Apakah Anda mengukur "kesehatan" pasien hanya dengan menghitung "jumlah serangan jantung"? Tentu tidak. Anda mengukur kolesterol, tekanan darah, dan gula darah.

Itulah "Safety Performance Indicators" (SPIs) untuk keselamatan jalan.

Makalah ini mengkritik model lama yang "berorientasi pada pengukuran" (measure-oriented). Model lama melihat intervensi (misalnya, "kami memasang 10 kamera kecepatan") dan mengukur output-nya (misalnya, "kami mengeluarkan 500 surat tilang").   

Sebagai gantinya, laporan ini mengusulkan "logika top-down". Logika ini dimulai dari masalah (kecelakaan) dan bertanya: Apa "kondisi operasional yang tidak aman" yang menyebabkannya?.   

Di sinilah letak kecerdasannya. SPI yang baik harus "independen dari intervensi". SPI harus mengukur masalahnya, bukan solusinya.   

Contoh terbaik ada di laporan itu sendiri :   

  • Masalah (Kondisi Operasional): "Kecepatan yang tidak sesuai."

  • Intervensi 1: Memasang kamera kecepatan.

  • Intervensi 2: Memasang Intelligent Speed Adaptation (ISA) di mobil (yang secara otomatis membatasi kecepatan mobil).

Jika SPI Anda adalah "jumlah kamera kecepatan" (berorientasi intervensi), Anda akan gagal total mengukur dampak dari ISA. Tapi, jika SPI Anda adalah "persentase mobil yang melaju dengan kecepatan tidak sesuai" (berorientasi masalah), SPI itu akan menangkap dampak dari kedua intervensi tersebut.

SPI sejati mengukur "problem related," bukan "intervention related". Laporan ini kemudian mengidentifikasi 7 "masalah" utama yang harus kita ukur.   

Tujuh Indikator Vital yang Seharusnya Kita Ukur (Tapi Ternyata Datanya Kosong)

Laporan SafetyNet ini mengidentifikasi 7 area penelitian untuk SPI: Alkohol & Narkoba, Kecepatan, Sistem Pelindung, Lampu Siang Hari (DRL), Kendaraan, Jalan, dan Manajemen Trauma.   

Di sinilah letak ironi terbesar dari laporan 177 halaman ini. Setelah menguraikan 7 SPI yang brilian ini, tim peneliti mengirim kuesioner ke 27 negara... dan menemukan kenyataan yang mengejutkan:   

Hampir tidak ada yang memiliki data ini secara sistematis.

Ini bukan hiperbola. Ini adalah kesimpulan yang tersembunyi di setiap bab:

  • Tentang Kecepatan: "...informasi... tidak mudah diakses di sumber terpusat".   

  • Tentang Sistem Pelindung: "...informasi survei terperinci... mungkin baru-baru ini tidak tersedia untuk banyak negara".   

  • Tentang Kendaraan: Hanya 8 dari 27 negara yang mengirim "respons penuh".   

  • Tentang Jalan: "...hanya beberapa negara yang dapat menyediakan data yang diminta".   

  • Tentang Manajemen Trauma: "Tidak ada informasi sistematis yang lengkap... yang tersedia secara rutin di sebagian besar negara".   

Laporan ini secara tidak sengaja bukan hanya 'State of the Art Report' (Laporan Mutakhir), tapi juga 'State of the Ignorance Report' (Laporan Ketidaktahuan). Ini adalah kerangka kerja yang brilian untuk sebuah dasbor yang sebagian besar lampunya mati.

Mari kita bedah 7 SPI ini, satu per satu, dan lihat apa yang seharusnya kita ukur.

#1: Kecepatan (SPEEDS) — Masalahnya Bukan Ngebut, tapi Kacau

Kita semua pikir masalahnya adalah ngebut. Ternyata salah.

Laporan ini jelas: masalahnya ada tiga. Pertama, kecepatan terkait dengan "keparahan kecelakaan". Kedua, terkait dengan "risiko terlibat kecelakaan". Ketiga, dan ini kuncinya, "tingkat kecelakaan... juga terkait dengan dispersi kecepatan (speed dispersion)".   

Bayangkan Anda berada di jalan tol, dan semua orang melaju 100 km/jam. Itu relatif aman. Sekarang bayangkan di jalan yang sama, setengah orang melaju 60 km/jam dan setengah lagi 120 km/jam. Itulah dispersi kecepatan. Itu kacau. Kekacauan itulah yang menyebabkan kecelakaan.   

Jadi, SPI-nya bukanlah "jumlah pelanggar batas kecepatan". SPI-nya ada dua:

  1. Ukuran tendensi sentral (seperti kecepatan median).   

  2. Ukuran variabilitas (seperti deviasi absolut median).   

Mengapa median (nilai tengah) dan bukan mean (rata-rata)? Laporan ini cerdas. Mean bisa terdistorsi oleh beberapa pembalap liar (outlier). Median  memberi tahu kita apa yang sebenarnya dilakukan oleh lalu lintas normal. Ini adalah wawasan analisis data yang sangat penting.   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Mengukur variabilitas (kekacauan) lalu lintas lebih penting daripada mengukur kecepatan tertinggi.

  • 🧠 Inovasinya: Menggunakan median (nilai tengah) bukan rata-rata, karena lebih "robust" (tangguh) terhadap data aneh.   

  • 💡 Pelajaran: Berhenti terobsesi dengan "batas kecepatan," mulailah terobsesi dengan "kelancaran arus lalu lintas" (dispersi).

  • Kenyataan Data: "...informasi tentang data kecepatan tidak mudah diakses di sumber terpusat". Hanya 10 dari 27 negara yang memberikan data lengkap.   

#2: Sistem Pelindung (PROTECTIVE SYSTEMS) — Angka-Angka yang Seharusnya Menampar Kita

Masalahnya sederhana. "Tubuh manusia rentan" terhadap "kekuatan besar" saat kecelakaan. Kita butuh perlindungan.   

Ini adalah bagian favorit saya dari laporan ini. Laporan ini mengutip data efektivitas yang gamblang dari berbagai studi :   

  • Sabuk pengaman 3-titik: 45% efektif mengurangi kematian di mobil.

  • Kursi keselamatan anak: 71% efektif mengurangi kematian anak-anak.

  • Airbag (saja): Hanya 13% efektif.

  • Airbag + Sabuk Pengaman: 50% efektif!

Data ini menceritakan sebuah kisah. Banyak orang merasa aman karena airbag (sistem pasif), tapi keselamatan sejati datang dari perilaku aktif memakai sabuk pengaman. Efektivitas airbag melonjak hampir 4x lipat jika dipakai dengan sabuk (dari 13% ke 50%). Laporan ini menghancurkan mitos "saya sudah punya airbag, jadi tidak perlu sabuk pengaman."   

Berdasarkan wawasan itu, SPI-nya sangat jelas. Bukan "jumlah mobil dengan airbag," tapi "tingkat pemakaian (wearing and usage rates) sistem pelindung".   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Kursi anak 71% efektif! Airbag saja (13%) hampir tidak berguna dibandingkan dengan airbag + sabuk (50%).   

  • 🧠 Inovasinya: SPI ini fokus pada perilaku (tingkat pemakaian sabuk), bukan fitur (ketersediaan airbag).

  • 💡 Pelajaran: Jika Anda tidak memakai sabuk pengaman, airbag Anda hanyalah bantal mahal yang meledak.

  • Kenyataan Data: Lagi-lagi. "...informasi survei terperinci... mungkin baru-baru ini tidak tersedia untuk banyak negara".   

#3: Kendaraan (VEHICLES) — Ini Bukan Soal Mobil Anda Baru atau Lama

Masalahnya adalah "adanya sejumlah kendaraan di dalam armada yang tidak akan melindungi penumpangnya dengan baik dalam tabrakan".   

Mengukur ini secara langsung tidak mungkin. Jadi, mereka mengusulkan "indikator tidak langsung" : Peringkat EuroNCAP dari armada kendaraan nasional.   

Bayangkan jika Anda bisa memberi "skor kesehatan" rata-rata untuk semua mobil di negara Anda. Bukan berdasarkan usia atau merek, tapi murni berdasarkan "seberapa besar kemungkinan Anda selamat jika terjadi tabrakan." Itulah SPI ini.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Usia mobil adalah metrik yang buruk. Rating EuroNCAP adalah metrik yang bagus.   

  • 🧠 Inovasinya: Mengusulkan analisis tingkat armada (fleet-level) berdasarkan skor EuroNCAP, bukan hanya data penjualan mobil baru.   

  • 💡 Pelajaran: Kebijakan publik seharusnya tidak hanya mendorong "pembelian mobil baru," tapi "penggantian mobil bintang-1 dengan mobil bintang-5."

  • Kenyataan Data: Ini adalah kritik ganda. Pertama, ketersediaan data. Kuesioner meminta data "total armada kendaraan berdasarkan usia, merek, dan model". Hasilnya? Hanya "8 negara mengirim respons penuh". Kedua, perbandingan data. Laporan ini mencatat: "...sebuah Ford Fusion XYZ mungkin memiliki ESP/ECU sebagai standar di satu Negara Anggota tetapi tidak di negara lain". Ini adalah mimpi buruk analisis data.   

#4: Jalan (ROADS) — Infrastruktur yang 'Memaafkan'

"Tata letak dan desain infrastruktur memiliki dampak kuat pada... keselamatan". Laporan ini sangat fokus pada jalan pedesaan (rural roads), di mana 4 tipe kecelakaan menyumbang 80% fatalitas: "keluar jalur (run-off-the-road)," "tabrakan di persimpangan," "tabrakan berhadapan (head-on)," dan "kecelakaan dengan pengguna jalan rentan (VRU)".   

Konsep kuncinya adalah jalan yang "memaafkan" (forgiving). Ini adalah pergeseran filosofis. Ini berarti desain jalan harus mengasumsikan "kesalahan pengguna jalan tidak dapat dihilangkan sepenuhnya".   

Daripada menghitung "black spots" (titik rawan kecelakaan) , SPI ini mengukur desain jalan itu sendiri:   

  • Mengatasi "Run-off-road": Berapa persen jalan yang memiliki "zona bebas hambatan (obstacle-free zone)" atau "pagar pengaman (safety barrier)"?.   

  • Mengatasi "Head-on": Berapa persen jalan (non-tol) yang memiliki "median atau barrier" fisik?.   

  • Mengatasi "Persimpangan": Berapa persen persimpangan yang merupakan "bundaran (roundabouts)" (lebih aman) vs. "simpang empat biasa"?.   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Desain jalan yang "memaafkan" (seperti zona bebas hambatan) adalah SPI yang lebih baik daripada hanya menghitung kecelakaan di "black spots".   

  • 🧠 Inovasinya: EuroRAP (yang dikutip makalah) memiliki "Road Protection Score" (RPS). Ini seperti EuroNCAP tapi untuk jalan.   

  • 💡 Pelajaran: Jangan salahkan pengemudi karena "mengantuk dan keluar jalur" jika desain jalan Anda tidak memberinya "zona bebas hambatan" untuk pulih.

  • Kenyataan Data: "...pada tahap proyek ini hanya beberapa negara yang dapat menyediakan data yang diminta...".   

#5: Manajemen Trauma (TRAUMA MANAGEMENT) — 'Golden Hour' yang Hilang

Ini adalah SPI favorit saya. Keselamatan bukan hanya mencegah kecelakaan. "Fungsi yang tidak tepat dari sistem perawatan pasca-kecelakaan menyebabkan lebih banyak kematian... yang sebenarnya dapat dihindari".   

Laporan ini menyoroti "Golden Hour". Kematian terjadi dalam 3 periode. Periode kedua (1-2 jam pasca-insiden) adalah "golden hour" di mana kelangsungan hidup "sangat bergantung pada intervensi medis yang cepat dan tepat".   

Studi lain memperkirakan 10% - 13% kematian "dapat dicegah" dengan perawatan trauma yang lebih baik.   

Kita harus mengukur kecepatan dan kualitas perawatan pasca-kecelakaan. Laporan ini mengusulkan dua set SPI :   

  • Set A (Dasar): Data yang seharusnya dimiliki semua orang. Contoh: "Rata-rata waktu respons EMS" (Ambulans), "Jumlah stasiun EMS per 100 km jalan," "Persentase dokter vs paramedis".   

  • Set B (Lanjutan): Data yang lebih kaya dari "Trauma Registry" (basis data rumah sakit). Contoh: "Rata-rata lama tinggal di rumah sakit," "Tingkat kematian selama rawat inap".   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Hingga 13% kematian di jalan raya dapat dicegah setelah kecelakaan terjadi.   

  • 🧠 Inovasinya: Menggunakan data "Trauma Registry"  sebagai SPI, bukan hanya data ambulans. Ini menghubungkan data polisi dengan data rumah sakit.   

  • 💡 Pelajaran: "Golden Hour" adalah nyata. Kecepatan ambulans dan kualitas rumah sakit adalah indikator keselamatan jalan.

  • Kenyataan Data: Ini adalah krisis data terparah. "Tidak ada informasi sistematis yang lengkap... yang tersedia secara rutin di sebagian besar negara". Dan yang paling parah: "Database Trauma Registry tersedia hanya di 2 negara" (dari 13 responden).   

#6 & #7: Dua SPI Lainnya (Alkohol & DRL) yang Melengkapi Gambaran

  • Alkohol & Narkoba: Masalahnya adalah "salah satu faktor terpenting yang meningkatkan risiko kecelakaan parah". SPI yang diusulkan jauh lebih fokus daripada tes acak di jalan: "Persentase pengguna jalan yang terlibat dalam kecelakaan fatal dan terganggu (impaired) oleh alkohol atau narkoba". Tentu saja, "kurang dari setengah dari 27 negara... memiliki data".   

  • Lampu Siang Hari (DRL): Masalahnya adalah visibilitas buruk. SPI-nya sederhana: "Persentase kendaraan yang menggunakan lampu siang hari". Kenyataannya: "...hanya untuk empat negara... tingkat penggunaan DRL tersedia".   

Kesimpulan Saya: Laporan Brilian tentang Data yang Tidak Kita Miliki

Saya baru saja membedah 177 halaman laporan teknis ini , dan kesimpulan saya yang paling jujur bukanlah tentang 7 SPI itu.   

Kesimpulan saya adalah: Kita tidak tahu apa-apa.

Meskipun temuannya hebat, dan metodologinya  sangat cerdas, laporan ini secara esensial adalah sebuah studi kasus tentang "krisis data" global dalam keselamatan jalan. Ini adalah cetak biru yang fantastis untuk sebuah dasbor di mana sebagian besar lampunya mati.   

Laporan ini mengungkap bahwa kita bahkan tidak memiliki data dasar untuk mengukur hal-hal yang paling penting—seperti variabilitas kecepatan , tingkat pemakaian sabuk pengaman , atau data trauma rumah sakit. Ini bukan kritik terhadap para peneliti; ini adalah kritik terhadap infrastruktur data kita.   

Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (Dan Anda Juga)

Apa artinya ini bagi Anda? Jika Anda seorang analis data, data scientist, atau bekerja di pemerintahan kota atau perusahaan: Berhentilah membuat laporan bulanan tentang "jumlah kecelakaan". Itu data malas.

Mulailah proyek kecil untuk mengukur satu dari 7 SPI ini di komunitas Anda.

  • Bayangkan jika kamu mencoba mengukur SPI #2: Ambil clipboard, berdiri di lampu merah selama satu jam, dan hitung "tingkat pemakaian sabuk pengaman". Itu SPI yang jauh lebih baik daripada data kecelakaan bulan lalu.

  • Bayangkan jika kamu mencoba mengukur SPI #1: Daripada hanya meminta menambah kamera kecepatan (intervensi), gunakan data API publik (seperti Waze atau Google Maps) untuk mengukur speed dispersion (masalahnya) di arteri utama kota Anda.

  • Bayangkan jika kamu mencoba mengukur SPI #7: Hubungi UGD rumah sakit terdekat dan tanyakan apakah mereka memiliki "Trauma Registry". Jika tidak, mulailah percakapan tentang mengapa itu penting.

Tentu saja, untuk melakukan ini, Anda perlu tahu cara mengelola dan menganalisis data dalam skala besar. Jika Anda ingin mulai membangun dashboard yang benar-benar penting ini—dasbor yang mengukur risiko, bukan hanya kegagalan—Anda harus menguasai(https://diklatkerja.com/course/big-data-analytics-data-visualization-and-data-science/).   

Laporan SafetyNet  ini bukan sekadar laporan, tapi sebuah manifesto. Ini adalah peta jalan untuk beralih dari pemadam kebakaran (reaktif) menjadi arsitek sistem (proaktif). Kita perlu mengubah dasbor kita—dari menghitung kematian menjadi menghitung risiko.   

Selengkapnya
Dasbor yang Mati: Mengapa Kita Salah Mengukur Keselamatan Jalan (dan Bagaimana Seharusnya)

Keselamatan Jalan

Kapsul Waktu Tahun 2010: Mengapa Kita Masih Mati di Jalan yang Jawabannya Sudah Kita Ketahui

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025


Saya Menemukan 'Harta Karun' Berdebu: Sebuah Laporan yang Mengubah Cara Saya Melihat Jalanan

Beberapa hari lalu, saya tidak sengaja menemukan sebuah dokumen digital yang berdebu. Ini bukan PDF biasa. Ini adalah white paper setebal 55 halaman dari 16 Juli 2010 , berjudul "Safer Vulnerable Road Users." Dokumen ini adalah bagian dari inisiatif nasional AS yang ambisius, "Toward Zero Deaths" (Menuju Nol Kematian).   

Premis dari "Toward Zero Deaths" (TZD) sangat radikal, bahkan hingga hari ini: gagasan bahwa bahkan satu kematian pun tidak dapat diterima. Ini adalah pergeseran filosofi total. Selama puluhan tahun, para insinyur lalu lintas berfokus pada "mengurangi kecelakaan" atau "mengatur" tingkat kematian yang dapat diterima. TZD berkata, "Tidak. Targetnya adalah nol."   

Lalu, siapa "Pengguna Jalan Rentan" (Vulnerable Road Users atau VRU) ini? Paper ini membaginya menjadi empat kelompok: Pejalan Kaki, Pesepeda, Pengguna Lanjut Usia, dan Pengendara Motor.   

Saat membacanya, saya langsung sadar ini bukan tentang "mereka". Ini adalah tentang "kita". Kita semua adalah pejalan kaki saat kita melangkah keluar dari mobil. Sebagian dari kita adalah pesepeda di akhir pekan. Dan jika kita cukup beruntung, kita semua suatu hari nanti akan menjadi "Pengguna Lanjut Usia." Laporan ini bukan tentang empat kelompok demografis; ini tentang kemanusiaan yang berinteraksi dengan sistem yang dirancang dengan buruk.

Inilah hal yang paling mengejutkan: Membaca dokumen tahun 2010 ini  terasa sangat relevan. Solusi yang mereka usulkan lebih dari satu dekade lalu adalah hal-hal yang masih kita perjuangkan di rapat dewan kota hari ini.   

Ini membawa saya pada pertanyaan yang meresahkan. Jika kita sudah tahu jawabannya sejak lama, mengapa jalanan kita masih membunuh begitu banyak dari kita? Mengapa, menurut data paper ini, hampir 16.000 pejalan kaki, pesepeda, lansia, dan pengendara motor tewas setiap tahun?   

Laporan ini bukan kapsul waktu. Ini adalah cermin. Dan apa yang ditunjukkannya tidaklah cantik.

Pejalan Kaki: Mengapa 4.800 Kematian Tahunan Adalah Statistik yang Kita Abaikan

Mari kita mulai dengan yang paling dasar. Berjalan kaki.

Paper ini mencatat sekitar 4.800 kematian pejalan kaki setiap tahun, yang merupakan 11% dari total kematian di jalan raya.   

Coba kita manusiakan data itu. 4.800 orang. Itu setara dengan satu pesawat jet penumpang besar yang jatuh dari langit setiap bulan, dan semua penumpangnya tewas. Bedanya, korban kali ini adalah orang-orang yang sedang berjalan ke warung, menjemput anak, atau berolahraga. Jika itu terjadi di industri penerbangan, seluruh armada akan di-grounded. Tapi di jalan raya, kita hanya menyebutnya "kecelakaan" dan terus berjalan.

Ironisnya, paper ini juga mencatat bahwa sementara jumlah kematian menurun sedikit, jumlah perjalanan kaki meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 1990 dan 2009. Semakin banyak orang berjalan, tetapi kita gagal melindungi mereka.   

Musuh Terbesar Anda Bukan Ponsel (Tapi Fisika dan Kegelapan)

Kita sering menyalahkan pejalan kaki yang menatap ponsel. Tapi data dalam paper ini menceritakan kisah yang berbeda. Musuh terbesar pejalan kaki jauh lebih mendasar.

1. Kegelapan: Sekitar dua pertiga dari semua kematian pejalan kaki terjadi pada malam hari atau dalam kondisi cahaya redup.   

2. Fisika (Kecepatan): Ini adalah bagian yang paling mengerikan bagi saya. Paper ini mengutip sebuah studi di Inggris  yang membedah hubungan antara kecepatan kendaraan dan kelangsungan hidup manusia. Hasilnya sangat jelas:   

  • Tertabrak kendaraan yang melaju 40 mph (64 km/jam): Probabilitas kematian 85%.

  • Tertabrak kendaraan yang melaju 30 mph (48 km/jam): Probabilitas kematian 55%.

  • Tertabrak kendaraan yang melaju 20 mph (32 km/jam): Probabilitas kematian 5%.

Bacalah itu lagi. Perbedaan antara jalan yang dirancang untuk 40 mph dan 20 mph adalah perbedaan antara hampir pasti mati (85%) dan hampir pasti hidup (5%).

Bayangkan jika Anda adalah seorang manajer. Anda tahu bahwa jika Anda menetapkan deadline pada hari Rabu, 85% tim Anda akan gagal total. Tetapi jika Anda memindahkannya ke hari Jumat, hanya 5% yang akan gagal. Anda akan memindahkannya ke hari Jumat, bukan?

Kematian ini bukanlah "kecelakaan". Itu adalah hasil yang dapat diprediksi dari desain teknik. Jalan arteri perkotaan kita, yang dirancang untuk lalu lintas 40+ mph, secara statistik menjamin kematian pejalan kaki.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Solusi yang Sudah Ada Sejak 2010

Bagian terbaik dari paper ini adalah ia tidak hanya mengeluh. Ia menawarkan 8 strategi yang jelas. Dan yang mengejutkan saya adalah betapa sederhananya solusi-solusi itu.   

Strategi 2, misalnya, pada dasarnya adalah apa yang sekarang kita sebut "Complete Streets". Paper ini  secara eksplisit menyerukan agar kebutuhan pejalan kaki (termasuk penyandang disabilitas) menjadi standar, bagian integral dari semua proyek jalan raya, bukan sebagai tambahan jika ada sisa anggaran.   

Strategi 3 menyerukan perbaikan teknik seperti refuge islands (pulau perlindungan di tengah jalan multi-lajur). Mengapa? Karena jalan arteri dengan lima lajur tanpa median adalah jebakan maut. Paper ini juga mendukung program seperti Safe Routes to School (Rute Aman ke Sekolah).   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Menurunkan kecepatan dari 40 mph ke 20 mph mengurangi risiko kematian sebesar 94% (turun dari 85% ke 5%).   

  • 🧠 Inovasinya: Berhenti menyalahkan pejalan kaki karena "berpakaian gelap" di malam hari, dan mulailah memperbaiki desain jalan yang berbahaya dan pencahayaan yang buruk.   

  • 💡 Pelajaran: Jalan yang aman untuk anak-anak adalah jalan yang aman untuk semua orang.

Dilema Dua Roda: Terlalu Cepat untuk Trotoar, Terlalu Rentan untuk Jalan Raya

Sekarang mari kita bicara tentang dua kelompok yang terjebak di tengah-tengah: pesepeda dan pengendara motor.

Inilah data paling mengejutkan yang saya temukan di seluruh laporan. Siapa yang menurut Anda lebih banyak tewas di jalan raya: pejalan kaki atau pengendara motor?

Saya salah besar.

  • Pejalan Kaki: ~4.800 kematian per tahun.   

  • Pengendara Motor: ~5.200 kematian per tahun.   

Paper ini  dengan jelas menyatakan bahwa jumlah kematian pengendara motor kini melebihi jumlah kematian pejalan kaki. Ini benar-benar mengubah cara saya memandang hierarki risiko di jalan raya.   

Tragedi Pengendara Motor: 5.200 Nyawa dan Kebutaan Institusional

Data pengendara motor sangat suram. Mereka mewakili 13% dari semua kematian di jalan raya, padahal mereka hanya 3% dari kendaraan terdaftar.   

Mengapa angka ini begitu tinggi? Paper ini  menyoroti kegagalan sistemik yang brutal.   

1. Kegagalan Infrastruktur: Jalan raya tidak didesain untuk mereka. Paper ini  menunjukkan bahwa pagar pembatas (guardrails) dan tiang rambu yang dirancang untuk "menyelamatkan" penumpang mobil, justru berfungsi sebagai benda mematikan yang menghancurkan bagi pengendara motor yang terpental.   

2. Kegagalan Data: Mereka secara harfiah tidak terlihat dalam data. Paper ini  menjelaskan bahwa metode pengumpulan data VMT (Vehicle Miles Traveled) sering kali "memfilter" atau gagal menghitung sepeda motor. Jika Anda tidak menghitungnya, mereka tidak ada. Jika mereka tidak ada, Anda tidak merancang untuk mereka. Jika Anda tidak merancang untuk mereka, mereka mati.   

Solusinya? Paper ini  sangat jelas: Strategi 4 adalah "Mandatory Helmet Use" (UU Helm Wajib) untuk semua pengendara di semua negara bagian. Paper ini juga merekomendasikan teknologi seperti rem ABS canggih.   

Opini pribadi saya: Ini tahun 2010. Lebih dari satu dekade kemudian, ini masih menjadi perdebatan politik yang panas, seolah-seolah data tidak ada. Paper ini  menyatakan helm terbukti sebagai cara paling efektif untuk mencegah cedera kepala serius dan kematian. Fakta bahwa kita masih memperdebatkannya adalah sebuah kegilaan kolektif.   

Paradoks Pesepeda: Semakin Bugar, Namun Semakin Tua Usia Korbannya

Kabar baiknya, jumlah kematian pesepeda jauh lebih sedikit, "hanya" sekitar 700 kematian per tahun. Tapi ada tren aneh di baliknya.   

Ini bukan lagi hanya masalah anak-anak. Usia rata-rata pesepeda yang tewas meningkat dari 32 tahun (pada 1998) menjadi 41 tahun (pada 2008). Ini adalah orang dewasa, komuter, dan pehobi yang terbunuh.   

Dan inilah dua statistik yang membuat saya terdiam:

  • Pada tahun 2008, 91% pesepeda yang tewas dilaporkan tidak memakai helm.   

  • Pada tahun 2008, 23% pesepeda yang tewas (berusia 16 tahun ke atas) memiliki kadar alkohol dalam darah (BAC) 0,08 atau lebih tinggi—melebihi batas legal untuk mengemudi.   

Saya pikir solusinya sederhana: "Pakai helm dan jangan bersepeda sambil mabuk."

Tapi paper ini  jauh lebih cerdas. Strategi yang paling ditekankan bukanlah menyalahkan korban. Strategi 5 adalah tentang mendidik pengemudi mobil tentang cara berbagi jalan. Strategi 3 adalah tentang rekayasa jalan, seperti menggunakan bike boxes (area tunggu khusus sepeda di depan mobil saat lampu merah) dan sharrows (penanda jalur bersama). Ini adalah pengakuan bahwa keselamatan pesepeda tidak hanya bergantung pada pesepeda, tetapi pada sistem di sekitar mereka.   

Realitas yang Sulit Diterima: Saat Orang yang Kita Sayang Tak Seharusnya Lagi Mengemudi

Ini adalah bagian yang paling sulit. Ini personal.

Kita semua pernah mengalaminya—duduk di kursi penumpang sementara orang tua, kakek, atau nenek kita yang sudah lanjut usia mengemudi. Kita menahan napas di setiap persimpangan, kaki kita secara refleks "mengerem" lantai mobil.

Data mengkonfirmasi ketakutan kita. Paper ini  mencatat lebih dari 5.000 pengemudi berusia 70+ tewas setiap tahun. Dan masalah ini akan meledak. Paper ini  memproyeksikan bahwa pada tahun 2030, 25% dari semua pengemudi di jalan raya akan berusia 65 tahun ke atas.   

Opini Saya: Ide Paling Brilian dalam Paper Ini

Jadi, apa yang kita lakukan? Kita semua tahu ada pengemudi lansia yang berbahaya. Tetapi mencabut SIM mereka di negara yang bergantung pada mobil terasa seperti hukuman mati sosial.

Solusi yang jelas (dan buruk) adalah menguji ulang setiap orang pada usia 70 tahun. Tapi itu diskriminatif berdasarkan usia (ageist) dan tidak efektif. Seorang 80 tahun yang bugar mungkin pengemudi yang jauh lebih aman daripada seorang 60 tahun yang baru pulih dari stroke.

Di sinilah letak ide paling brilian dalam paper ini. Para penulis merekomendasikan agar kita berhenti fokus pada usia kronologis dan mulai fokus pada penurunan fungsional.   

Strategi 1 mereka  menyerukan "skrining yang ditingkatkan" untuk semua orang saat perpanjangan SIM, yang menguji tiga hal inti:   

  1. Fungsi Kognitif (pemrosesan, memori kerja)

  2. Fungsi Visual (bukan hanya ketajaman, tapi juga sensitivitas kontras)

  3. Fungsi Motorik (kekuatan, rentang gerak)

Mengapa ini brilian? Karena ini adil. Ini berbasis data. Ini menghilangkan stigma "pengemudi tua" dan menggantinya dengan "pengemudi dengan gangguan fungsional"—yang bisa terjadi pada usia berapa pun. Dan yang terpenting, ini menawarkan intervensi dan rehabilitasi , bukan hanya hukuman.   

Bahaya Tersembunyi di Lemari Obat

Risikonya bukan hanya tentang penyakit (demensia, katarak), tapi tentang perawatan itu sendiri. Paper ini  memiliki bagian yang menakutkan tentang polypharmacy—penggunaan beberapa obat sekaligus.   

Tabel 4  menunjukkan korelasi yang jelas: semakin tua pengemudi, semakin banyak obat "Potentially Driver Impairing" (PDI) yang mereka minum, dan semakin tinggi keterlibatan mereka dalam kecelakaan. Pengemudi berusia 70+ yang terlibat kecelakaan, rata-rata, sedang dalam pengaruh 1,66 obat PDI.   

Ini adalah pengingat yang kuat bagi kita semua untuk bertanya kepada dokter: "Apakah obat ini memengaruhi kemampuan saya mengemudi?" Ini adalah masalah(https://diklatkerja.com/course/dasar-dasar-manajemen-risiko/) pribadi yang kita semua abaikan.   

Opini Saya: Kita Membaca Ini di. Apa yang Sebenarnya Berubah?

Inilah inti dari semuanya. Saya baru saja membedah dokumen berusia lebih dari satu dekade. Dan rekomendasinya terasa segar, mendesak, dan... sangat familiar.   

Meski temuannya hebat, cara analisanya... sejujurnya, sangat jelas. Sangat jelas sehingga memalukan bahwa kita di masih memperdebatkan "Complete Streets"  seolah-olah itu ide radikal. Kita masih terjebak dalam perang budaya tentang helm  padahal data sudah final. Kita masih ragu untuk menguji kemampuan fungsional pengemudi  karena takut "menyinggung" perasaan orang.   

Kematian ini dapat dicegah. Ini adalah kegagalan desain. Ini adalah tanggung jawab para profesional yang merancang, membangun, dan mengelola sistem kita.

Bagi Anda yang bekerja di bidang ini, ini bukan lagi hanya pekerjaan teknis; ini adalah keharusan moral. Jika Anda seorang insinyur atau perencana, meningkatkan keahlian Anda dalam Keselamatan Infrastruktur Jalan  atau menerapkan(https://www.diklatkerja.com/course/penerapan-sistem-manajemen-keselamatan-konstruksi-untuk-mencegah-kegagalan-bangunan/)  adalah langkah awal yang fundamental.   

Kita tidak bisa menunggu satu dekade lagi untuk membaca laporan lain yang memberi tahu kita hal yang sama persis.

Menuju Nol Kematian Bukan Mimpi, Tapi Pilihan Desain

Visi "Toward Zero Deaths"  bukanlah utopia yang naif. Ini adalah target teknik. Ini adalah pengakuan bahwa jika kecepatan 20 mph menyelamatkan nyawa , maka kita harus memilih untuk mendesain jalan 20 mph. Jika helm menyelamatkan nyawa , kita harus memilih untuk mewajibkannya.   

Kematian di jalan raya bukanlah takdir. Itu adalah pilihan desain yang kita, sebagai masyarakat, terus buat setiap hari.

Saya tahu ini adalah bacaan panjang, dan jika Anda sudah sampai sejauh ini, Anda peduli. Kalau kamu tertarik dengan ini, coba baca paper aslinya (link di bawah). Ini teknis, tapi wawasannya—bahkan dari tahun 2010—sangat membuka mata.

Selengkapnya
Kapsul Waktu Tahun 2010: Mengapa Kita Masih Mati di Jalan yang Jawabannya Sudah Kita Ketahui

Desain

Cacat Sejak Lahir: Tesis Rwanda yang Mengungkap Mengapa Jalan Baru Menjadi Zona Kematian

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025


Bayangkan ini: setelah bertahun-tahun menabung, Anda akhirnya membangun rumah impian Anda. Anda menghabiskan miliaran rupiah. Desainnya modern, materialnya baru, lokasinya sempurna. Enam bulan setelah pindah, badai besar pertama datang, dan seluruh lantai dasar rumah Anda terendam banjir parah.

Anda memanggil ahli. Jawabannya? Arsitek Anda, dalam kecemerlangannya merancang fasad kaca yang indah, ternyata lupa merancang sistem drainase yang memadai untuk iklim lokal. Rumah baru Anda, yang seharusnya menjadi pencapaian puncak, ternyata sudah cacat secara desain sejak hari pertama.   

Ini bukan skenario hipotetis. Menurut sebuah tesis Master yang baru-saja selesai saya baca, inilah yang terjadi pada banyak proyek infrastruktur paling mahal dan penting kita: jalan raya.   

Saya baru saja "tersesat" selama beberapa hari di dalam dokumen setebal 92 halaman berjudul "DEVELOPMENT OF A SIMPLE ROAD SAFETY AUDIT PROCEDURE SUITABLE FOR ROAD CONDITION IN RWANDA". Ini adalah tesis Master dari Hadelin Verjus di Universitas Rwanda.   

Kedengarannya kering? Memang. Tapi di balik semua tabel dan jargon teknik, tesis ini  adalah salah satu cerita paling manusiawi dan mendesak yang pernah saya baca tentang bagaimana desain yang buruk—atau ketiadaan desain yang penuh pertimbangan—secara harfiah dapat membunuh.   

Tesis ini menemukan bahwa banyak jalan raya baru yang berkilau, yang dibangun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, justru dirancang sebagai "black spot"—zona bahaya kecelakaan—langsung dari papan gambar.   

Saat Jalan Baru Menjadi Zona Kematian

Paradoks Pertumbuhan Rwanda

Untuk memahami mengapa tesis ini  begitu penting, kita perlu memahami konteksnya. Latar belakangnya adalah sebuah kisah sukses yang tragis. Pemerintah Rwanda, pada periode penulisan tesis (sekitar 2014), sedang berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur jalan. Tujuannya mulia: "untuk mengurangi biaya transportasi secara drastis bagi bisnis dan individu" dan mendorong pembangunan ekonomi.   

Dan itu berhasil. Pertumbuhan ekonomi Rwanda melesat. Jumlah kendaraan di jalan raya meledak. Tesis ini  mencatat peningkatan jumlah total kendaraan terdaftar dari hanya 30.158 pada tahun 2004 menjadi 105.306 pada tahun 2011. Itu peningkatan lebih dari tiga kali lipat dalam tujuh tahun.   

Tapi ada sisi gelap yang brutal dari pertumbuhan ini.

Semakin banyak jalan baru dan kendaraan baru, semakin banyak orang yang mati. Tesis ini  dengan gamblang menyatakan bahwa "kecelakaan di Rwanda meningkat dari tahun ke tahun". Data statistik kecelakaan sangat mengerikan: lebih dari 4.000 kecelakaan terjadi setiap tahun. Jumlah kematian akibat kecelakaan melonjak 61,9% hanya dalam lima tahun (dari 344 kematian pada 2009 menjadi 556 pada 2013).   

Di sinilah letak paradoks inti yang diidentifikasi oleh Verjus : "Pada banyak kesempatan, proyek jalan yang sama sekali baru telah ditetapkan sebagai black spot (titik rawan kecelakaan) hanya setelah beberapa tahun [beroperasi]".   

Jalan-jalan baru yang seharusnya menjadi simbol kemajuan, malah menjadi jebakan maut.   

Cacat Sejak Lahir

Pertanyaan yang jelas: Mengapa?

Jawaban yang mudah (dan malas) adalah menyalahkan pengemudi. Tapi tesis ini  menolak jawaban itu. Masalahnya jauh lebih dalam dan jauh lebih sistemik: ini adalah kegagalan desain.   

Verjus  mencatat bahwa "Rwanda sudah memiliki banyak masalah keselamatan jalan, seperti penampang melintang jalan yang di bawah standar (substandard cross sections), percampuran pengguna jalan yang berbeda (mixing of different road users), dan rintangan di tepi jalan (roadside obstacles)".   

Alih-alih menggunakan proyek jalan baru sebagai kesempatan untuk memperbaiki masalah warisan ini, para desainer dan konsultan sering kali hanya mengulanginya. Desain jalan baru tidak diaudit untuk keselamatan. Akibatnya, mereka membangun infrastruktur yang berbahaya sejak awal.   

Mereka sedang membangun "utang" keselamatan. Setiap kilometer jalan baru yang dibangun tanpa audit desain yang tepat adalah aset jangka panjang yang berbahaya. Ini adalah bom waktu finansial dan kemanusiaan, yang suatu hari nanti akan meledak dalam bentuk biaya rumah sakit, kehilangan produktivitas, dan—yang terburuk—duka keluarga.

  • 🚀 Hasilnya Mengerikan: Kecelakaan meningkat 1.808 kasus dalam satu dekade (2002-2012), dengan lebih dari 4.000 kecelakaan terjadi setiap tahun.   

  • 🧠 Inovasi yang Hilang: Alih-alih menggunakan proyek baru sebagai kesempatan untuk inovasi keselamatan, desain lama yang cacat (penampang di bawah standar, rintangan di tepi jalan) terus diimplementasikan di jalan-jalan baru.   

  • 💡 Pelajaran: Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh infrastruktur tanpa desain yang aman hanya memindahkan biaya dari satu pos anggaran (transportasi) ke pos anggaran lain (kesehatan publik dan pemakaman).

Yang Paling Rentan, Yang Paling Sering Menjadi Korban

Ini Bukan "Kecelakaan", Ini Adalah Konsekuensi Desain

Di sinilah tesis ini  berubah dari laporan teknis menjadi sebuah tragedi kemanusiaan. Bab 6  adalah studi kasus yang mendalam dan memilukan di Jalan Nasional 1 (NR1).   

Saat Anda membedah 187 kecelakaan fatal yang dianalisis di jalan ini, sebuah pola yang mengerikan muncul.

Jika Anda bertanya, "Apa jenis kecelakaan fatal yang paling umum?" Jawabannya menusuk hati. Gambar 9 dalam tesis  menunjukkan bahwa 52% dari semua kecelakaan fatal adalah tabrakan antara kendaraan bermotor dan pejalan kaki.   

Separuh lebih.

Tabel 24  menguraikannya lebih lanjut. Dari semua orang yang tewas di jalan itu, 47% adalah pejalan kaki. Tambahkan 14% korban tewas lainnya yang merupakan pengendara sepeda.   

Itu berarti 6 dari 10 orang yang tewas di jalan raya utama itu  bukanlah pengemudi atau penumpang, melainkan orang-orang yang berjalan kaki atau bersepeda.   

Sekarang, mari kita hubungkan ini kembali ke jargon teknis yang kita lihat sebelumnya: "percampuran pengguna jalan yang berbeda" (mixing of different road users).   

Apa yang baru saja kita temukan adalah bahwa "percampuran pengguna jalan" adalah cara sopan para insinyur untuk mengatakan: "Kami merancang jalan raya berkecepatan tinggi yang mematikan tepat di tengah-tengah komunitas di mana orang-orang hidup, berjalan, dan bersepeda, tanpa memberi mereka perlindungan yang memadai."

Ini bukan "percampuran". Ini adalah pemaksaan koeksistensi yang tidak adil antara baja seberat dua ton yang melaju kencang dan tubuh manusia yang rapuh.

Kita tidak sedang melihat "kecelakaan" yang acak. Kita sedang melihat hasil yang dapat diprediksi dari sebuah sistem yang memprioritaskan kecepatan kendaraan di atas kehidupan manusia.

Korban Ekonomi yang Tersembunyi

Dan siapa yang berada di balik kemudi saat kecelakaan ini terjadi?

Tesis ini  juga melihat data itu. Gambar 3  menunjukkan bahwa kelompok usia pengemudi yang paling banyak terlibat dalam kecelakaan adalah antara 25-35 tahun.   

Verjus  dengan tepat menyebut ini sebagai "kelompok usia yang aktif secara ekonomi" (economically active age group).   

Ini adalah krisis ganda yang menghancurkan. Di satu sisi, Anda memiliki pengguna jalan yang paling rentan (pejalan kaki, pengendara sepeda, seringkali yang lebih miskin) yang tewas. Di sisi lain, Anda memiliki pengemudi di usia paling produktif mereka yang juga tewas atau cedera.

Negara ini secara bersamaan membunuh tenaga kerja manual dan tenaga kerja terampil/produktifnya. Dan akar penyebabnya? Desain infrastruktur yang buruk.

Lubang Hitam dalam Sistem: Mengapa Kita Terus Mengobati Gejala?

Jebakan "Black Spot"

Jadi, jika sebuah jalan baru secara ajaib menjadi "black spot", apa yang biasanya kita lakukan?

Kita bereaksi. Kita mengirim tim untuk "menganalisis black spot" dan menerapkan "tindakan perbaikan" (remedial measures).   

Tesis ini  pada dasarnya berteriak bahwa ini adalah kegilaan. Ini seperti menunggu puluhan orang jatuh dari tangga rumah baru Anda sebelum Anda memutuskan, "Hmm, mungkin kita harus memasang pegangan tangan."   

Mengapa tidak memasang pegangannya dari awal?

Studi kasus NR1  adalah bukti nyatanya. Setelah ratusan nyawa melayang dan cedera , tesis ini  dengan susah payah mengidentifikasi "langkah-langkah rekayasa keselamatan jalan perbaikan". Ini termasuk hal-hal yang seharusnya sudah ada sejak awal, seperti:   

  • Memasang "Raised pedestrian Crossings" (zebra cross timbul) di area padat.   

  • Memasang "Guardrail" (pagar pengaman) di tikungan tajam.   

  • Memperbaiki marka jalan dan rambu peringatan.   

Biaya untuk perbaikan ini? Tesis ini  mengestimasikan biaya untuk memperbaiki hanya dua bagian kecil jalan ini (total 4,5 km) mencapai RWF 280.763.000 (sekitar USD 432.000 dengan kurs 2014).   

Ini adalah biaya dari kegagalan. Ini adalah uang yang dibakar untuk memperbaiki kesalahan yang seharusnya tidak pernah dibuat.

Seperti yang dikatakan Verjus  dengan sangat tajam: "jauh lebih murah dan lebih mudah untuk memperbaiki proyek di papan gambar daripada setelah proyek tersebut diimplementasikan".   

Kesenjangan Prosedural

Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin jalan raya baru yang modern dirancang tanpa zebra cross timbul di area pejalan kaki atau pagar pengaman di tikungan tajam?

Tesis ini  memberikan jawaban yang paling mengejutkan di Bab 2: "praktik terbaik internasional dalam audit keselamatan jalan tidak diterapkan di Rwanda".   

Dan kalimat yang paling memberatkan, yang saya tandai dan baca berulang kali:

"Tidak ada auditor keselamatan jalan yang dipekerjakan pada tahap mana pun" (No road safety auditor is hired at any stage).   

Tidak ada. Nol.

Masalahnya bukanlah bahwa auditnya gagal; masalahnya adalah auditnya tidak ada. Proyek-proyek jalan raya bernilai miliaran ini dibangun berdasarkan desain dari konsultan, tanpa ada pemeriksaan keselamatan formal yang independen. Mereka hanya "berdoa" agar desainnya aman.

Dan data korban jiwa  menunjukkan bahwa doa saja tidak cukup.   

Solusi Sederhana yang Brilian: Berhenti Meramal, Mulai Memeriksa

Mendesain Keselamatan, Bukan Kebetulan

Di sinilah letak kontribusi inti dan kecemerlangan tesis Verjus. Dia tidak hanya mengidentifikasi masalah; dia membangun solusinya. Judul tesisnya  adalah tentang "Pengembangan Prosedur Audit Keselamatan Jalan yang Sederhana" (Bab 7).   

Ini adalah proposal radikal (sekaligus sangat masuk akal) untuk beralih dari reaktif (memperbaiki black spot) menjadi proaktif (mencegah black spot).

Bayangkan jika kamu mengatur desain jalan seperti peneliti di sini. Alih-alih hanya mempercayai arsitek (konsultan) Anda, Anda menyewa seorang inspektur independen (auditor) untuk memeriksa pekerjaan di 5 tahap krusial :   

  1. Tahap 1: Preliminary (Konsep Awal) : Tepat saat ide rute baru dibuat. Auditor bertanya: "Apakah kita benar-benar harus membangun jalan raya di sebelah sekolah? Bagaimana dampaknya terhadap jaringan jalan yang ada?". Ini mencegah kesalahan strategis.   

  2. Tahap 2: Draft Design (Draf Desain) : Saat draf pertama selesai. Auditor memeriksa hal-hal seperti "Alignment (horizontal, vertical)" dan "Sight distances" (jarak pandang). "Apakah tikungan ini terlalu tajam? Bisakah pengemudi melihat cukup jauh ke depan?"   

  3. Tahap 3: Detailed Design (Desain Rinci) : Tepat sebelum dokumen kontrak diserahkan. Ini adalah pemeriksaan terakhir pada semua detail: "Rambu dan marka lalu lintas," "Pencahayaan jalan," "Manajemen bahaya di tepi jalan," dan yang terpenting, "Kebutuhan... untuk Pengguna Jalan Khusus (pejalan kaki, pengendara sepeda...)".   

  4. Tahap 4: Construction (Selama Konstruksi) : Auditor mengunjungi lokasi untuk memastikan pengaturan lalu lintas sementara selama proyek aman bagi pekerja dan publik.   

  5. Tahap 5: Pre-opening (Sebelum Pembukaan) : Ini adalah tes terakhir. Auditor benar-benar mengemudikan dan berjalan di jalan yang sudah jadi, baik siang maupun malam, untuk "memeriksa apakah semua rambu dan marka terlihat" dan "apa yang ada di gambar sesuai dengan yang dibangun".   

Ini adalah langkah-langkah yang sangat masuk akal. Ini adalah quality control dasar. Fakta bahwa ini perlu diusulkan sebagai sebuah inovasi di tahun 2014 menunjukkan betapa dalamnya kesenjangan prosedural yang ada sebelumnya.

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Mencegah kecelakaan sebelum terjadi. Ini "lebih murah dan lebih mudah"  dan "mencegah orang terbunuh".   

  • 🧠 Inovasinya: Menggeser seluruh pola pikir industri dari "membangun" menjadi "membangun dengan aman". Ini melembagakan skeptisisme yang sehat ke dalam proses desain.

  • 💡 Pelajaran: Keselamatan bukanlah sesuatu yang Anda tambahkan di akhir. Keselamatan adalah sesuatu yang Anda desain dari awal.

Apa yang Paling Mengusik Saya (Kritik yang Sebenarnya)

Prosedur Hebat, Tapi Siapa yang Menjalankan?

Saya sangat antusias membaca solusi 5 tahap ini. Ini sangat jelas, logis, dan bisa ditindaklanjuti. Tetapi, ada satu kalimat dalam pendahuluan tesis ini  yang terus mengusik saya.   

Ini adalah opini pribadi saya , tetapi kalimat ini adalah pengakuan yang jujur dan brutal akan tantangan yang sebenarnya.   

Di halaman 13, Verjus  menulis:   

"Rwanda memiliki sedikit insinyur jalan berpengalaman yang dapat menantang desain dari konsultan" (Rwanda has few experienced road engineers that can challenge to designs of consultants).   

Mari kita baca lagi. Rwanda memiliki sedikit insinyur berpengalaman yang bisa menantang desain dari konsultan.

Bagi saya, di sinilah letak masalah sebenarnya. Tesis ini  telah mengidentifikasi solusi teknis (prosedur 5 tahap) untuk masalah yang pada dasarnya bersifat manusiawi dan organisasional.   

Prosedur audit 5 tahap  tidak ada artinya jika tidak ada orang yang kompeten, berpengalaman, dan—yang paling penting—diberdayakan untuk melaksanakannya.   

Apa gunanya "Tahap 3: Audit Desain Rinci"  jika auditor (jika ada) terlalu junior, terlalu takut dipecat, atau terlalu kurang pengalaman untuk berkata, "Maaf, Tuan Konsultan, desain tikungan Anda ini akan membunuh orang"?   

Tesis ini  bahkan mengakui bahwa "Manual yang ada memberikan sedikit panduan tentang cara mengevaluasi... Evaluasi biasanya diserahkan pada penilaian auditor keselamatan jalan yang berpengalaman".   

Ini adalah Paradoks Kapasitas: Anda memerlukan auditor berpengalaman untuk menilai desain, tetapi Anda tidak memiliki auditor berpengalaman.   

Tantangan di Balik Kertas

Ini adalah tantangan yang jauh melampaui teknik sipil. Ini adalah tentang membangun modal manusia, budaya akuntabilitas, dan keberanian profesional.

Kita tidak hanya membutuhkan lebih banyak insinyur; kita membutuhkan insinyur yang lebih baik, manajer proyek yang lebih kritis, dan pemimpin yang 'melek' desain.

Kemampuan untuk "menantang konsultan"  bukanlah sesuatu yang diajarkan di sebagian besar sekolah teknik. Itu adalah perpaduan antara pengalaman teknis, keterampilan negosiasi, manajemen risiko, dan ketajaman kepemimpinan.   

Ini adalah inti dari pengembangan profesional berkelanjutan, sesuatu yang sering diabaikan. Baik di Rwanda pada tahun 2014 maupun di konteks kita di Indonesia saat ini, para profesional teknis perlu terus mengasah kemampuan manajerial dan kepemimpinan mereka, mungkin melalui online course yang fokus pada aspek-aspek lanjutan seperti manajemen proyek, rekayasa nilai, dan kepemimpinan dalam proyek teknis di(https://www.diklatkerja.com).

Meski temuan tesis ini  hebat, tantangan implementasi yang diidentifikasinya sendiri (kekurangan SDM ahli)  jauh lebih besar daripada solusi prosedural yang ditawarkannya.   

Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (Bahkan Jika Anda Bukan Insinyur)

Anda mungkin tidak sedang merancang jalan raya. Tetapi Anda sedang merancang sesuatu.

Mungkin itu adalah alur kerja baru untuk tim Anda. Mungkin itu adalah produk perangkat lunak. Mungkin itu slide presentasi, atau kurikulum pelatihan. Kebijaksanaan dari tesis Hadelin Verjus  ini berlaku universal.   

Inilah cara Anda menerapkan "Audit Keselamatan 5 Tahap"  dalam hidup dan pekerjaan Anda:   

  • 🚀 Pelajaran 1: Temukan "Pejalan Kaki" Anda. Dalam sistem apa pun yang Anda rancang, tanyakan: "Siapa pengguna yang paling rentan?" Apakah itu pelanggan baru yang bingung? Anggota tim junior? Pengguna dengan koneksi internet lambat? Rancang sistem Anda untuk melindungi mereka terlebih dahulu. Jangan biarkan mereka "tercampur"  dan tertabrak oleh pengguna ahli.   

  • 🧠 Pelajaran 2: Tantang "Konsultan" Anda. Kita semua memiliki "konsultan" dalam hidup kita—bisa jadi itu atasan kita, ahli dari departemen lain, atau bahkan asumsi kita sendiri yang sudah mendarah daging ("kita selalu melakukannya seperti ini"). Tesis ini  mengingatkan kita untuk tidak 'nurut' saja. Tanyakan "mengapa". Minta datanya. "Audit" klaim mereka sebelum Anda "membangun" seluruh proyek Anda di atasnya.   

  • 💡 Pelajaran 3: Mencegah Jauh Lebih Murah Daripada Mengobati. "Jauh lebih murah... di papan gambar". Investasikan satu jam ekstra di awal untuk merencanakan (Tahap 1-3) untuk menghemat 100 jam di akhir untuk memadamkan kebakaran (memperbaiki "black spot"). Baik itu menulis email penting atau meluncurkan produk baru, periksa draf Anda. Lakukan "audit pre-opening"  sebelum Anda menekan "kirim".   

Penutup: Jalan di Depan

Membaca tesis Hadelin Verjus  adalah sebuah pengalaman yang membuka mata. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa dunia di sekitar kita—jalan yang kita lalui, gedung yang kita masuki, sistem yang kita gunakan—dibangun di atas ribuan keputusan desain.   

Ketika keputusan tersebut dibuat tanpa empati, tanpa audit, dan tanpa menantang status quo, hasilnya bisa menjadi bencana. Orang-orang terluka dan tewas. Bukan karena "nasib buruk", tetapi karena "desain yang buruk".

Dunia yang lebih aman, lebih adil, dan lebih efisien tidak terjadi secara kebetulan. Ia didesain.

Pertanyaannya sekarang, baik untuk Rwanda pada tahun 2014 maupun untuk kita hari ini, adalah: Apakah kita memiliki keberanian untuk mengaudit desain kita sendiri?

Kalau kamu tertarik dengan analisis mendalam ini, dan kamu tidak takut dengan dokumen teknis yang padat data, coba baca karya aslinya.

Selengkapnya
Cacat Sejak Lahir: Tesis Rwanda yang Mengungkap Mengapa Jalan Baru Menjadi Zona Kematian

Pembangunan Berkelanjutan

Masalah 94%: Mengapa Kita Salah Besar Soal Keselamatan Jalan

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025


Minggu lalu saya membaca sebuah paper penelitian.

Oke, saya tahu. Itu terdengar seperti awalan yang paling membosankan di dunia. Tapi percayalah, paper yang satu ini—judulnya "Competency of Rural Roads Achieving Targets 3.6 and 11.2 of the Sustainable Development Goals in Bangladesh"—terus menghantui saya. Ini bukan sekadar tumpukan data akademis yang kering; ini adalah sebuah cerita detektif yang mengungkap sebuah kelalaian yang begitu besar dan sistematis, sehingga saya harus membacanya dua kali.   

Bayangkan sejenak perjalanan pulang Anda. Anda mungkin memikirkan jalan tol atau jalan arteri utama yang sibuk. Tapi perjalanan sebenarnya—bagian yang paling penting—adalah kilometer terakhir. Jalan kecil yang membawa Anda ke depan pintu rumah Anda, jalan yang menghubungkan Anda ke pasar lokal, jalan yang dilewati anak-anak Anda ke sekolah.

Sekarang bayangkan jika saya katakan bahwa di satu negara besar, jalan-jalan "kilometer terakhir" ini—jalan pedesaan—mencakup 94% dari seluruh jaringan jalan. Sembilan puluh empat persen!   

Dan inilah intinya, yang diungkap oleh paper ini dengan sangat gamblang: negara itu, dan mungkin juga kita semua, secara kolektif buta terhadap apa yang terjadi di 94% jaringan jalan tersebut.

Kita memiliki target global yang mulia, tetapi kita bahkan tidak mengukur masalahnya dengan benar. Dan apa yang tidak Anda ukur, tidak akan pernah Anda perbaiki.

Janji Kita di Kertas vs. Nyawa yang Tak Terhitung

Kita semua ada dalam hal ini bersama-... secara global, maksud saya. Pada tahun 2015, PBB menetapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Paper ini berfokus pada dua target spesifik yang telah dijanjikan oleh Bangladesh untuk dicapai :   

  1. Target 3.6: Mengurangi separuh jumlah kematian dan cedera global akibat kecelakaan lalu lintas jalan pada tahun 2030.

  2. Target 11.2: Menyediakan akses ke sistem transportasi yang aman, terjangkau, mudah diakses, dan berkelanjutan untuk semua.

Kedengarannya bagus, bukan? Ambisius. Penuh harapan. Tapi di sinilah letak masalah pertama yang membuat saya mengernyitkan dahi.

Para peneliti, Susankar Chandra Acharjee dan Hasib Mohammed Ahsan, menunjukkan sebuah kesenjangan data yang mengerikan. Data resmi Polisi Bangladesh melaporkan sekitar 4.000 kematian akibat kecelakaan lalu lintas setiap tahun. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan angka sebenarnya "bisa jadi lebih dari 25.000".   

Bayangkan jika Anda bertanya kepada CEO Anda tentang pendapatan kuartal ini, dan dia berkata, "Oh, antara $4 juta atau $25 juta." Anda tidak akan menyebutnya sebagai kesalahan pembulatan; Anda akan menyebutnya sebagai kelalaian besar-besaran. Ini bukan sekadar perbedaan statistik; ini adalah jurang ketidaktahuan. Puluhan ribu nyawa hilang dalam 'kesalahan estimasi' itu setiap tahun.

Dan kesenjangan ini menjadi lebih buruk.

Paper ini menjelaskan mengapa kesenjangan itu ada: Sistem pencatatan dan pelaporan kecelakaan saat ini "didasarkan terutama pada jalan raya" yang dikelola oleh Departemen Jalan dan Jalan Raya (RHD). Sistem ini "meninggalkan sejumlah besar jalan pedesaan" yang dikelola oleh Departemen Teknik Pemerintah Daerah (LGED).   

Ingat angka 94% tadi? Ya, 94% jalan pedesaan itu dikelola oleh LGED. Ini berarti, sistem data kecelakaan resmi secara sistematis mengabaikan 94% dari total jaringan jalan.

Dan inilah pukulan telaknya. Paragraf yang membuat saya benar-benar terdiam.

Para peneliti dengan santai menyebutkan bahwa pada tahun 2022, sebuah proyek keselamatan jalan utama senilai $358 juta (dengan bantuan Bank Dunia) telah disetujui. Tujuannya? "Membangun kapasitas manajemen keselamatan jalan dan mencapai pengurangan yang ditargetkan dalam fatalitas lalu lintas... untuk jalan raya tanpa memasukkan jalan pedesaan milik LGED".   

Siklusnya sempurna:

  1. Kita tidak mengumpulkan data di jalan pedesaan (94% jaringan).

  2. Karena tidak ada data, secara resmi masalahnya tidak ada.

  3. Kita mengalokasikan dana $358 juta untuk memperbaiki 6% jaringan lainnya (jalan raya) di mana kita memiliki data.

Ini adalah kegagalan sistemik yang terdokumentasi dengan sempurna. Kebijakan dan uang ratusan juta dolar mengikuti data yang cacat, mengabaikan inti masalah yang sebenarnya.

Saat Data Tak Ada, Jadilah Detektif Lapangan

Jadi, jika Anda adalah seorang peneliti yang ingin tahu seberapa aman 94% jalan pedesaan itu, apa yang Anda lakukan ketika tidak ada data kecelakaan sama sekali?

Anda tidak bisa menggunakan "model statistik yang tersedia". Database-nya kosong.   

Inilah bagian yang saya sukai. Para peneliti ini tidak menyerah. Mereka melakukan sesuatu yang sangat 'analog' dan brilian: mereka menjadi detektif lapangan.

Mereka menggunakan metodologi non-statistik yang disebut "Road Safety Inspection (RSI)". Sederhananya, alih-alih melihat statistik kecelakaan (yang tidak ada), mereka secara fisik pergi ke jalan dan mencari risiko kecelakaan. Mereka memeriksa " TKP" sebelum kecelakaan terjadi.   

Mereka secara acak memilih 8 jalan pedesaan dengan lalu lintas tinggi, satu dari setiap delapan divisi di negara itu, untuk "mewakili karakteristik topografi dan demografi seluruh negeri".   

Mereka membawa daftar periksa, kamera, dan mungkin pita pengukur. Mereka mencatat hal-hal mendasar :   

  • Dimensi geometris yang ada (seberapa lebar jalannya?)

  • Kekurangan elemen geometris (apakah ada marka jalan?)

  • Kondisi jalan (apakah rusak?)

  • Bahaya di pinggir jalan (ada apa di tepi jalan?)

  • Kurangnya fitur keselamatan (adakah trotoar?)

Mereka melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh sistem: mereka pergi dan melihat dengan mata kepala sendiri.

'Galeri Kengerian' yang Saya Lihat di Foto-Foto

Angka adalah satu hal. Tapi gambar-gambar dalam paper inilah—Gambar 4 hingga 22—yang benar-benar menghantui saya. Ini adalah data visual dari 8 inspeksi jalan tersebut. Ini seperti melakukan "tur virtual" neraka infrastruktur.   

Izinkan saya memandu Anda melalui beberapa temuan paling gila:

  • Tiang Listrik di Tengah Jalan (Gbr 20): Saya tidak bercanda. Saya harus memperbesar foto ini untuk memastikannya. Ya, itu tiang utilitas (listrik atau telepon). Berdiri dengan kokoh di atas badan jalan beraspal. Bukan di bahu jalan. Di badan jalan..   

  • Kolam Renang Maut (Gbr 18): Foto lain menunjukkan sebuah kolam besar, airnya tenang, persis di tepi jalan. Tidak ada pagar pembatas. Tidak ada penghalang. Tidak ada crash barrier. Satu kesalahan kecil di malam hari, satu ban selip di musim hujan, dan mobil Anda tenggelam.   

  • Jembatan Tanpa Pilihan (Gbr 21): Sebuah jembatan sempit melintasi sungai. Terlihat kokoh, tetapi lebarnya pas-pasan untuk satu truk. Dan... tidak ada fasilitas pejalan kaki sama sekali. Nol. Jadi, jika Anda seorang pejalan kaki, pilihan Anda adalah: berdesakan dengan lalu lintas di jembatan, bertaruh nyawa, atau tidak menyeberang sama sekali.   

  • Bahu Jalan Adalah Pasar (Gbr 15): Bahu jalan yang seharusnya menjadi zona aman bagi pejalan kaki? Oh, itu sudah beralih fungsi. Di banyak tempat, bahu jalan yang sempit itu ditempati oleh pedagang kaki lima yang mendirikan lapak. Ini memaksa pejalan kaki, anak-anak sekolah, dan hewan ternak untuk berjalan di badan jalan yang sudah sempit.   

  • Selokan Terbuka dan Lereng Curam (Gbr 16 & 19): Foto-foto lain menunjukkan saluran drainase terbuka yang dalam dan lereng yang curam, tepat di tepi aspal. Tidak ada 'zona aman' (clear zone). Tidak ada ruang untuk kesalahan sekecil apa pun.   

  • Kekacauan 'Heterogen' (Gbr 22): Dan foto puncaknya: "karakteristik lalu lintas". Ini adalah gambaran kekacauan total. Truk besar, bus, becak motor (autorickshaw), sepeda, dan pejalan kaki, semuanya "berperang" memperebutkan ruang di jalur sempit yang sama. Ini adalah resep pasti untuk bencana.   

Setelah melihat foto-foto ini, kesenjangan data antara 4.000 dan 25.000 kematian itu tiba-tiba terasa sangat masuk akal.

Ini Bukan Sekadar Jalan Rusak, Ini Desain yang Gagal

Melihat foto-foto itu, reaksi pertama saya adalah, "Wow, jalan-jalan ini sangat tidak terawat." Tapi ketika saya melihat lebih dalam pada Tabel III dan V, saya menyadari sesuatu yang jauh lebih buruk.

Ini bukan masalah 'kurang perawatan'. Ini masalah desain. Jalan-jalan ini dibangun dengan cara yang salah sejak awal. Mereka dirancang untuk gagal.

Para peneliti membandingkan dimensi aktual di lapangan dengan standar desain resmi yang disetujui oleh Komisi Perencanaan pemerintah sendiri.   

Mari kita bicara bahasa manusiawi di sini. Bayangkan Anda seorang insinyur sipil yang ditugaskan membangun "Jalan Upazila (UZR)":

  • Standar Lebar Jalan (Carriageway): Buku aturan Anda (standar) mengatakan jalan itu harus memiliki lebar 6.10 meter. Ini cukup untuk dua kendaraan berpapasan dengan hati-hati.

  • Kenyataan di Lapangan: Jalan #7 (Char Kowa-Karnakati) yang mereka inspeksi lebarnya hanya 3.70 meter. Jalan #5 dan #6 lebarnya bervariasi antara 3.70 dan 5.50 meter. Itu hampir 40% lebih sempit dari standar minimum!   

  • Standar Bahu Jalan (Shoulder): Buku aturan Anda mengatakan bahu jalan—zona aman yang krusial untuk pejalan kaki, sepeda, dan kendaraan berhenti darurat—harus memiliki lebar 2.45 meter.

  • Kenyataan di Lapangan: Sebagian besar jalan yang diinspeksi hanya memiliki bahu jalan antara 0.6 hingga 0.9 meter. Jalan #8 bahkan lebih buruk, 0.3 meter. Itu bukan bahu jalan; itu selokan. Itu 75% lebih sempit dari standar.   

Ini adalah "kekurangan kompetensi akibat kekurangan elemen geometris". Dan daftar ini terus berlanjut: tidak ada marka jalan, tidak ada rambu lalu lintas, tidak ada fasilitas pejalan kaki, jembatan dan gorong-gorong yang sempit.   

Inilah kritik halus saya terhadap paper ini: Paper ini brilian dalam mendokumentasikan apa yang salah. Data inspeksinya tak terbantahkan. Namun, para penulisnya (mungkin karena kesopanan akademis) agak terlalu halus dalam membahas mengapa ini terjadi.

Pertanyaan saya yang terus muncul adalah: Mengapa jalan-jalan yang 'sudah ditingkatkan' (improved) dan beraspal ini dibangun jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh Komisi Perencanaan pemerintah sendiri? Ini bukan jalan tanah era kolonial; ini adalah jalan yang relatif baru dan 'ditingkatkan'.

Apakah ini masalah anggaran yang dipotong? Apakah ini masalah korupsi, di mana kontraktor menghemat biaya aspal dengan mempersempit jalan? Ataukah ini murni kesenjangan kapasitas—bahwa standar desain yang hebat di tingkat nasional gagal total untuk diimplementasikan di tingkat lokal?

Apa pun alasannya, ini adalah kegagalan tata kelola yang sistematis. Ini adalah kegagalan dalam Manajemen Proyek Infrastruktur. Ini bukan 'bencana alam'; ini adalah serangkaian keputusan buruk yang dibuat oleh manusia, yang mengakibatkan konsekuensi mematikan.

Pelajaran yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini

Paper ini menyimpulkan bahwa "kondisi keselamatan lalu lintas jalan yang buruk adalah penghalang signifikan untuk mencapai target 3.6 dan 11.2 SDG pada tahun 2030".   

Saya akan lebih blak-blakan: Kondisi ini bukan 'penghalang'. Ini adalah 'jaminan kegagalan'. Mustahil Anda bisa mencapai target global jika Anda secara aktif mengabaikan 94% dari masalah.

Bagi saya, ini bukan hanya cerita tentang jalan di Bangladesh. Ini adalah pelajaran universal tentang data, fokus, dan akuntabilitas.

Para peneliti harus turun tangan melakukan RSI secara manual karena sistem pengumpulan data otomatis gagal. Ini mengingatkan saya bahwa keahlian inti seperti Audit dan Inspeksi Keselamatan Jalan sangat penting. Anda tidak bisa hanya mengandalkan dashboard. Terkadang Anda harus "pergi dan melihat."

Pelanggaran mencolok terhadap standar keselamatan dasar—seperti membangun jalan 40% lebih sempit dari yang seharusnya—adalah kegagalan fundamental dalam(https://diklatkerja.com/). Ini adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh setiap profesional infrastruktur.

Dan pada akhirnya, target SDG yang terdengar muluk-muluk itu tidak akan tercapai melalui rapat komite di ibu kota. Target itu dicapai (atau gagal) di lapangan, di jalan pedesaan yang berlumpur. Itu semua kembali ke(https://diklatkerja.com/) yang mengakar pada kenyataan, bukan pada database yang cacat.

Inilah pelajaran utama yang saya ambil dari paper ini:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: 94% jaringan jalan—urat nadi ekonomi dan sosial—secara sistematis tidak aman, lebarnya puluhan persen di bawah standar desain minimumnya sendiri, dan penuh dengan bahaya mematikan (kolam, tiang listrik).

  • 🧠 Inovasinya: Kita tidak akan pernah tahu skala masalah ini jika hanya melihat database kecelakaan. Kebenaran ada di lapangan, ditemukan dengan metode 'detektif' (RSI) karena sistem data resmi buta terhadap 94% masalah.

  • 💡 Pelajaran: Berhentilah terobsesi dengan data yang cacat. Kebijakan (dan dana $358 juta) mengikuti apa yang kita ukur. Jika kita mengukur hal yang salah, kita akan memperbaiki masalah yang salah. Fokus pada 6% jaringan tidak akan pernah menyelesaikan 94% masalah.

Paper ini bukan hanya tentang jalan. Ini tentang melihat. Ini tentang bahaya memiliki titik buta yang sangat besar dalam cara kita memandang dunia—dan konsekuensi mematikan dari titik buta tersebut.

Ini adalah salah satu paper paling gamblang dan penting yang saya baca tahun ini. Jika Anda seorang insinyur, perencana kota, manajer proyek, atau siapa pun yang peduli tentang bagaimana kita membangun dunia yang lebih aman dan adil, Anda wajib membacanya.

Ini adalah studi kasus yang sempurna tentang di mana letak kegagalan kita—dan di mana kita harus memulai perbaikan.

(https://doi.org/10.54105/ijte.A1907.03010523)

Selengkapnya
Masalah 94%: Mengapa Kita Salah Besar Soal Keselamatan Jalan

Keselamatan Jalan

Ada yang Salah di Persimpangan Itu. Sebuah Studi Mengubah Cara Saya Melihat Jalanan Sepi.

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025


Ada semacam kedamaian palsu saat berkendara di jalan pedesaan yang sepi. Anda tahu perasaan itu: jendela terbuka, angin sepoi-sepoi, tidak ada lalu lintas yang terlihat bermil-mil. Rasanya aman. Rasanya tenang. Ini adalah ilusi yang nyaman yang kita semua nikmati.

Sebuah paper penelitian yang saya baca minggu ini menghancurkan ilusi itu berkeping-keping.

Paper itu berjudul "A Study of Fatal Pedestrian Crashes at Rural Low Volume Road Intersections in Southwest China". Judul yang kering, saya tahu. Tetapi isinya jauh dari itu. Ini bukan tentang kekacauan lalu lintas kota yang padat yang biasa kita lihat di berita. Ini tentang bahaya tersembunyi di persimpangan jalan pedesaan yang tampak sepi—jenis tempat di mana, secara global, 92% kematian lalu lintas terjadi, di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.   

Para peneliti—Xie, Nikitas, dan Liu—tidak hanya mengambil data statistik dan membuat grafik yang membosankan. Mereka melakukan sesuatu yang jauh lebih dalam. Mereka mengambil 28 kasus kecelakaan fatal pejalan kaki, yang terjadi antara 2005 dan 2010 di delapan jalan pedesaan di Tiongkok Barat Daya, dan pada dasarnya melakukan "autopsi psikologis" pada setiap kecelakaan tersebut.   

Bayangkan jika Anda menganalisis setiap kesalahan besar di tempat kerja. Pendekatan yang malas adalah dengan mengatakan, "Yah, Budi mengklik tombol yang salah. Kesalahan Budi." Pendekatan yang mendalam adalah bertanya: Mengapa Budi mengklik tombol itu? Apakah labelnya membingungkan? Apakah dia kurang tidur karena jam kerja yang gila? Apakah dia tidak pernah dilatih dengan benar tentang software itu?

Itulah yang dilakukan para peneliti ini. Mereka menggunakan metode yang disebut DREAM (Driving Reliability and Error Analysis Method). DREAM adalah cara sistematis untuk mengklasifikasikan mengapa kecelakaan terjadi. Metode ini tidak berhenti pada "pengemudi mengebut." Ia terus menggali lebih dalam.   

  • Pengemudi mengebut (A2.1 Speed: too high). Mengapa?   

  • Karena dia salah menilai situasi (C2 Misjudgement of situation). Mengapa?   

  • Karena dia melewatkan pengamatan (B1 Missed observation). Mengapa?   

  • Karena rambu-rambu di persimpangan itu sangat buruk (Q1 Inadequate information design) dan dia tidak pernah dilatih dengan benar (N4 Inadequate training).   

Metode DREAM ini adalah kunci mengapa studi ini begitu kuat meskipun jumlah sampelnya kecil (hanya 28 kecelakaan). Para peneliti sendiri mengakui bahwa fokus mereka adalah pada "kualitas daripada kuantitas". Ini bukan statistik; ini adalah pendongengan forensik. Dan cerita yang mereka ungkapkan sangat mengerikan.   

Mimpi Buruk di Balik Data: Angka-Angka yang Membuat Saya Berhenti Sejenak

Sebelum kita masuk ke "mengapa", kita perlu memahami "apa". Dan data mentahnya saja sudah cukup untuk membuat Anda merinding. Ini adalah beberapa statistik dari 28 kecelakaan fatal yang dianalisis, yang terus terngiang di kepala saya :   

  • 75% pejalan kaki tewas di persimpangan T (T-intersections). Awalnya ini mengejutkan saya. Persimpangan T seharusnya sederhana. Tetapi paper ini menjelaskan bahwa di daerah pedesaan Tiongkok, ini seringkali bukan persimpangan resmi. Mereka adalah "jalan cabang dan bahkan pintu rumah" yang langsung terhubung ke jalan raya tanpa peringatan. Ini adalah resep untuk bencana.   

  • 82% persimpangan tidak memiliki fasilitas pejalan kaki. Saya ulangi: delapan dari sepuluh persimpangan tidak memiliki apa-apa. Nol zebra cross. Nol rambu peringatan pejalan kaki. Nol perlindungan.   

  • 50% kecelakaan terjadi pada malam hari atau dalam kondisi cahaya redup. Dan inilah bagian terburuknya, yang membuat saya ternganga: Tidak ada (0%) dari persimpangan yang diteliti yang memiliki lampu penerangan jalan. Pejalan kaki menyeberang dalam kegelapan total di persimpangan tak bertanda.   

  • 61% kendaraan melebihi batas kecepatan. Ini adalah bahan bakar yang menyulut api.   

Jika Anda menggabungkan fakta-fakta ini, itu bukan hanya sekumpulan angka. Itu menceritakan sebuah kisah.

  • 🚀 Lingkungan yang Dirancang untuk Kematian: Pengemudi yang ngebut (61%) + kegelapan total (50% kecelakaan, 0% lampu) + persimpangan tak bertanda (82% tanpa fasilitas).

  • 🧠 Kesimpulan yang Tak Terelakkan: Kematian ini bukanlah "kecelakaan" dalam arti sesuatu yang acak dan tidak bisa dihindari. Mereka adalah hasil yang dapat diprediksi dari sistem yang dirancang dengan kelalaian total.

  • 💡 Pelajaran: Kita tidak bisa hanya menyalahkan "kesalahan pengemudi" ketika kita merancang lingkungan yang membuat kesalahan itu hampir pasti terjadi.

Empat Penjahat yang Sebenarnya (Dan Ini Bukan Sekadar "Kesalahan Manusia")

Inilah inti dari paper ini. Analisis DREAM mereka mengelompokkan semua faktor penyebab ini menjadi empat tema utama yang menghancurkan. Ini adalah empat pilar kegagalan yang menopang 28 kematian tersebut:   

  1. Desain Infrastruktur Keselamatan yang Kurang.

  2. Pendidikan Keselamatan Pejalan Kaki yang Kurang.

  3. Pelatihan Pengemudi yang Tidak Memadai.

  4. Penegakan Hukum Lalu Lintas yang Tidak Cukup.

Mari kita bedah satu per satu, karena di sinilah pelajarannya menjadi sangat jelas dan dapat ditindaklanjuti.

Penjahat #1: Desain Jalan yang "Malas"

Ini adalah "Deficient intersection safety infrastructure".   

Bayangkan seorang desainer UI web menempatkan tombol 'Hapus Akun Anda Secara Permanen' tepat di sebelah tombol 'Login', tanpa label atau kotak konfirmasi. Itulah tingkat desain 'malas' yang kita bicarakan di sini.

Faktor DREAM "Q1 Inadequate information design" (desain informasi yang tidak memadai) adalah penyebab utama yang muncul di setiap pola kecelakaan. Ini berarti rambu-rambu, marka jalan, dan panduan visual untuk memperingatkan pengemudi atau pejalan kaki tidak ada, atau sangat membingungkan.   

Tetapi paper ini tidak hanya mengeluh. Mereka menawarkan solusi cerdas, dan yang terpenting, solusi realistis. Mereka tahu bahwa "sumber daya untuk investasi... terbatas" di daerah pedesaan. Jadi, mereka tidak menyarankan jalan layang multi-juta dolar. Mereka menyarankan intervensi "traffic calming" (penenangan lalu lintas) yang berbiaya rendah dan terbukti :   

  • Polisi Tidur (Speed Bumps): Murah, mudah dipasang, dan sangat efektif untuk memaksa kendaraan melambat.   

  • Bundaran (Roundabouts): Secara fisik memaksa pengemudi untuk mengurangi kecepatan saat mendekati, memasuki, dan bergerak di dalam persimpangan.   

  • Lampu Jalan: Solusi yang paling jelas di dunia, mengingat 50% kecelakaan terjadi dalam kegelapan total.   

Penjahat #2: Saat Pejalan Kaki Tidak Pernah Diajari Cara Menyeberang

Ini adalah "Lack of pedestrian safety education".   

Analisis DREAM menemukan faktor "M1 Inadequate transmission from other road users" (transmisi [niat] yang tidak memadai dari pengguna jalan lain) sebagai penyebab utama. Dalam bahasa manusiawi? Pejalan kaki "menyeberang jalan tanpa melihat dulu" untuk mencari kendaraan. Mereka tidak melakukan kontak mata, tidak memberi isyarat. Mereka hanya berjalan ke jalan raya.   

Dan inilah data yang paling tragis: lebih dari separuh (56%) dari mereka yang tewas adalah anak-anak (di bawah 15 tahun) atau lansia (di atas 65 tahun). Kelompok paling rentan yang membayar harga tertinggi.   

Di sinilah paper ini benar-benar bersinar bagi saya. Solusinya tidak umum. Mereka sangat kontekstual dan spesifik secara budaya. Para peneliti tidak menyarankan kampanye TikTok yang gemerlap. Mereka menyarankan "cara yang tidak konvensional" :   

  • Menggunakan "pengeras suara dari stasiun radio desa" untuk menyiarkan program keselamatan lalu lintas harian pada waktu-waktu tertentu.

  • Membuat "kader desa" (aparat desa setempat) bertanggung jawab untuk mempublikasikan informasi keselamatan lalu lintas.

  • Menerapkan solusi sederhana seperti membagikan bahan reflektif untuk "tongkat pejalan lansia dan tas anak-anak" agar mereka lebih terlihat dalam gelap.   

Ini jenius. Ini adalah solusi berbiaya rendah yang menjangkau tepat target audiens (seperti lansia di rumah) yang tidak akan pernah melihat iklan layanan masyarakat di TV.

Penjahat #3: Sekolah Mengemudi "Abal-Abal"

Ini adalah "Inadequate driver training". Dan bagian ini, terus terang, membuat saya marah.   

Faktor-faktor DREAM seperti "N4 Inadequate training" (pelatihan tidak memadai) dan "F6 Insufficient skills/knowledge" (keterampilan/pengetahuan tidak cukup) adalah akar penyebab yang masif.   

Tetapi paper ini tidak berhenti di situ. Ia menggali mengapa pelatihannya tidak memadai. Ini bukan hanya karena kurikulumnya sulit. Ini karena sistemnya korup. Para peneliti dengan jujur menulis bahwa :   

  • "banyak sekolah mengemudi memotong waktu pelatihan" untuk menghemat uang.

  • Beberapa sekolah "membantu orang berbuat curang dalam ujian atau menjual surat izin mengemudi."

  • Ada "sejumlah sekolah mengemudi ilegal" yang beroperasi di daerah pedesaan ini.

Ini mengubah segalanya. Fakta bahwa 61% pengemudi mengebut  bukan hanya pilihan individu yang buruk; itu adalah gejala dari sistem yang secara aktif meluluskan pengemudi yang tidak terampil, tidak berpengetahuan, dan mungkin ilegal ke jalan. Masalahnya tidak dimulai di jalan; itu dimulai di "sekolah mengemudi" itu.   

Membaca bagian ini membuat saya merinding. Ini adalah kegagalan sistemik. Jika fondasi pelatihannya saja sudah korup, bagaimana kita bisa mengharapkan perilaku yang aman di jalan?

Ini mengingatkan saya pada pentingnya pelatihan berkualitas di semua aspek kehidupan. Di dunia profesional, mengambil jalan pintas dalam pelatihan bisa sama berbahayanya bagi karier Anda. Untungnya, untuk [mengembangkan keterampilan profesional Anda], ada platform seperti **** yang menyediakan fondasi yang kokoh dan sah, tidak seperti sekolah mengemudi 'abal-abal' yang dibahas di sini.

Penjahat #4: Polisi yang Tidak Terlihat

Yang terakhir adalah "Insufficient traffic law enforcement".   

Jika 61% pengemudi mengebut dan banyak yang mengemudi tanpa SIM , itu menyiratkan satu hal: tidak ada yang mengawasi.   

Tetapi sekali lagi, paper ini menggali lebih dalam. Ini bukan karena polisinya malas. Ini karena "sumber daya polisi yang terbatas". Dan mereka memberikan statistik yang paling mencengangkan di seluruh paper:   

"tidak jarang bahwa hanya tiga atau empat polisi lalu lintas lokal mengawasi sebanyak empat atau lima kota... yang mungkin memiliki total populasi 0,3 juta".   

Itu adalah situasi yang mustahil. Itu bukan "penegakan hukum yang lemah"; itu adalah "penegakan hukum yang non-eksisten".

Sekali lagi, para peneliti menawarkan solusi pragmatis. Karena menambah jumlah polisi itu mahal dan lambat, mereka menyarankan :   

  • Sewa "petugas lalu lintas" (traffic wardens)—petugas sipil yang lebih murah untuk membantu menegakkan hukum.

  • Gunakan "penegakan hukum dengan kamera" (camera enforcement) di persimpangan yang paling rawan kecelakaan.

Ini adalah tema yang berulang: Jika sumber daya manusia (polisi, guru) terbatas, kita harus mengandalkan teknologi (kamera) dan struktur komunitas (kader desa, petugas lalu lintas) untuk mengisi kesenjangan tersebut.

Kritik Halus Saya: Apakah 28 Kematian Cukup?

Saya harus jujur, sebagai seorang jurnalis, hal pertama yang saya lihat adalah "N=28". Hanya 28 kecelakaan.   

Meskipun temuannya hebat, cara analisanya yang didasarkan pada 28 kasus awalnya membuat saya skeptis. Bisakah kita benar-benar menarik kesimpulan besar tentang infrastruktur, pendidikan, dan korupsi seluruh wilayah dari data sekecil itu?   

Namun, di sinilah saya menghargai kejujuran peneliti. Mereka adalah yang pertama mengakui ini di bagian "Batasan Studi". Mereka menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan data kecelakaan yang terperinci seperti ini dari kepolisian di Tiongkok.   

Lebih penting lagi, mereka berargumen bahwa metode DREAM yang mereka gunakan berfokus pada "kualitas daripada kuantitas". Dan setelah membaca analisis mereka, saya setuju.   

Mereka tidak mencoba memetakan seluruh Tiongkok. Mereka melakukan "autopsi" mendalam pada 28 tragedi untuk memberi kita 4 pelajaran yang sangat kuat. Dan dalam hal itu, mereka berhasil dengan cemerlang.

Yang Paling Mengubah Pikiran Saya (Dan Apa yang Bisa Kita Terapkan)

Setelah membaca paper ini, pelajaran terbesar bagi saya bukanlah "menyetirlah dengan aman" atau "lihat kiri-kanan." Pelajaran terbesarnya adalah: Keselamatan bukanlah kebetulan. Keselamatan adalah hasil dari desain.

Ke-28 kematian ini bukanlah "kecelakaan" dalam arti takdir acak atau nasib buruk. Mereka adalah insiden—kegagalan yang dapat diprediksi yang disebabkan oleh sistem yang rusak dalam empat cara yang jelas: desain infrastruktur, pendidikan, pelatihan, dan penegakan.

Jalan-jalan pedesaan ini, seperti yang digambarkan dalam paper ini, seperti software yang dirilis ke publik dalam versi beta, tanpa quality assurance. Para penggunanya—pejalan kaki dan pengemudi—dibiarkan menemukan bug fatalnya sendiri. Dan mereka membayarnya dengan nyawa.

Ini hanya goresan di permukaan dari apa yang saya gali. Jika Anda seorang analis, perencana kota, insinyur, atau hanya seseorang yang tertarik pada bagaimana "analisis akar masalah" yang sebenarnya bekerja dalam praktik, saya sangat merekomendasikan Anda membaca paper aslinya.

Ini padat, teknis, tetapi wawasannya sepadan.

(https://doi.org/10.1080/15389588.2017.1387654)

Selengkapnya
Ada yang Salah di Persimpangan Itu. Sebuah Studi Mengubah Cara Saya Melihat Jalanan Sepi.
page 1 of 1.290 Next Last »